Pov : Rained
Masih dalam misi pencarian bidadari berbibir coral glossy. Ini pertama kalinya aku mergukan kejelian mata aku. Mana nih, dari tadi nggak ketemu. Apa udah pulang? yah, sempit banget rezkiku.
“Rained.” Bude menghampiri, dia memegangi lengan ku, sedikit menarikku. “Cah lanang, tak goleki, neng kene to,” gumamanya pelan, mengajak berjalan mengikutinya. “Bude kenalin sama tamu-tamu”
Aku menghela nafas pendek, mengikuti keinginan bude sambil menyesali diri karena kehilangan jejak sang bidadari. Aku seperti boneka fudu yang dipamerkan ke semua orang. Menjadi kekuatan terpendam Bude, diperlihatkan untuk menakut-nakuti orang lain. “Mau sama dia nggak, kalo nggak ku santet kau!”
Aku dikenalkan pada orang-orang yang baru pertama kali ku temui. “Ini sepupu satu bude dan papamu, ayo kenalan dulu, namanya bibi Ayu”
Aku bersalaman ala barat dan bude memukul bahuku “Salim yang benar!” desis Bude seperti ular. Oke, budayaku sudah mengikis rupanya. Lalu mulailah aku dipermalukan Bude dengan pertanyaan “Ayu, bukannya kamu punya anak gadis belum menikah yang cantik itu?”
“Oh Maudi masih SMA mbak, seumuran Bias cucumu.” Bibi Ayu tertawa renyah. “Tapi ndak apa-apa kalo mau kenalan, nanti bibi kasih nomor hpnya Maudi. Sekarang Rain umur berapa?”
“32 bibi”
Bude memukul bahuku. “Nggak to. Kamu kan cuma beda tujuh tahun sama Sora. Sora baru ulang tahun ke 20 minggu lalu. Sekarang kamu 27 kan? ulang tahunmu Agustus tahun depan baru 28. Bude lo ingat tanggal lahir kalian semua.”
Aku nyengir aneh. Di Akhir percakapan aku terpaksa memberikan nomorku ke bibi Ayu. Duh, nggak enak banget berada di umur harus nikah seperti ini. Ahhhh! capek mau balik ke Eropa.
Aku diseret dari kenalan satu ke kenalan lain. Parahnya Bude langsung saja mengatur jadwal ketemuan dengan seorang anak dari teman pengajiannya. Bude belum tahu aja, di pertemuan pertama aku nggak ngajakin cewek nonton atau makan, biasanya aku langsung ajakin cek-in.
“Kak Syasya.” Aku melihat Syasya. Kurasa ini kesempatanku untuk lari dari Bude.
“Bude aku ke kak Syasya dulu, ada masalah bisnis yang harus aku diskusikan.” ku tepuk pelan lengan bude dan ku kecup singkat pipinya sebagai permintaan maafku.
Aku mendengar Bude bergumam dalam bahasa jawa yang tidak aku mengerti, dia pasti kesal denganku. Mohon maaf bude, aku tuh lebih takut dijodohin daripada jatuh miskin.
“Kak.” aku memeluk Syasya dengan riang.
“Rained!” wajah sumringah perempuan ini memang luar biasa bisa mengembalikan mood ku yang tadinya rusak “Duh, gini rasanya melihat lo dengan background kondangan ala indonesia,” maklum, kami selalu bertemu dan membicarakan bisnis di luar negeri. Aku belajar banyak soal bisnis dari kak Syasya. Dia adalah tandeman Lukman Bachtiar, kalau tidak ada Syasya tidak akan pernah ada Andromeda Crop. Jiwa bisnis dan invest perempuan ini gila-gilaan, dia bisa melihat peluang dengan sangat baik, dia salah satu orang yang menyokong perusahaan kami.
“Ayo gabung suami gue yuk, Abang lo juga kayaknya udah bosen di pelaminan” Bang Lukman sudah turun, terlihat berbincang dengan Nord suaminya Syasya dan beberapa rekan bisnis kami yang lain.
Nort dan Syasya menikah 12 tahun lalu, mereka tidak dikaruniai anak, tapi hidup mereka sangat harmonis, romantis banget. Kadang-kadang pemikiran jadul itu tidak bekerja di beberapa orang. Terkadang tidak perlu anak untuk membuat sebuah keluarga menjadi utuh. Lagipula anak mana yang minta dilahirkan ke dunia ini? Dunia ini tidak indah kok, bukan tempat yang nyaman untuk hidup. Kak Syasya dan Nord membuatku memiliki sudut pandang pernikahan jauh dari hal-hal patriarki.
Sewaktu mengambil tempat di sisi Lukman, iparku itu langsung mengendusku. "Lo mabok?" bisiknya pelan, tidak ingin membuatku malu di tengah rekan-rekan bisnis kami.
Kali ini aku tidak bisa membantah aku memang mabuk berat semalam "Dikit semalam, baunya belum ilang Bang?"
Dia hanya mengangguk, kakak ipar aku satu ini emang paling cool sih. Percakapan dengan Bang Lukman dan rekanan-rekanan bisnisnya lah yang membuatku betah di pesta ini. Karena rilate aja, satu frekuensi ngomongin hotel, modal, laba dan investasi jangka panjang, kemungkinan-kemungkinan. Apalagi ada Syasya dan suaminya.., asik banget obralan kami. Cuan. Cuan. Cuan.
***
Sebagian tamu undangan sudah pada pulang, dan aku akhirnya menemukan dia, setelah sekian lama terjebak di kehidupan bertegur sapa yang menyebalkan. Aku tersenyum miring, senyuman yang aku rasa merupakan pesona aku. aku harap dia bisa bawa senyumanku ini ke tidurnya nanti.
"Hai," sapaku.
Dia menoleh dan mengerjap sesekali, wajahnya tampak bingung tapi ngegemesin, minta di cubit. Apalagi aku liat matanya yang coklat, dia bener-bener definisi bidadari yang sesungguhnya. aku liat dia gini aja, pikiran aku udah liar kemana-mana. Emang otak aku sih isinya m***m mulu.
Bibirnya glossy berwarna coral kepingpingan. Ketika dia mengerjap bulu matanya yang panjang menyentuh kulit pipinya dengan dramatis. Mau tau nggak, bulu mata itu bukan extension, jarang-jarang aku bertemu perempuan tanpa bulu mata palsu di Indonesia, kayaknya sudah SNI banget cewek indo pake bulu mata extension. Cewek ini beneran definisi cantik apa adanya.
Damn! sesuka itu gue,
Aku nggak bisa mengendalikan degup jantungku, suaranya sampai ke telinga. Nggak pernah sebelumnya aku nervous di dekat cewek. "Boleh duduk sini?" tanya aku.
Dia malah mengangkat bahunya, matanya tak lepas melihatku. Aku ini culun yah ternyata, kok bisa-bisanya aku makin salting diliatin cewek. Kaki aku jadi gelisah, nggak bisa diam.
"Kok gitu sih, aku ganggu ya?" Sengaja suara ku dibuat-buat seperti laki-laki manis yang penuh kasih sayang. "Sendirian aja?"
Dia mengerucutkan bibirnya yang menggemaskan itu, makin aku pengen cipok rasanya. Dia kembali mengangkat bahu.
"Tapi kamu bisa ngomong kan ? diajakin ngomong masa diem aja, nggak sopan tahu." Aku memberikan smirk yang disukai cewek-cewek.
Dia malah terkekeh geli. Somplak, aku nggak sedang melawak, aku sedang merayu, memancing, kepancing kek. Lah, malah ketawa dia.
Untung punya senyum manis, plus gigi kelinci yang tambah bikin aku klepek-klepek kayak ikan kehabisan air. .
Di belakangku mulai terdengar suara-suara kecil yang minta untuk foto bersama.
"Kakak ayo foto!" teriak sebuah suara yang aku kenal, "KAKAK AYO…," teriakannya makin kencang. Kak Jullie kenapa sih, nggak bisa gitu nggak ribut sekali ini aja, aku lagi usaha nih, siapa tahu yang ini jodoh. Lagian ini acara pernikahan bukan acara ulang tahun bocah. aku menoleh kesal ke arah panggung dan aku melihat kakakku Jullien Gwenny berjalan cepat ke arah kami.
Dengan dramatis pandangan ku berpindah pada bidadari cantik yang duduk berhadapan dengan ku.
Bidadari cantik itu meringis, melu dengan tingkah kakak ku.
"Kakak, apa sih ngambek kayak gitu sama ayah. Di pause dulu ngambeknya, besok-besok bisa lanjut lagi. Nggak kasihan sama Mbahti dan Kakung berdiri lama cuma nungguin kakak naik ke panggung,”
Kakak?
Otak ku seperti kesetrum, ingin rasanya aku berubah jadi semut dan menghilang detik ini juga.
“Soraya Lestari Bachtiar, kamu mau darah tinggi ibu naik lagi?”
Sora berdecak kesal, "Sora mau di sini aja bu, ini lagi nemenin Om."
Om?
Fuck...
Bidadari yang bikin aku sesak nafas ini adalah keponakan ku sendiri. Tai tai-lah...., pait banget idop ini.
Mata kak Jullie langsung menusukku dengan penuh tuduhan padaku. "Kamu ngapain disini? Semua orang sudah ngumpul itu di panggung"
Sora berdecak, aku meliriknya, masih berharap dia bukan Sora yang aku kenal. Mata kami kembali saling terpaut, kok bisa aku gak sadar dia itu Sora ?
Kak Jullien meraih tangan anaknya, Sora ogah-ogahan berjalan di belakang ibunya. Mereka sempat berhenti. Kak Jullie mendapati aku yang masih duduk.
"RAIN ANGKAT p****t MU DARI SANA!" teriak kak Jullie.
Aku memejamkan mata, runtuh sudah harga diri ku di depan Sora. Runtuh. Sekarang aku menyandang gelar si paling tidak punya harga diri di keluarga ini.
"Tahu nggak sih lo kak, lo persis nenek sihir." Aku berjalan cepat melewati kak Jullie yang masih terlihat kesulitan menyeret Sora keatas panggung.
Mata ku nggak bisa lepas dari Sora meski kami sudah berdiri di panggung untuk berfoto keluarga. Aku berdiri di belakang pengantin pria dan Sora berdiri di sebelah Bias, satu deret di depan ku sehingga aku masih bisa melihatnya tanpa susah-susah memutar leher ke belakang.
“Rain lo munduran dikit deh.”
Aku mundur sedikit, mengikuti perintah Romeo.
“Lo liatin siapa?” Dia mengikuti arah pandangan aku
Sora!
Aku nggak henti-hentinya menghela nafas. Kayaknya aku harus beristighfar sepanjang hari bisa-bisanya aku godain ponakan sendiri. Kata Bude aku beda tujuh tahun dengannya, terakhir bertemu dia masih kayak anak kecil dan sekarang dia sudah jadi wanita dewasa yang sexy ampun-ampunan.
"Lo kenapa liatin Sora terus? bego banget muka lo."
"Gue lagi sial. Masak tadi gue godain dia, gue pikir dia teman bini lo," bisikku menahan malu.
Dan bersamaan dengan itu blitz kamera pecah, tawa Romeo pun pecah. Semua orang bingung dengan Romeo
"Sorry..sorry...." katanya berusaha menghentikan tawanya. Dia berdehem beberapa kali. Lalu,
Ceklek.
Momen keluarga itupun tertangkap.
***