Gara-gara Nikah di KUA
Bab 6 : Sama-sama Hamil
“Apa, kantor pengelolaan daging sapi? Kantor apaan itu? Ngarang aja deh kamu, Nai! Hahaaa .... “ Mira cekikikan dengan sambil memegangi perutnya, geli sekali hatinya itu.
“Kasihan kamu, Nai! Makanya, kalau pingin punya suami yang kerja kantoran itu, jangan asal nerima lamaran pria gembala seperti Yusril. Pilih-pilih dulu, atau juga ceraikan saja di gembala miskin itu terus nyari suami baru lagi!” timpal Bude dengan mulut yang begitu lemasnya.
“Mau bohong juga mesti pakai logika, Naima, masa gembala gak tamat SD gitu mau ngaku kerja kantoran! Hahaa ... orang kerja kantoran itu harus punya ijazah kuliah, S.1,” ujar Mira lagi dengan tatapan merendahkan, sedang aku hanya bisa gigit jari, tak bisa menjawab ejekannya.
“Lucu kamu, Nai, suami ngga berpendidikan gitu mau dibilang kerja kantoran. Kalo suami Mira sih ... Sarjana Ekonomi, lulusan Ibu Kota, pantas sekali kerja di kantoran. Ya sudah, ayo pulang, Mir! Perut Mama sakit lama-lama di sini, Si Nai mau jadi pelawak sekarang!” Bude menatap Mira, masih dengan mode tertawa melecehkan.
Aku terdiam dengan menarik napas panjang. Kedua Ibu dan anak itu berlalu dari hadapanku dengan masih cekikikan. Salahku juga sih, yang tak pandai mengarang kebohongan sehingga tak masuk akal begitu. Hmm ... jahat sekali mereka, masa suamiku dibilang nggak berpendidikan dan nggak tamat SD. Bang Yusril itu sekolahnya sampai SMA dulu kalau nggak salah sih, kalo SMP sih satu sekolah denganku dulu tapi dia dua tahun di atasku lagi. Aku saja yang cuma tamat SMP dan tak punya biaya lagi untuk lanjut ke bangku SMA. Bang Yusril itu sejak dari SMA udah jadi gembala di rumah Juragan Burhan, tapi cuma paruh waktu saja dan dia membiayai sekolahnya sendiri. Jadi, dari kecil dia sudah terbiasa hidup susah sebab orangtuanya hanya petani upahan dan tak punya sawah sendiri.
Aku masuk ke rumah dengan suasana hati yang sedikit panas, jengkel juga lama-lama dengan mulut mereka. Bang Yusril juga sih, pakai rahasia-rahasiaan segala, jadi aku tak bisa menjawab dengan jujur ke mana ia setiap hari sabtu dan minggu itu.
***
Hari terus berlalu, apa yang kami nantikan terkabul juga. Kini aku telah mengandung buah cinta kami, Bang Yusril terlihat sangat bahagia dengan kabar dari Bidan desa kemarin. Dia mulai melarangku untuk terlalu capek, padahal kesibukanku hanya pada kebun sayurku saja.
“Sayang, kamu di rumah saja, jangan terlalu banyak main di kebun lagi,” ujarnya suatu malam.
“Di rumah juga bosan, Bang. Di kebun nggak bikin capek kok, malahan Nai senang,” jawabku sambil menatapnya.
“Abang nggak melarang Adek untuk berkebun, cuma jangan terlalu capek. Ingat istirahat!” Bang Yusril mentoel hidungku.
“Bang, hari sabtu besok bakalan pergi ke Kota lagi?” tanyaku masih dengan rasa penasaran.
“Iya, emang kenapa, Sayang? Mau ikut?” Dia mengulum senyum.
Aku tersenyum senang, dan menjawab cepat, “Emang boleh ikut? Mau dong.”
“Ya ... ngga boleh, hehe .... “ Dia terkekeh.
“Bang, bilang deh terus terang ... Abang itu ke mana setiap hari sabtu dan minggu? Abisnya Adek nggak bisa jawab kalau ada yang nanyain kepergian Abang itu.” Aku mengerucutkan bibir menatapnya.
“Bilang saja ke Kota, beres ’kan?” Dia masih saja tersenyum.
“Tapi masih aja ada yang nanyaain, ngapain itu ke Kota?” Aku masih bersungut kesal dengan menirukan gaya Ibu-ibu kepo di desa ini.
“Bilang aja, mau tahu aja atau mau tahu banget?” Bang Yusril menggerak-gerakan alisnya.
“Isshh ... nyebelin!” Aku merengut dengan melipat kedua tangan di d**a.
“Hmm ... nanti kalau sudah tiba waktunya, Abang akan bilang kok, Sayang. Yang jelas, apa yang sedang Abang lakukan ini, untuk masa depan kita nanti. Semoga saja, pas calon anak kita lahir, kehidupan kita sudah berubah sedikit menjadi lebih baik. Terima kasih, ya, sudah bersedia mendampingi suami miskin seperti Abang dan rela merayap dari nol.” Bang Yusril berkata dengan raut serius.
Aku tersenyum sembari menganggukkan kepala.
“Amin, Bang. semoga usaha yang sedang Abang rahasiakan itu juga lancar biar Naima bisa dikasih tahu dan nggak mati penasaran,” jawabku.
“Huss, nggak boleh bilang gitu. Ayo tidur, sudah malam!” Bang Yusril membaringkan tubuhnya di kasur dan memberi isyarat agar aku juga segera berbaring di sampingnya.
***
Sore ini, aku sengaja pergi ke rumah Ibu dengan membawakan beberapa sayuran untuknya sambil mengintai pohon mangga tetangga barangkali saja ada yang berbuah, soalnya pohon mangga di depan rumahku tak ada yang berbuah, padahal aku sedang ngidam mangga muda.
Di depan rumah Bude Nani terlihat ada beberapa orang yang sedang berdiri di teras, aku menatap tajam sembari berbelok ke rumah Ibu.
“Assalammualaiku, Bu,” ujarku sembari duduk meleseh di lantai teras rumah Ibu.
“Waalaikumsalam, Nai, ayo masuk!” Ibu muncul ke depan pintu.
“Duduk di sini saja, Bu, sambil mantau info terkini, kali aja bakal ada adegan jambak-jambakan lagi,” jawabku dengan sambil menunjuk rumah Bude Nani.
“Hus, kamu ini, Nai, ada-ada saja. Lagi hamil muda gitu kok senangnya lihatin orang berantem,” sungut Ibu dengan kesal, namun duduk juga di sampingku.
“Lagi bawaan orok kali, Bu, hehe .... “ Aku nyengir kuda dengan sambil mengulurkan kantong plastik yang berisi sayuran itu kepada Ibu.
“Terima kasih, Nai,” jawab Ibu dengan raut senang lalu menyimpan sayurnya masuk kemudian kembali lagi kemudian duduk di sampingku.
“Gimana, Bu, kabarnya Bude Nani, apa para penagih hutang kemarin itu datang lagi?” tanyaku kepo.
“Nggak tahu deh, Nai. Kayaknya udah dibayar deh, soalnya besok Budemu itu mau ngadain syukuran atas kehamilannya Mira,” jawab Ibu.
“Mira hamil juga, Bu? Emang udah berapa bulan sampai mau bikin acara syukuran?!” tanyaku dengan sedikit kaget.
“Heh, orang susah ... orang kaya mah bebas mau ngadain pesta kapan pun! Julid amat!” Suara Bude Nani terdengar dari samping kami.
Aku dan Ibu sama-sama menoleh ke arah suara dan seperti ketangkap basah saja, yang dighibah malah nongol di depan mata. Aduduuu ... habislah kami.
“Ya deh orang kaya, semoga nanti kaya benaran dan nggak cuma kaya hutang!” jawabku ketus dengan kata-kata yang tak dapat kukontrol.
“Apa, Nai, kamu bilang apa barusan?!” Bude Nani melotot geram seakan siap menelanku hidup-hidup.
Bersambung ....