Syarat Dari Zein

1214 Kata
Hari-hariku kembali berwarna bersama Radit. Aku sudah memberitahunya kalau aku mulai bekerja di kantor Ayah dan tinggal di apartemen yang tidak jauh dari kantor. “Lebih baik kamu shalat sekarang, Sayang. Di depan ada mesjid, aku khawatir mushola di mall ramai dan kamu harus menunggu untuk bergantian,” usul Radit padaku. Kami akan pergi ke bioskop di salah satu mall sepulang kantor. “Boleh, deh. Tungguin, ya,” pintaku dan Radit mengangguk seraya tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan setelah aku selesai melaksanakan kewajibanku. Lusa Radit akan melakukan perjalanan bisnis ke Surabaya selama tiga hari, jadi hari ini kami menyempatkan waktu bersama sebelum jarak membentang di antara kami. Puas menikmati kencan kesekian kalinya, Radit pun mengantarku pulang. “Sebentar, Sayang.” Radit memarkirkan mobilnya—memintaku menunggu di mobil sementara dia masuk ke sebuah minimarket. Dia tersenyum ke arahku memamerkan kantong belanja yang dia bawa membuat aku menyernyitkan dahiku. “Beli apa?” tanyaku penasaran. Radit mengeluarkan pengompres nyeri haid dan memberikannya padaku. “Pakai Sayang. Bilang kalau aku salah menebak,” ujarnya dengan nada sombong. Tidak salah, aku baru saja datang bulan dan menyadarinya saat ke toilet begitu selesai menonton tadi. “Aku lihat kamu tidak nyaman dan menahan nyeri, Sayang,” jelasnya seraya mengusap lembut puncak kepalaku. Aku malah menangis membuat Radit panik dan berusaha menenangkanku. Sungguh tidak adil rasanya takdir cinta kami. Radit menarikku agar masuk ke dalam pelukannya, tapi aku menolak dan menghapus cepat air mataku. “Kita pulang, ya?” usulnya dan aku mengangguk setuju. *** Aku melangkah terus ke lantai tempat unitku berada. Belakangan ini, aku jarang bertemu dengan Zein. Bertemu sih, tapi hanya saat berpapasan saja. Aku lebih banyak mengabaikannya, meskipun dia berusaha mengambil simpatiku. Pagi-pagi, ketika aku bangun, dia sudah berangkat. Saat aku pulang, aku langsung mengurung diri di kamar, dan entah dia pulang pukul berapa. Radit membelikan minuman sehat dan cokelat. Dia juga menyediakan banyak cemilan untukku. Si paling hafal apa yang aku butuhkan saat tamu bulananku datang. Aku belum sempat mendorong pintu, tapi tiba-tiba sudah terbuka, dan sosok lelaki yang paling ingin kuhindari berdiri di hadapanku. “Dari mana?” Biasanya saat aku pulang Zein belum tiba di rumah, tapi kali ini sepertinya dia pulang lebih awal. Aku masuk melewatinya tak menghiraukannya. “Kamu memanfaatkan keadaan Radit dan masih menganggap ini kesempatan kedua kalian?” Aku terus berjalan menuju kamar dan Zein menahanku—menyandarkan tubuhku ke pintu kamarku. “Aku bicara padamu, Zee.” Aku melihat Zein mengeraskan rahangnya menahan amarah, tapi hal itu tidak membuatku gentar dengan keinginanku. “Aku akan membantumu raih kesempatan kedua kalian. Lakukan sesukamu, tapi ikuti syaratku.” Aku menyernyitkan dahiku mendengar penuturannya. “Aku tidak akan membatasi interaksimu dengan Radit, tapi tidak boleh ada berita skandal yang merusak nama keluarga kita.” Zein merapikan rambutku dan membelainya. “Kamu wajib memberitahu kapan dan di mana kamu akan pergi. Satu lagi, mulai malam ini kita tidur di kamar dan ranjang yang sama.” Susah payah aku menelan salivaku melihat wajahnya menatapku penuh minat. “Kalau tidak mau jangan harap kesempatan kedua itu—” “Mau! Aku setuju,” jawabku ragu. Zein menyeringai dan berdecak. “Cantik-cantik buta—ah! Sakit, Zee,” rajuknya saat aku menginjak kakinya. Zein bilang aku dibutakan oleh cinta hingga tidak bisa berpikir dengan logika. Aku berbalik setelah mendengar ceramahnya—masuk ke dalam kamarku yang ternyata sudah rapi dan kosong—tidak ada satu pun barangku yang tersisa. Aku memicingkan mataku pada Zein yang mengedipkan sebelah matanya. “Kamar kita di sana, Zee.” Aku berjalan melewatinya dan Zein mendorong tubuhku dengan kedua tangannya yang berada di pundakku. Kamar utama apartemen ini lebih besar dari yang aku kira. Aku menerjap saat semua barang yang ada di sini berpasang-pasangan. Bantal couple, ada gelas di atas nakas dan yang paling menarik perhatianku ada foto pernikahan kami. Aku tidak menyadari kalau aku secantik itu di hari pernikahan kami. Zein berpamitan akan melanjutkan pekerjaannya di ruang kerjanya—di sudut kamar yang hanya di batasi partisi. Aku berkeliling kamar hingga berakhir di kamar mandi. Aku menahan tawaku saat melihat wadah sikat gigi dan handuk kimono couple. Aku tidak menyentuh barang-barang yang ada di kamar ini. Aku membersihkan diri dan segera naik ke atas kasur. Tak lupa mengecek ponselku dan benar saja kesayanganku mengirim banyak pesan singkat untukku. Puas bertukar pesan, aku pun memutuskan untuk tidur. *** Aku terbangun karena ingin ke kamar mandi, sepertinya aku terlalu banyak minum sebelum tidur. Aku tidak mendapati Zein di ranjang, apa mungkin dia masih bekerja? Saat melewati ruang kerjanya, aku mendengar suara rintihan dan isakan membuat jiwa kepoku meronta-ronta. Aku mendekat ke ruangan kerja Zein dan mendapati dia tertidur dengan kedua tangannya melipat di atas meja menahan kepalanya. Sepertinya Zein mimpi buruk, dia terisak dan tubuhnya berkeringat. Rintihan semakin menjadi dan tubuhnya bergetar. Aku memanggilnya hingga panggilan kedua, aku mengoyangkan pelan tubuhnya. Zein tersadar lalu menarikku duduk di atas pangkuannya—memelukku. Darahku berdesir melihatnya malam ini. Zein yang tenang terlihat rapuh. Baik aku maupun Zein tidak mengatakan apa-apa, aku pun menurut saja dia dekap seerat ini. “Kamu tidak pernah meninggalkan aku Zee, aku yakin kali ini pun kamu akan tetap bersamaku.” Zein mengurai pelukannya menautkan dahi hingga hidung kami saling bergesekan. Hening dan aku manut saja seolah terhipnotis olehnya. “Kenapa belum tidur, hm?” “A-aku mau ke toilet—Zein, tadi—” Zein kembali memelukku mengatakan dia baik-baik saja, tapi sungguh, tadi dia terlihat sangat tidak baik-baik saja. Zein mengaku kesulitan tidur di malam hari dan menghabiskan waktu dengan bekerja hingga pagi menyapa. Pantas saja dia selalu tidak ada di sampingku ketika aku bangun. Namun, tadi dia sempat terlelap dan mimpi buruk. “Nggak jadi ke toilet?” tanyanya dan aku melepas cepat pelukannya, berlari , lalu meninggalkannya. Aku mencoba mengingat kalimat yang Zein gumamkan tadi. Namun, aku tetap tidak paham. Mungkin saja dia tengah melantur karena habis mimpi buruk. Zein masih berkutat dengan pekerjaannya, padahal saat ini sudah pukul satu dini hari. “Kenapa?” tanyanya melihat aku terdiam menatapnya. Aku pun heran kenapa aku berdiri dan terpaku menatapnya. “Nggak tidur?” tanyaku dan Zein tersenyum, lalu merapikan meja kerjanya sementara aku terus naik ke atas kasur. Zein tampak meregangkan tubuhnya ikut naik ke atas kasur. “Aduh, tidur dengan istri,” godanya padaku. Aku memperingatinya agar menjaga jarak dan menumpuk bantal di antara kami. Zein tertawa dan menantangku dengan menambah bantal pemisah. “Siapa yang melewati batas dia wajib dihukum.” Sepertinya masa kecil Zein membosankan hingga dia bersikap seperti anak kecil. Atau mungkin dia ingin semua orang merasakan penderitaannya di masa lampau yang selalu mendapat hukuman. Aku mengabaikannya dan berbalik memunggunginya. *** Pagi harinya Tubuhku yang lelah terasa sangat segar dan bugar. Aku mengeratkan pelukanku—mencium rakus wangi yang menyapa penciumanku pagi ini. Pelukan? Aku membuka mata—mendongak dan menganga saat melihat pahatan indah, maksudku wajah Zein tepat di hadapanku. Dia tidur dengan tenang dan terlihat nyenyak. Aku melipat mulutku dan memejamkan mataku menyadari aku tengah memeluk Zein dengan posesif. Aku mengangkat pelan kakiku yang melingkar di pahanya bersamaan dengan tanganku di dadanya. Pelan, tapi pasti tubuhku sedikit menjauh dari Zein. “Hm … bagaimana ini? Pagi-pagi sekali aku sudah harus menghukum seseorang. Hukuman apa yang pantas, ah, aku tidak bisa berpikir sepagi ini,” ujarnya panjang lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN