Pov : Reined
Romeo digandeng kak Jullien dan Bude berjalan di karpet merah yang ternyata berwarna ungu tua. Dibelakangnya ada Abang dan Pak De lalu menyusul Aku dan Austin. Romeo duduk bersalaman dengan wali nikah dan penghulu. WO menuntun kami untuk duduk di barisan bangku keluarga. Pengantin wanita akan keluar setelah ijab kabul.
Sementara berjalan menuju tempat duduk mata gue menyapu satu per satu tamu yang hadir, dan menemukan sosok perempuan yang duduk paling belakang di deretan bridesmaids.
Dih, ada bidadari nyangkut di kondangan Abang gue.
Sepanjang acara gue gak melepaskan pandangan gue ke sosok cantik itu. Bibirnya terbalut lipstik berwarna coral kepink-pink-an, rambutnya di kepang kuda tapi bagian depannya rada mengembang dan disisakan beberapa helai di pelipisnya. Bibirnya itu ya Allah gue langsung ngebayangin aja nyium tu bibir liat bentukannya yang rada sedikit monyong seakan sedang melafalkan huruf "U". Gue bisa mendeskripsikan seperti apa bidadari itu dengan amat detail karena sepanjang akad nikah, gue hanya terfokus melihat ke arahnya. Sampe sesek d**a gue, bidadari kayak gini nggak akan gue lepasin. Liat aja lo, pasti jadi punya gue.
Setelah akad adalah acara makan-makan. Mbak Lintang dan Romeo berdiri di panggung untuk menyalami para tamu. Sebelum banyak tamu yang datang gue mendahului diri, mengucapkan selamat ke mereka.
Mbak Lintang memang jauh lebih muda dari gue. Kata Romeo tata cara pemanggilan seseorang di dalam hirarki bahasa jawa berkaitan dengan nilai kesopanan. Nah, jadi karena dia menikah dengan kakak gue jadi gue harus manggil dia Mbak, meskipun gue sendiri tidak memanggil Romeo dengan embel-embel kakak di depan namanya.
Jadi, gimana tadi, oh ya, gue akhirnya bertemu dengan mbak Lintang, dia manis tapi menurut gue dagunya terlalu lancip jadi gue berpendapat bahwa memang selera gue sama Romeo berbeda masalah cewek. Suaranya kecil sekali, dia lulusan Queensland.
“Salam kenal ya Rained, akhirnya kita ketemu juga, setiap acara keluarga kamu selalu absen, apa sesibuk itu?”
“Nggak, dia insecure terlalu banyak dosa,” sambung kakak gue yang sangat baik. “Mangkanya aku suruh cepetan nyusul. Kan enak sama yang halal, nyari yang haram terus ni anak.”
Gue nyengir kuda. Ingin rasanya gue tinju ni orang. semudah itu memang harga diri gue jatuh akibat dosa-dosa yang terpampang nyata ini. Apakah gue harus memperbaiki diri? Bisa, kalau gue jadi sama cewek berbibir plumphy coral tadi. Eh, tanya ah…
“Oh iya mbak, gue minta dikenalin dong mbak,” main langsung-langsung aja, itulah gue. Kalau kalian ingin menjadi seorang pebisnis handal kalian harus menghancurkan harga diri, menjilat ludah sendiri, kalau perlu jalan pakai tangan sambil kayang demi terciptanya sebuah kesepakatan. a***y, mantep gue!
Romeo memutar bola mata.
“Temanku?” tanya Lintang bingung.
Aku mengangguk. “Dia pakai baju bridesmaid, rambut dikuncir, cantik deh”
Romeo merangkul istrinya “Udah, udah jangan ditanggepin masih mabok sisa semalam kayaknya.” Romeo menepuk pipiku. “Cuci muka dik!”
Aku menepis tangannya “Lo aja sana!” aku pun berpaling pergi, terkesan tidak baik dimata mbak Lintang, tapi sudahlah, salah siapa, salah suaminya. Ternyata masih mendingan Bang Handi daripada Romeo, sudah iseng nggak jelas lagi, kakak bahlul. Gue harap istrinya bisa sedikit kasi suntikan nutrisi ke otaknya.
Gue berjalan ke dekat makanan, bermaksud mengambil kambing guling, lalu di tengah kerumunan mencuat rambut keriting di tengah kerumunan para tamu, berjalan ke arahku. “Om!” panggilnya.
Gue seketika tertahan, sibuk mengamati perubahan penampilannya. Ampuuun, “Bias.” Tidak sadar gue berjalan mendekat dan memeluknya. Astaga, dia sudah besar! Aku seakan terjebak di lorong waktu. Aku tidak bisa percaya bocah cadel, rambut keriting, tukang rusuh, cucu manja kesayangan papa ini jadi tumbuh bongsor seperti ini.
“Anjir lo kayak homo Om!” dia mendorong tubuhku jijik.
Bayangkan, bocah cengeng yang hobi ngintilin gue sekarang udah bisa ngatain gue homo. Gue ini loh pamannya, gue ini loh se kagum itu sama perubahannya, di dalam kepala gue seharusnya ni bocah tetap jadi bocah. Kenapa berubah bentuk jadi kayak Carlos Alcaraz gini?
"Astaga astaga astaga....no....no..." Aku melihat tubuhnya yang kini setinggi aku, dengan tubuh agak kurus tapi jelas padat dengan otot, dia kan atlet tennis. "Kok jadi kayak pangeran-pangeran gitu sih tampang lo, kenapa lagi rambut dipanjangin gini? nggak risih pas tanding?"
“Nadal aja rambut panjang kok.” Dia nyengir. “tapi bukan karena itu sih, sengaja gue panjangin karena malas potong aja, cari suasana baru mumpung libur,” akunya dengan gesture santai mirip ayahnya. “Gue belum ada pertandingan, awal musim Januari ini untuk Australia Open, penyisihannya di tennis indoor, nonton ya! Jangan pulang ke Boston dulu.”
“Gue udah nggak di Boston, gue di Brussel sekarang.” Gue berdecak takjub sekaligus bangga melihat dia seperti ini. Ini bocah bukan kaleng-kaleng “duel ama gue dong sekali, lo harus liat service ala Alcaraz”
Dia terkekeh, sambil menepuk bahu gue sok angkuh. “Gue tahu kemampuan lo sampai mana om.”
“Anjir, songong banget mentang-mentang atlet nasional. percaya diri lo bawa’an bapak lo kayaknya”
“Ibuk sih.” Yah walaupun ibuk Jullien bukan ibu biologisnya tapi buat anak ini berbeda, ibuk Jullien adalah dunianya. Bagi Bias apapun hal baik itu diturunkan dari ibuknya jadi nggak ada yang bisa disanggah.
"Gak dimarahin lo sama ibu lo tuh, rambut panjang gitu, dia kan paling cerewet sama penampilan lo" aku menunjuk ibuk dan ayahnya yang tengah menggantikan mama dan papa duduk di samping membelai cowok. Kak Jull protektif banget sama anaknya yang satu ini.
"Cttr," dia berdecak memukul bahuku. "Ibu kan memang gitu, paling ngomel ngang-ngeng-ngpong bentar tapi setelahnya pasti bakal ketok pintu kamar ‘Bias makan nak’."
Aku tertawa.
"Abang," panggil seseorang dari kejauhan dengan nada suara cempreng dan manja membuat Bias menoleh.
Gue nggak perlu meruncingkan mata melihat bagaimana gaya nyentriknya bocil kematian satu ini. Dengan mengenakan kebaya dengan gaya ala pop rock, rambut yang seharusnya di sanggul dibuat kuncir dua kayak anak tk, anting yang seharusnya berlian diganti anting plastik hadiah ciki. Asli, Jullien ngindamin apa pas hamil ni anak. Sepatu boots hitam mengkilat yang digunakan keliatan aneh di bawah kainnya yang ngatung. Emang anak gen alpha seperti ini semua stylenya? Andromeda..Andromeda…
"Bang, Kak Sora mana sih? dicariin ibu"
Dia sengaja nih, sengaja banget sok nggak ngenalin gue. Biarin aja entar gue pites penyek jadi peyek ni anak.
“Bantuin cari kenapa sih Bang?! gue capek keliling cariin dia. Udah bolak-balik cek ke kamar nggak ada. Capek gue Bang, hidup gue kan sudah sulit, ditambah lagi permasalahan mencari keberadaan kak Sora. Aku tuh capek kak, capeeek.”
Tuh kan drama, mirip siapa coba? ya ibunya lah!
Nggak nanggung-nanggung karena gemes aja, gua tarik kepangnya dan dia terhuyung ke samping “Salam dulu kek, cium tangan! Bener-bener lu ya.”
“Lepasin aku, dasar om-om mesum.”
Anjing. Gue sampai diliatin orang-orang disekeliling
“Aku ini masih 14 tahun om.”
Bias tertawa, sepertinya dia sudah terbiasa dengan polah adiknya ini, penuh dengan drama.
Kesel, gue tunjuk hidungnya yang familiar entah mirip gue atau mirip papa, kakeknya “Gue nggak kasi jajan lu ya, jangan telpon-telpon gue minta dollar lagi, nggak akan gue kasi!”
Segera dia berubah manis. “Ommm..” Dia menggelayut seperti bayi, dia memegang pergelanganku dan meletakkan tanganku di keningnya “Jangan gitulah om. Om kan sponsor karya-karyaku. Nanti kalau karyaku ada yang laku, 1%nya buat om deh.”
“a***y 1% dapet apa lu om? Gue taksir nih harga lukisan ni bocah kira-kira laku gopek lah. Yah, cuma dapet 5rb om. 5rb cuma dapet beli cilor om, depan sekolah SD gue dulu,” jelas Bias.
“Bercanda om.” Meyda melepaskan tanganku.
“Nah, selain seniman atlet juga butuh sponsor om. Tolong topup-in dong.” Dia merokoh hpnya di kantong. “Gue kirimin nomor akun gue ya. Gue mau beli game om,” tanpa basa-basi nih dua bocah main peres seenaknya aja.
“Lo berdua pada nggak pernah dikasih jajan orang tua kalian ya? Mereka billionaires.”
Meida melepaskan tanganku kesal. “Boro-boro, ka Sora aja harus jualan kue untuk menyambung hidup,”
“Jangan lebay lo.” Meyda ditoyor Bias. “Lonya aja yang boros. Cet apa yang harganya 1 juta?”
“Lo nggak akan mengerti…”
Nah gelutkan, seperti itulah persaudaraan saudara-saudara. Dan gue rasa gue udah lelah secara mental berada di tengah dua bocah ini, terlebih lagi keungan gue akan goyah karena diperas.
“Udah-udah kalian cari Sora sana, nanti gue yang kena marah ibu kalian!”
“Kenapa Om yang disalahkan?”
“haha,” tawaku terdengar dingin. “Gue cengok aja disalahin sama ibu lo, gue kan pusat permasalahan ibu lo.”
“Ya udah om, jangan lupa top up ya” Bias mengambil tanganku dan menyalamiku seperti orang tua. Ya emang gue sudah tua, dan semakin berasa tua karena ponakan gue sudah gede semua.
Meyda mengecup pipiku dengan sedikit melompat. “Kalau bisa transferin 5jt ya om,” bisiknya dengan suara kecil, sebelum ngeloyor pergi.
Gila lo! anak SMP mana yang minta duit 5jt ke pamannya? Bener-bener pemerasan ini. Nggak lama handphoneku berdering. pesan dari Bias. Si paling asal, harga game yang diinginkannya 1000 dollar. Bener-bener dua anaknya Lukman ini, ditodong mereka membuat gue sadar bahwa gue masih Rained yang miskin dan tidak berdaya.
****