“J-jangan macam-macam Zein.” Aku menghalangi pandanganku dengan kedua tangan saat Zein mengukungku di bawahnya.
Zein menarik tanganku menjauh dari wajahku dan menatapku begitu dalam.
Aku memejamkan mataku karena tidak kuat menatap matanya. Sesaat setelahnya, aku kembali membuka mataku—mengintip dan mendapati Zein tengah tersenyum.
“Kenapa memejamkan mata? Berharap apa?” tanyanya membuat aku mengerutkan keningku.
Berharap apa? Aku tidak mengharapkan apa-apa. Ah, aku berharap dia enyah dari hadapanku karena tatapannya membuat aku terus membeku.
“Ayo, kita shalat bersama,” ajaknya.
Aku menolak cepat, alasannya karena saat ini tamu bulananku datang.
Zein yang semula hendak turun dari kasur menoleh ke arahku dengan raut wajah yang sulit aku jelaskan. Dia terlihat kecewa atau menyesali sesuatu.
“Sejak kapan?” tanyanya.
“Kenapa harus tahu?” jawabku dengan pertanyaan baru membuatnya kembali naik ke atas kasur dan mencubit hidungku.
“Tinggal jawab saja, kenapa harus berbelit-belit,” gerutunya.
“Kenapa harus mudah kalau bisa dipersusah.” Aku mengulurkan lidahku padanya lalu masuk kembali ke dalam selimut—menutup seluruh tubuhku.
Aku tersentak saat Zein masuk ke dalam selimut dan memelukku.
“Zein, lepas!”
“Jangan tidur lagi, buatkan aku sarapan. Jalani hukumanmu, aku akan berangkat dengan kereta cepat hari ini. Sarapan sehat dan lezat sebelum aku berangkat, cepat.”
Hukuman seperti apa ini, nggak masuk akal. Karena aku tidak pandai memasak, aku hanya menyiapkan roti untuk Zein. Roti dengan isian daging dan sayur. Aku juga memotong buah dan menuangkan s**u ke dalam gelas.
Zein keluar dari kamar dengan setelan siap untuk bekerja. Bik Sasa belum datang, jadwal beliau pukul tujuh.
“Apa menu sarapanku, Zee? Wow, empat sehat lima sempurna,” ujarnya ketika melihat sarapan yang aku siapkan.
Zein mendekat ke arahku memintaku untuk memakaikannya dasi. Aku menolak malas dan meninggalkannya.
“Zee, ini juga salah satu hukuman untukmu.”
Aku terpaksa kembali dan memakaikan dasi membuatnya tersenyum penuh kemenangan. Kesal dengan senyumannya aku menarik penuh dasinya hingga dia tercekik, lalu kembali menyesuaikan dasinya sambil mengulum senyumku.
“Maaf,” ucapku saat dia terbatuk-batuk, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.
“Zee, kamu—” Zein kembali terbatuk dan meneguk s**u di atas meja. Aku pun cepat masuk ke dalam kamar untuk bersiap.
***
Zein sudah berangkat, dia mengejar kereta cepat pertama pagi ini. Aku pun sudah tiba di kantor.
Aku banyak berinteraksi dengan Sinta, dia sangat membantuku dalam bekerja.
“Makan apa kita siang ini, Mbak Sinta?” tanyaku pada Sinta.
Aku baru saja memeriksa dan menandatangani file darinya. Hari ini aku tidak ada janji dengan Radit. Aku jadi tidak begitu bersemangat hari ini. Terlebih lagi ini hari kedua period-ku dan mood-ku tidak baik-baik saja.
“Saya sudah pesankan makan siang untuk Ibu,” ujar Sinta membuat aku menyernyitkan dahiku. Pasalnya aku belum memesan apa pun untuk menu yang aku inginkan.
Sinta tampak bisa menebak perasaanku dan mengatakan bahwa dia hanya menerima arahan dari Zein untuk membelikan makan siang untukku.
Sinta kembali ke ruanganku membawa bungkusan yang aku yakini makan siang.
“Pak Zein perhatian, ya, Bu,” ujar Sinta membuat aku menoleh ke arahnya saat sebelumnya fokus pada ponselku. “Saya juga kebagian ternyata,” lanjutnya dengan sumringah membuat aku mengerutkan keningku—geli melihat tingkahnya.
Aku mengalihkan perhatianku pada ponselku yang baru saja berdenting.
Pengganggu :
Selamat makan, Zee
Aku pesankan makan siang spesial untukmu
Aku menyeringai membaca pesan dari Zein. Spesial apanya, dia bahkan membelikan untuk Sinta juga, dasar buaya.
Sinta kembali masuk ke ruanganku setelah tadi dihubungi oleh resepsionis.
“Ibu lagi datang bulan, ya? Ada kiriman untuk ibu,” ujarnya mendekat—memberikan paperbag berisi jus, pengompres nyeri haid juga cemilan sehat.
Aku tersenyum, dengan mudah aku bisa menebak siapa yang mengirimnya. Untuk itu, aku ingin menghubungi kesayanganku. Tahu sekali pasti Radit yang mengirim ini untukku.
Baru saja akan menekan nama kesayanganku. Senyummu memudar saat Zein menghubungiku.
Dengan malas aku tetap mengangkatnya.
“Apa?” sapaku ketus tak ingin basa-basi.
“Sudah terima kirimanku, Zee. Kamu harus coba cokelatnya, aku yakin kamu suka.”
Aku meraih paperbag yang ada di atas mejaku dan melihat cokelat di dalam sana. Ternyata ini dari Zein bukan Radit.
“Aku tidak suka cokelat.” Patah sudah semangatku saat tahu ini pemberian dari Zein.
“Jangan mengada, aku tahu semua hal yang kamu sukai dan tidak, Zee. Kalau benar tidak suka, ya, sudah. Berikan saja pada Sinta, dia juga suka cokelat apa lagi pemberian dariku.”
Aku membulatkan mataku tak percaya dengan apa yang Zein ucapkan. Aku melirik Sinta yang sedang melihat layar ponselnya seraya tersenyum entah karena apa.
“Dasar buaya!” Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak—kembali menatap Sinta yang terlihat salah tingkah karena ketahuan sedang senyum sendiri.
“M—maaf, Bu. Ayo, kita makan sekarang, Bu,” ajaknya.
Cih, tidak sabar ingin makan makanan yang Zein belikankah?
***
Radit menghubungiku, dia ingin bertemu denganku padahal sebelumnya kami tidak ada rencana bertemu. Untuk itu, aku memberikan alamat kafe yang pas untuk pertemuan kami sepulang jam kantor nanti.
Sesuai syarat yang Zein sebutkan kemarin, aku pun menghubunginya untuk menyampaikan rencanaku. Zein tidak terima pesan singkat, dia hanya ingin aku menghubunginya secara langsung.
Deringan kedua sambungan langsung terhubung.
Percaya tidak, ini kali pertama aku menghubungi Zein lebih dahulu dan dia terdengar syok dari seberang sana.
Aku menyampaikan rencanaku dengan ragu.
“Kapan, di mana dan ingin melakukan apa?” tanyanya.
“Zein,” rengekku.
“Jawab saja, Zee.”
Aku menjawab sedetail mungkin dan Zein semudah itu mengizinkanku. Namun, entah kenapa hatiku sedikit terenyuh meminta izin pada suami untuk menemui lelaki lain.
Malam harinya
Tidak ada yang berubah dari Zein. Tadi aku tiba di apartemen lebih dahulu darinya. Pertemuanku dengan Radit benar-benar hanya sebentar. Radit hanya ingin melihat wajahku sebelum besok berangkat ke Surabaya.
Begitu juga denganku, tidak ada yang berubah dariku. Aku tetap pada misiku untuk membuat Zein menyerah pada pernikahan kami.
***
Selama Radit di Surabaya kami hanya berkomunikasi melalui sambungan telepon sesekali video call. Aku juga selalu pulang ke apartemen tepat waktu.
Aku masih mengecek beberapa pekerjaanku di atas kasur sementara Zein sedari tadi mengerjakan pekerjaannya di ruang depan.
Aku keluar untuk mengambil minum, aslinya jiwa kepoku meronta-ronta kenapa Zein belum juga masuk ke kamar.
Aku memandangi Zein dari kejauhan yang tertidur bersandar di sofa. Kini Zein terlihat gelisah dan terjadi lagi, Zein seolah kembali bermimpi buruk. Aku duduk di sampingnya—membangunkannya. Butuh beberapa saat hingga dia tersadar dan langsung memelukku. Aku yang tidak siap menerima pelukannya terjauh hingga terbaring di sofa dan Zein menimpaku.
“Ada apa Zein?” Dia membenarkan tubuhku dan tubuhnya dengan posisi yang lebih nyaman dan memelukku.
“Aku selalu bermimpi buruk saat tidur, Zee.”
Padahal belakangan ini dia terlihat pulas di sampingku.
“Lucunya saat bersamamu, aku bisa tidur dengan tenang.”