Terluka

1672 Kata
“Saya kecewa, Om,” lirih Radit. Dia berbicara pada Ayah, tapi menatapku kecewa kemudian mengalihkan kembali pandangannya pada Ayah. “Vanya memang pandai membuat saya kecewa. Kecewa karena saya tidak diberitahu, nakal sekali anak ini,” lanjutnya seraya memaksakan tawanya. Ayah ikut tertawa, kulihat Zein hanya diam menatapku. *** Ruangan makan ini mendadak mencekam bagiku. Bagaimana tidak saat ini aku tengah duduk berhadapan dengan kekasihku juga bersebelahan dengan tunanganku. Radit akhirnya ikut sarapan bersama kami. Aku menerjap saat tiba-tiba Zein mengambil piring kosong yang ada di hadapanku kemudian menukarnya dengan piring yang sudah berisi nasi goreng. “T—terima kasih,” lirihku pada Zein, tapi mataku menatap Radit yang tengah menatap Zein tajam. Aku berusaha menggapai piring besar yang berisi telor ceplok, lagi-lagi aku menerjap ketika Zein dan Radit bersamaan memberikan telor mata sapi di piringku. Aku melihat Zein dengan wajah datarnya, berbeda dengan Radit yang menatapnya kesal. “Terima kasih, aku memang mau ambil telornya dua, terima kasih,” ucapku bergantian melihat Radit dan Zein. Aku sempat melirik ke arah Ayah yang melihat kami seraya mengangguk, lalu Ibu yang tampak mengulum senyumnya. Ini bukan kali pertama Zein memperlakukanku dengan lembut. Dia memang seperhatian dan pengertian itu, tapi entah kenapa aku sulit menerimanya. Dia melayaniku bak wanita yang sangat teramat dia cintai. Padahal aku tahu, tidak lain dia menerima perjodohan kami karena desakan orangtuanya sama sepertiku. Aku memejamkan mataku saat Ayah memberitahu Radit kalau kami akan pergi bersama ke Bandung. Ayah juga mengajak Radit ikut bersama, tapi dia menolaknya dengan alasan sudah ada janji. Oh, ya, Zein sendiri sebelumnya berkarir di Negeri Paman Sam kembali ke Indonesia memilih berkarir dan menetap di Bandung. Kalau biasanya saat Radit main ke rumah kami selalu bersenda gurau dan asyik berdua. Kali ini, pertemuan kami begitu canggung. Radit lebih banyak bersama Ayah dan mengabaikanku. “Vanya, aku pulang, ya.” Aku mengangguk ragu saat Radit berpamitan padaku. Tatapan Radit terlihat lebih tenang setelah kembali bersama Ayah dari halaman belakang. Dia bahkan tersenyum dan mengelus lembut puncak kepalaku. “Diantar Radit-nya, Vanya,” seru Ayah saat berjalan ke arah dapur. “I—iya, Yah.” Aku berjalan pelan menunduk mengikuti langkah Radit. Hingga kepala juga tubuhku menumbruk punggung belakangnya saat dia berhenti. “Kenapa kamu tidak bilang, Vanya?” Darahku berdesir mendengar lirih suaranya. “Kenapa tidak bilang kalau kamu sudah dijodohkan dan bertunangan?” “Maafkan aku, Kak.” “Instingku benar, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Bukan begini caranya meminta aku pergi, Vanya.” Aku memeluk Radit dari belakang dan air mataku jatuh. Sungguh aku tidak bermaksud mengkhianatinya. Semua ini terjadi begitu saja tanpa bisa aku tolak. “Zein lelaki yang sama malam itu di restoran ramen ‘kan? Pantas saja aku tampak tak asing dengan wajahnya.” “Aku tidak mencintainya, Sayang.” Radit sengaja datang pagi ini karena merasa bersalah atas emosi sesaatnya malam tadi. Pagi ini dia ingin meminta maaf padaku dan menjelaskan hubungan kami pada orang tuaku, tapi dia justru mendapat kejutan luar biasa yang membuatnya kecewa. Radit melepas tanganku yang melingkar di tubuhnya. Tanpa menoleh dia berkata, “Aku kecewa padamu, Vanya.” Air mataku jatuh melihat punggung Radit semakin menjauh. Pandanganku terputus saat Zein berdiri di depan pintu. Dia menoleh melihat Radit, lalu menghampiriku. “Ada apa?” tanyanya berusaha mengusap air mataku, tapi aku menepis tangannya. Aku menatapnya tajam, memancarkan kebencian yang teramat sangat. “Bukan urusan Anda!” *** Bandung “Kapan kembali ke Jepang, Zee?” “Namaku Vanya, jangan belagak sok dekat hingga punya panggilan khusus untukku,” tegasku padanya. Bahkan kesayanganku saja hanya memanggil Vanya atau Sayang. Batinku. “Aku tunanganmu, Zee. Lebih tepatnya calon suamimu,” ujarnya kelewatan polos. Zein itu tampan, ramah dan baik. Kalau kata orang masa kini greenflag. Namun, maaf hatiku sudah ada pemiliknya. Setelah pertemuan di rumah tadi, saat Ayah mengenalkan Zein pada Radit. Kesayanganku itu tidak menghubungiku lagi, padahal aku sangat merindukannya. “Kamu suka wafle ‘kan, Zee? Tunggu di sini, aku ambilkan untuk kamu.” Aku menahan tangannya hingga dia tak jadi beranjak dari kursinya. “Ada apa?” “Stop! Buang-buang waktu Anda bersama saya. Lebih baik temukan cinta Anda sendiri, tolong pergi dari hidup saya—” Aku tak melanjutkan kalimatku karena Zein mengelus puncak kepalaku, tapi aku memilih menghindar. Kemudian dia mencubit hidungku. “Tunggu di sini. Aku jamin kamu suka waflenya karena tadi aku sudah coba.” Selalu begitu, Zein tidak pernah menghiraukan protes, marah dan kebencian yang aku layangkan padanya. Zein pergi setelah aku melepas genggamanku pada tangannya. Keras kepala sekali dia, sudah aku kasari tetap saja masih mau dijodohkan denganku. Sepatuh itu dia pada orang tuanya hingga mau mengorbankan batinnya yang rela tersiksa oleh sikapku padanya selama ini. Saat ini kami berada di acara arisan keluarga di Bandung. Ayah dan Ibu bangga memperkenalkan Zein pada kerabatnya. Kedua orang tuaku bahkan meminta setiap orang yang bersama mereka mendoakan yang terbaik untuk hubunganku dengan Zein. Bukannya bahaya, ya, kalau semakin banyak yang mendoakan hal baik dalam hubungan kami? Bahaya untuk diriku tentunya. Zein kembali dengan sepotong wafle dan es krim di atasnya. Baru saja akan duduk, dia meninggalkanku setelah diajak Ayah berkenalan dengan kerabat lain. Sebenarnya yang anaknya ini siapa, sih? Aku yang anak kandung Ayah malah dianggurin. Aku tidak menyentuh wafle pemberian Zein bahkan sampai es krim di atasnya mencair. “Zee, kenapa tidak di makan?” tanya Zein polos saat kembali. Kok ada lelaki yang tidak peka seperti dia. Kalau tidak dimakan berarti, ya, aku enggan menyentuh pemberiannya sekalipun aku sangat suka dessert satu itu. “Mubazir, Zee,” lanjutnya seraya memakan wafle yang sudah berkuah. “Hm, tapi tetap enak,” sambungnya. Zein selalu tahu apa yang aku mau dan aku suka tanpa harus bertanya. Aku curiga dia ini titisan cenayang. Dia mengambil sate taichan dan memberinya padaku. Dia bahkan menungguku untuk menyantapnya, katanya aku boleh mengabaikannya, tapi tidak boleh mubazir. Sepertinya biasanya, dia selalu menomor duakan dirinya dan merelakan aku menikmati suatu momen. Zein bahkan tidak melepas pandangannya menatapku, aku meliriknya dan mendapatinya menatapku dengan tatapan memuja. “Apa lihat-lihat! Mau?” Zein mendekatkan wajahnya ke arahku dan membuka mulutnya. Bukannya menyuapinya, aku malah melahap habis suapan terakhir di hadapannya hingga membuat dia mencubit hidungku. Dia terkekeh tanpa merasa kesal sama sekali. *** Malam hari di Lembang Malam ini kami menginap di sebuah villa. Kata Ibu ini villa pribadi keluarga Zein, sebelumnya aku sempat menolak dan menyarankan menginap di hotel saja. Namun, Ibu bilang Ayah ingin melihat kebun yang baru saja beliau beli tak jauh dari villa ini. “Belum tidur?” Dih, lagi-lagi dia. Sudah tepat aku menjulukinya si paling pengganggu karena kerjanya memang hanya menggangguku. Aku hampir tak bisa tenang kalau ada dia. “Zee ….” “Jangan banyak basa-basilah, saya tidak suka menjawab pertanyaan retorika, dasar tidak kreatif.” Lagi-lagi dia tidak marah dan malah mengelus kepalaku. “Lihat, Zee,” tunjuknya pada lahan sebelah yang masih kosong. Saat ini kami duduk di ayunan balkon lantai dua. “Aku baru membeli lahan itu, tapi belum tahu desain seperti apa yang bagus untuk membangunnya. Mau membantuku men—” “Tidak mau!” Aku segera pergi meninggalkannya, baru beberapa langkah aku sudah berhenti karena dia menahanku. Aku tersentak saat dia menarik dan mendorongku hingga punggungku bersandar di dinding. Tatapannya tampak memikat. Dia menatap mataku hingga beralih ke bibirku. Aku menegak salivaku susah payah saat dia tidak mengalihkan pandangannya menatap bibirku penuh minat. “J—jangan macam—” “Macam-macam seperti apa yang kamu maksud?” Aku memejamkan mataku rapat, memundurkan wajahku padahal sudah tak ada ruang lagi saat Zein memiringkan wajahnya mendekat ke arahku. Cup. Aku kembali membuka mataku saat telunjuk Zein menempel di bibirku, dia tidak menciumku. Dia mencium telunjuknya yang menempel di bibirku. “Seperti itu macam-macam yang kamu maksud? Jaga sikapmu, lain kali tidak akan ada batas lagi.” Aku menerjap saat dia mengetuk bibirku dengan telunjuknya. “Kurangi jutekmu, Zee. Aku khawatir kamu jatuh sejatuhnya dalam dekapanku lain hari,” ujarnya lalu pergi meninggalkanku. Aku mengembuskan napas panjang, kemudian menarik napas sebanyak-banyaknya. Sejak tadi aku menahan napasku karena saking dekatnya wajah kami. “Hah, gila. Dasar gila …!” teriakku dalam hati. Aku tidak berani berteriak takut mengganggu Ayah dan Ibu. Tidak sih, aslinya aku takut dia kembali dan benar-benar mengambil ciumanku. Aku mengipasi wajahku yang terasa panas. Kenapa cuaca di puncak malam ini mendadak panas? *** Keesokan harinya di Lembang Aku sudah tahu Ayah membeli lahan perkebunan di Bandung, tapi tidak tahu persisnya di mana. Kata Ayah sepertinya menghabiskan masa tua bercocok tanam di sini bukan ide yang buruk, sebab Jakarta terlalu penuh dan sesak. Ayah memintaku melanjutkan perusahaannya. Katanya kalau perlu perusahaan dipindahkan saja ke Bandung. Huh, baru juga bernapas lega dari skripsi. Ada lagi tanggung jawab yang lebih besar menunggu. Ayah dan Zein sibuk berbicara dengan karyawan Ayah yang dipercaya menjaga kebun ini, katanya referensi dari Zein. Sangat jauh dari pasion Ayah, seorang direktur perusahaan teknologi informasi kini beralih menjadi pekebun. Karena bosan, aku duduk di bangku tepat di bawah pohon yang rindang. Aku memainkan ponselku, sejak tadi aku hanya menyimpannya saja di dalam tas. Aku membulatkan mataku saat mendapat pesan singkat dari Radit. Kesayangan : Aku merindukan kamu, Sayang. Air mataku mengalir, aku juga sangat merindukannya, sangat. Aku tak membalas pesan dari Radit dan memilih menghubunginya langsung. “Sayang,” sapanya di seberang sana. “Kamu masih di Bandung?” “Kak, Vanya rindu.” Bukannya menjawab pertanyaannya, aku memilih mengungkapkan apa yang aku rasakan saat ini. Benar, aku benar-benar merindukannya. “Setelah kamu kembali ke Jakarta, ayo, kita bertemu,” ajaknya dan aku mengangguk meski dia tidak melihatnya. Tentu saja aku mau, aku menjawabnya dengan nada manja—merengek seperti anak kecil seolah tak sabar ingin bertemu hingga terdengar kekehan di seberang sana. Seutas senyumku terbit mendengar tawanya. “Vanya,” lirihnya. “Iya, Sayang.” “Kakak sangat mencintai kamu.” Aku tersentak saat suara yang aku kenal menyapa dan merasakan kecupan di puncak kepalaku. “Kamu sedang telepon siapa, Sayang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN