Para Penagih Hutang

1209 Kata
Gara-gara Nikah di KUA Bab 5 : Para Penagih Hutang Bude Yani terlihat berusaha menenangkan tiga orang wanita di depan rumahnya itu, sedang Mira tak terlihat di sana. Ibu mengajakku untuk segera masuk kembali ke dalam. “Entar, Bu, Nai mau lihat adegan seru ini dulu. Siapa tahu nanti Bude Yani dijambak tiga tamunya itu?” ujarku dengan menahan senyum. “Emangnya kamu ngapain? Mau nolongin Budemu?” Ibu terlihat menautka alis. “Iya, mau nolong ... nolong buat nyorakin.” Aku terkekeh. “Hus, nggak boleh gitu, kualat kamu nanti!” Ibu melotototiku. Aku menutup mulut, menahan tawa. Kini mata kami kembali ke pemandangan depan rumah. Eh, suasana semakin memanas, Bude menyiram satu ember air kepada tiga tamunya itu. “Ya Tuhan!” Ibu memegangi dadanya menyaksikan kebrutalan Kakaknya itu. Tiga tamunya itu semakin meradang dan kini mengurubuti Bude Yani. Beberata tetangga yang kebetulan menyaksikan adegan itu hanya menonton saja. “Nai, ayo bantuin Budemu sana!” Ibu menarikku turun dari rumah. “Nggak usah, Bu, Nai yakin ... pasti Bude yang menang kok!” Aku masih menahan tawa. Ibu yang memang takut dengan perkelahian, tak bisa berbuat apa-apa melihat Kakaknya kini dikerubuti tiga wanita penagih hutang kayaknya. Melihat ekspresi Ibu yang kebingungan, aku mencoba melerai perkelahian itu. “Maaf, Ibu-ibu ... kok main kekerasan begini? Apa semua masalah akan selesai dengan cara seperti ini?” Aku menarik Bude dari tiga wanita kesetanan itu, lalu berdiri di tengah-tengah mereka. “Mau membela Budemu, Nai?” Salah satu dari mereka melototi aku. “Nggak sih, Cuma gak etis saja kalau main keroyok begini. coba satu lawan satu, kan kayak nonton acara tinju di tv,” ujarku lagi. Mendengar ocehanku, kini Bude melotot kepadaku dengan membenarkan rambutnya yang acak-acakan akibat ulah tiga wanita di hadapan kami. “Oke, jadi kami mau kepastian saja dari mulutmu, Nani! Kapan kamu mau bayar hutang! Dan satu lagi, jaga etikamu, kami ke sini mau menangih hutang jadi tak sepantasnya kamu malah menyiram kami!” “Iya, betul itu. Kalau tak mau ditagih ke hutang, jangan berhutang. Ingat, ya, Yani, hutangmu di warungku ketikan nikahan Mira itu masih satu juta,” ujar Ibu pemilik warung yang berada di ujung jalan. “Hutang riasan pengantin masih sisa lima ratus ribu lagi!” Sang tukang rias menambahkan. “Hutang kue pernikahan juga ada enam ratus ribu, barangkali kamu lupa, ini kami ingatkan lagi!” Kini pemilik toko kue yang angkat bicara. “Nanti kubayar kok, salah kalian sendiri, disuruh pergi baik-baik tapi malah nggak mau dan malah teriak-teriak di depan rumahku. Bikin malu saja! Pulang kalian semua, bulan depan kubayar kok,” ujar Bude Nani dengan nada ketus. “Dari kemarin bilangnya juga bulan depan dan bulan depan, tapi tak juga ada dibayar,” jawab sang tukang rias. “Coba anakmu yang banyak gaya itu disuruh keluar, soalnya dia sudah memblokir nomor hapeku.” “Mira tak ada, pulang kalian sana! Nanti dibayar kok!” ujar Bude dengan sambil melangkah menuju rumahnya lalu menutup pintu dengan sangat keras. “Dasar, nggak Ibu, nggak anak, kalo ditagih ke hutang, susahnya minta ampun. Aws saja kalau bulan depan juga belum bisa bayar!” ketus tiga wanita itu dan kemudian meninggalkan rumah Bude. Para tetangga yang tadi meononton langsung bubar, Ibu menggandengku untuk pulang. “Bu, banyak juga, ya, hutang Bude Yani,” ujarku saat masuk kembali ke rumah Ibu. “Entahlah, Nai. Kita jangan ikut campur, itu urusan mereka,” jawab Ibu dengan sambil menghidupkan api tungku untuk menumis kangkung yang tadi sudah kupotong-potong. “Tapi kok ... beli mobil baru bisa, ya, Bu, mereka?” tanyaku lagi. “Ya sudah, kita jangan ngomongin Budemu lagi. Gimana kabar rumah tanggamu dengan Yusril? Kalian ‘kan nikah tanpa pacaran kayak anak muda lainnya, apa dia baik sama kamu?” tanya Ibu yang sepertinya ingin mengalihkan topik pembicaraan. “Alhamdulillah, baik-baik aja, Bu. Bang Yusril pria terbaik, Nai beruntung bisa dipersunting olehnya. Kalau melihat Bude yang terlilit hutang di sana-sini hanya karena pernikahan Mira, Nai sangat bersyukur nikah di KUA. Emang sih, semua itu tetap ada dampak negatif dan buruknya.” Aku tersenyum tipis. Ibu tak menjawab ocehanku, ia terlihat masih sibuk memasak. Setelah menumis kangkung, ia melanjutkan dengan menumis cabai untuk membuat sambal geranti tempe dan ikan teri. Aku mengamatinya dan berhenti membicarakan saudara dari ibuku itu, mungkin dia tak mau kami menggunjingkan saudara kandungnya. *** Beberapa minggu berlalu. Hari ini hari minggu, Bang Yusril tadi pagi pamit untuk pergi ke kota lagi setelah subuh-subuh pergi mencari rumput terlebih dahulu untuk majikannya itu. Setiap sore, aku selalu menyibukkan diri dengan halaman juga tamaman cabai dan sayuran yang kutanam di samping rumah. Ada terong, timun, labu dan kacang panjang. Dengan begini, aku tak perlu repot beli sayur lagi, malahan kalau hasil tanamanku banyak, bisa dijual ke pasar. Dari arah depan rumahku, terlihat Bude Yani dan Mira singgah. Tumben sekali mereka ke sini Cuma berjalan kaki saja. “Nai, Bude mau minta cabemu, ya,” ujarnya dengan sambil mendekat ke arah tanaman cabaiku yang memang sudah berwarna merah. “Iya, Bude, ambil saja! Kalau mau sayuran juga ambil saja! Tunggu sebentar Nai ambilin kantong plastik dulu,” jawabku dengan sambil berlari masuk ke dalam rumah. Mira hanya sibuk bermain ponsel saja, sedang Bude Nani mulai mengambil cabai juga sayur-sayuranku lainnya. Taklama berselang, Bang Yusril sudah kembali ke rumah, aku menyambutnya di depan pintu. "Assalammualaikum," ujarnya dengan sambil tersenyum ke arahku juga Bude dan Mira. "Waalaikumsalam, Bang." Kuraih tangannya untuk salim. Setelah menyapa Bude dan Mira, Bang Yusril pamit masuk ke dalam rumah. Bude mendekat ke arahku dengan kantong plastik yang sudah terisi aneka sayuran. "Dari mana itu suamimu, Nai? Gembala kok rapi gitu, kayak kerja di kantor desa saja! Banyak gaya sekali!" cibirnya dengan nada sinis. Darah terasa naik ke ubun-ubun juga mendengarnya, udah dikasih sayuran, eh malah sempat-sempatnya menghina suamiku. "Satu plastik penuh gitu Bude cukup bayar Rp25.000," ujatku tiba-tiba dengan sambil menadahkan tangan di hadapan wanita yang hoby bergincu merah dengan dandanan glamar dengan emasnya yang bergelantungan di tubuh subur itu. "Hah, jadi bayar? Bukannya tadi kamu yang nyuruh ambil sayurnya?" Bude merengut. "Zaman sekarang nggak ada yang gratis, Bude! Nikah di KUA juga bayar loh biaya administrasinya. Buruan bayar, dilarang ngutang!" ujarku dengan nada sinis, meniru gayanya. Dengan wajah jengkel, Bude meminta uang dengan Mira lalu menyodorkannya kepadaku. "Berarti Bude masih hutang Rp5.000,- lagi, ya," jawabku dengan sambil menyimpan uang Rp20.000 itu ke saku celana. Taklama kemudian, Bang Yusril sudah pamit untuk pergi lagi dengan setelann ala gembala, sungguh berbeda dengan penampilannya yang tadi. "Loh, suamimu pergi lagi, Nai? Sok sibuk sekali dia!" Bude Nani kembali berkomentar. Aku memutar otak otak, berusaha untuk mengarang kebohongan agar mulut Budeku ini bisa tersumpal. "Bang Yusril mau ke rumah Juragan Burhan untuk memasukkan ternak ke kandang. Kalo tadi ... Dia dari Kota, suami Nai 'kan kerja di sana," ujarku dengan memutar otak kembali, memikirkan kerjaan yang tak jauh-jauh dari sapi. "Kerja apa Si Yusril di Kota?" Mira yang sedari tadi hanya sibuk dengan ponsel, ikutan nimbrung juga. "Kerja di kantor pengelolaan daging sapi .... " Aku menggigit lidah, karena kebohongan yang tak masuk di akal ini soalnya nggak ada deh nama kantor kayak gitu. Bude dan Mira terlihat saling tatap, aku menarik napas panjang, sepertinya sebentar lagi mereka akan menetertawaiku. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN