Gara-gara Nikah di KUA
Bab 4 : Sabtu-Minggu
Bang Yusril masuk ke rumah, wajahnya terlihat semakin letih. Aku tahu, ia pasti tersinggung dan terhina atas perlakuan norak suami dari sepupuku itu. Aku jadi tak enak hati, padahal banyak juga orang kaya di desa ini tapi tak seheboh mereka.
“Maafkan Ibu, Nai, Ibu tak tahu kalau mereka ke sini hanya untuk menghina kamu saja.” Ibu menatapku dengan sambil menyapu matanya yang terlihat basah karena air mata.
“Nggak apa, Bu, ini bukan salah Ibu kok. Lain kali, Ibu jangan terpedaya oleh mereka lagi, tak perlu dekat-dekat mereka lagi,” ujarku dengan menghela napas berat.
“Iya, Nai. Ya sudah, Ibu pulang dulu, ya!” jawab Ibu dengan sambil memasang sandal jepitnya lalu membalikkan badan dan keluar dari perkarangan rumahku.
Kutatap punggung wanita paruh baya yang semakin menjauh itu, dia memang tak pandai berpikiran buruk kepada orang lain, juga saudara-saudaranya yang memang selalu menghina karena kemiskinan kami tapi aku tak mau seperti Ibu yang memang selalu mengalah dan memilih diam. Aku takkan mau dihina karena aku memang tak pernah menyusahkan saudara.
Kututup pintu rumah, lalu menuju dapur untuk menyiapkan makan untuk suamiku. Semoga kehidupan kami bisa menjadi lebih baik lagi, agar tak selalu dihina keluarga. d**a ini masih terasa sesak jika mengingat kejadian tadi.
***
Beberapa bulan kemudian.
Hari ini, Bang Yursil sudah pergi bekerja lebih awal dari biasanya yaitu sehabis sholat subuh. Katanya biar pagi sudah bisa pulang sebab setiap sabtu dan minggu, ia selalu pergi dengan pakaian rapi yang kalau kutanya, ia hanya menjawab dengan senyuman.
“Bang, emang nggak apa-apa kalau ternak juragan ditinggal?” tanyaku saat Bang Yusril sudah siap dengan setelan rapinya, kemeja biru dan celana kain berwarna hitam.
“Nggak apa-apa, ada Faisal yang jagain kok. Nanti sore Abang juga udah balik,” jawabnya dengan sambil menenggak kopi yang kubuatkan untuknya.
Aku mengerucutkan bibir seraya menaikkan alis, sambil menganggukkan kepala. Faisal itu temannya sesama gembala yang bekerja untuk juragan Burhan.
“Emang Abang ke mana sih tiap hari sabtu dan minggu itu?” tanyaku lagi, mengulangi pertanyaan minggu-minggu lalu yang pernah kulontarkan kepadanya.
“Nandi deh Abang ceritanya, Adek baik-baik di rumah, ya!” jawabnya sembari mendaratkan kecupan di dahiku.
“Hati-hati deh, Bang.” Kuantar dia ke depan pintu.
“Abang pergi, assalammualaikum,” ujarnya sembari mengulurkan tangannya.
“Waalaikumsalam,” jawabku dengan mencium punggung tangannya.
Bang Yusril naik ke motor bututnya, kemudian berlalu. Aku memasang sandal, lalu melangkah ke jalanan untuk ke warung buat beli lauk makan siang nanti.
Di gerobak Mak Long, terlihat para Ibu-ibu sedang mengerumuni tukang sayur keliling yang menjajakkan sayurnya dari desa ke desa.
“Eh, Naima, beli sayur?” sapa Rasminah, wanita paruh baya yang sebaya dengan Ibuku.
“Iya, Bu,” jawabku sambil mengambil sepotong tempe dan sebungkus ikan teri yang sudah dikantongi satu ons.
“Eh, tadi aku lihat Yusril pakai pakaian rapi, mau ke mana dia?” tanyanya dengan keponya.
“Iya, Nai, ke mana perginya suamimu itu? Apa pergi kondangan, tapi kok kamu nggak diajak?” Kini Jamilah lagi yang ikutan nimbrung.
Aku menggigit bibir, bingung juga mau menjawab pertanyaan Ibu-ibu kepo ini.
“Hmm ... ada urusan di Kota Bang Yusrilnya,” jawabku akhirnya, dan terpaksa berbohong.
“Ngapain?” Rasminah semakin kepo.
“Disuruh Juragan Burhan beli vitamin sapi.” Aku menggigit lidah, kebohongan ini meluncur begitu saja.
“Masa sih? Jadi ... Sapi juga ada vitaminnya?” Jamilah menganga.
“Pantas saja sapinya Juragan Burhan sehat-sehat dan gemuk, ternyata dikasih vitamin.” Rasminah mengangguk-angguk.
“Kirain cuma manusia aja yang ada vitaminnya, ternyata sapi juga ada, ya.” Tusilah yang tadi hanya mendengarkan, ikutan garuk-garuk kepala.
Sebelum pertanyaan semakin merembet, segera kubayar belanjaanku.
“Ibu-ibu, saya duluan, mau mampir ke rumah Ibu saya dulu,” ujarku sambil mempercepat langkah menuju rumah Ibu yang dari sini sudah terlihat.
Di ujung jalan, terlihat Mira sedang mengantar suaminya ke depan rumah dengan tak lupa berpelukan mesra. Aku segera memalingkan wajah dan berbelok ke rumah Ibu yang memang berhadapan dengan rumah bude Yani, Ibunya Mira.
“Assalammualaikum,” ucapku saat tiba di depan rumah Ibu yang hanya terbuat dari papan itu, kurang lebih sama dengan gubukku, hanya saja rumah Ibu sedikit lebih luas.
Ini juga alasanku untuk tak mengadakan resepsi saat menikah dengan Bang Yusril beberapa bulan yang lalu sebab sangat sulit menampung para tamu dengan kondisi rumah yang seperti ini dan lagipula, di rumah ibuku ini tak mempunyai peralatan masak yang lengkap. Aku kasihan padanya jika harus meminjam ke tetangga, seperti pernikahan Kakakku beberapa tahun yang lalu. Kami sangat kerepotan saat itu, hingga piring dan sendok pun harus meminjam juga. Maka dengan itu, aku memutuskan menikah di KUA saja tanpa mengadakan cara lagi di rumah walau akibatnya selama beberapa bulan, cibiran dan kritikan harus kutuai.
“Waalaikumsalam,” jawab Ibu dengan muncul ke depan pintu. “Eh, kamu, Nai, Ibu kira siapa.”
“Ibu sedang apa?” tanyaku sambil membawa belanjaanku masuk.
“Ibu lagi di belakang, bersihin kandang ayam. Bapakmu mau nyoba memelihara ayam lagi, kayak dulu, kebetulan kemarin Kak Nur-mu ada ngasih modal buat bapakmu usaha ternak ayam pedaging,” jelas Ibu.
“Oh, bagus deh, Bu. Alhamdulillah.” Aku tersenyum senang.
“Iya, kamu doakan, ya, moga ternak ayam bapakmu lancar. Ini dia lagi ke pasar buat beli anak ayam.” Ibu tersenyum merekah.
“Ya, Bu, Naima selalu mendoakan yang terbaik untuk keluarga kita. Bapak, Ibu, Kak Nurlaila, Kak Nirmala juga Nadim, adik bungsu Nai itu.” Aku meletakkan belanjaanku di dekat Ibu. “Ibu udah belanja belum? Ini Nai ada beli tempe ama ikan teri, mau dibikin sambal geranti aja.”
“Hmm ...belum sih, kamu mau Ibu masakin?” Ibu tersenyum.
“Iya, Nai mau numpang makan di sini, kangen makan sama-sama Ibu dan Bapak, Bang Yusril juga lagi pergi ke Kota, pulangnya sore.”
“Sambal geranti dan sayurnya tumis kangkung, pasti mantap ini. kamu potong-potong deh tempenya, Nai, Ibu mau ambil kangkung di belakang rumah.” Wanita dengan daster lecek itu begitu bersemangat.
Aku mengangguk, lalu mengikuti Ibu ke dapur.
***
Saat sedang asyiknya memasak di dapur Ibu, terdengar suara ribut-ribut dari depan rumah.
“Susah banget, ya, bayar hutangnya! Tahu gini nggak aku kasih tempo untuk bayar waktu itu!”
“Gayanya selangit, tapi hutang di sana-sini!”
“Beli mobil aja bisa, tapi hutang dua juta saja nggak bisa bayar!”
Aku dan Ibu saling tatap, lalu bersama-sama untuk keluar untuk melihat ada apa di luaran sana. Di depan rumah Bude Yani ada beberapa orang Ibu yang terlihat sedang marah-marah, salah satu diantaranya, ada tukang rias pengantin yang diambil saat pernikahan Mira. Apa jangan-jangan ... hmm ... nggak boleh su’udzon.
Bersambung ....