Malam Pertama

1029 Kata
"Aku memutuskan menikah setelah sekian lama, tetapi rupanya istriku sudah memiliki lelaki lain dalam hidupnya. Bahkan, saat malam pengantin pun dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan lelakinya itu," ujar Hayden lagi. "Apa Anda terlalu mabuk, Tuan Hayden?" tanya Ruby sembari memindahkan posisi Arthur agar bisa meminum asi dari sumber yang satunya. Entah kata-kata Hayden barusan hanya candaan atau apa, tetapi rasanya itu terlalu dark. "Bukankah sebelumnya Anda sudah tahu kondisi saya? Kenapa sekarang jadi mengeluh?" "Oh, aku tidak tahu kalau kamu adalah wanita yang pemarah," sahut Hayden sambil melangkah mendekati Ruby. Lelaki itu duduk persis disamping Ruby yang sedang memberikan asi pada Arthur. "Kenapa? Apa Anda juga mau mencoba menjadi bayi?" tanya Ruby pada Hayden. Meski secara hukum, lelaki itu telah resmi menjadi suaminya, tetapi tetap saja dirinya risih jika diperhatikan seperti itu saat menyusui. "Apa aku boleh mencoba?" Hayden balik bertanya, terlihat jelas jika dia sedang memprovokasi Ruby. Ruby melirik lelaki itu sekilas dan bisa melihat dengan jelas seringai di bibir Hayden. Entah kemana perginya ekspresi dingin yang lelaki itu perlihatkan saat pertama kali bertemu dengannya waktu itu. "Saya akan memberikan asi pada Arthur terlebih dahulu, setelah itu saya akan kembali ke kamar pengantin. Anda tidak perlu menunggu saya di sini," ujar Ruby kemudian, dengan nada lebih serius. "Tidak, aku harus menunggumu di sini supaya kamu tidak memiliki alasan untuk menunda pergi ke kamar pengantin kita," sahut Hayden. "Dan satu lagi, mulai sekarang, jangan berbicara formal padaku. Juga berhentilah memanggilku Tuan Hayden ataupun Tuan Grey. Apa kamu ingin semua orang curiga dengan pernikahan kita?" Ruby tertegun untuk sesaat. Benar apa yang dikatakan Hayden barusan. Jika dia bersikap formal dan kaku kepada Hayden, maka orang-orang pasti akan merasa janggal. "Lalu, aku harus memanggilmu apa?" tanya Ruby kemudian. "Tentu saja dengan panggilan sayang. Kau juga pasti punya panggilan sayang untuk mantan suamimu, kan?" Ruby kembali melirik ke arah Hayden tanpa mengatakan apapun. Entah kenapa, lelaki itu malah menyinggung tentang Arslan di saat seperti ini. Dia mau kesal, tapi menunjukkan kekesalan kepada Hayden secara terang-terangan bukanlah sesuatu yang bijak. "Baiklah, aku mengerti." Akhirnya Ruby menyahut. "Mengerti apa?" tanya Hayden, seolah masih ingin terus menggoda Ruby. "Seperti yang kamu katakan tadi, aku akan memanggilmu dengan panggilan sayang." Ruby berbicara tanpa menggunakan bahasa formal lagi. "Lakukan mulai sekarang. Aku mau dengar, panggilan sayang macam apa yang kamu berikan untukku." Hayden kembali bersedekap dan menatap Ruby dengan intens. "Ya sayang, apalagi memangnya?" Ruby mulai jengah. Bahkan, bersama Arslan dulu saja dia tak pernah digoda seperti ini. Kening Hayden tampak mengerut. Dia terlihat agak tak senang. "Aku sangat yakin kalau sebelumnya kamu menggunakan itu untuk memanggil mantan suamimu juga. Aku tidak mau kamu menggunakan itu padaku. Pikirkan panggilan lain yang lebih baik." Hayden memberikan perintah dengan nada bicara yang agak berbeda. Tentu saja Ruby sedikit keheranan dibuatnya. Kenapa juga pasal panggilan saja menjadi masalah untuk Hayden, padahal kelihatannya lelaki itu bukanlah sosok yang peduli dengan hal remeh semacam itu. "Itu adalah tugas pertamamu sebagai istriku. Ingat, pernikahan kita bukanlah pernikahan palsu. Aku adalah orang yang ingin kesempurnaan dalam segala hal, termasuk untuk hubungan. Lakukan yang terbaik agar aku membalasnya dengan hal terbaik juga," tambah Hayden lagi. Lelaki itu kemudian beranjak dari duduknya dan melenggang meninggalkan kamar itu. Ruby tercenung selama beberapa saat. Dia seolah diingatkan untuk serius menjalankan perannya sebagai istri dari seorang Hayden Grey. Seperti ada semacam tamparan tak kasar mata yang saat ini didapatkannya, menyadarkan Ruby jika dirinya memang masih setengah hati melakukan pernikahan kontrak ini. Setelah Arthur kenyang dan kembali terlelap, Ruby pun kembali merebahkan putranya itu ke atas tempat tidur. Bersamaan dengan itu, Mia kembali. "Nona, maaf kalau saya agak lama," ujar pelayan itu. "Tidak juga. Arthur juga baru tertidur," sahut Ruby sambil beranjak dari atas tempat tidur. "Aku kembali ke kamarku dulu. Jaga Arthur dengan baik ya, Mia," ujar Ruby. "Tentu saja, Nona. Jangan khawatir. Nikmati malam pengantin Anda dengan nyaman." Mia menyahut. Dia tak sadar kalau ucapannya itu membuat Ruby sedikit malu. Ruby bergegas meninggalkan kamar Arthur dengan telinga yang agak memerah. Bisa-bisa dia salah tingkah hanya karena mendengar ucapan Mia. Di kamar utama vila yang telah disulap menjadi kamar pengantin, Hayden tampak duduk di sebuah sofa sembari berkutat pada layar tabletnya. Lelaki itu agaknya sedang menyelesaikan pekerjaan yang mendesak. Bahkan, saat Ruby masuk, dia tak melirik sedikitpun seolah tak menyadari kedatangan Ruby. "Apakah ada yang harus aku lakukan terlebih dahulu? Atau aku boleh langsung tidur?" tanya Ruby sambil duduk di pinggiran tempat tidur. Hayden mendongak mendengar pertanyaan Ruby. Dari ekspresi wajahnya yang tak terkejut, sepertinya lelaki itu tahu saat Ruby masuk ke dalam kamar, hanya saja tak memberikan respon. Lelaki itu menatap Ruby sejenak, lalu meletakkan tabletnya sebelum kemudian bangkit dan mendekat ke arah Ruby. "Kamu mau langsung tidur?" ulang lelaki itu sambil terus menatap Ruby lekat. Ruby terdiam sejenak. Entah kenapa, dia merasakan aura mengintimidasi yang kental sekali keluar dari dalam diri Hayden, seolah lelaki itu adalah seekor hewan buas dan dirinya adalah mangsanya. "Kalau tidak ada yang mesti aku lakukan, tentu saja aku akan langsung beristirahat," sahut Ruby. Sejujurnya, tubuhnya memang terasa cukup lelah setelah sejak pagi sibuk dengan acara pernikahan. "Bagaimana dengan tugas pertama yang kuberikan tadi?" tanya Hayden. "Panggilan sayang seperti apa yang kamu inginkan? Honey?" Ruby balik bertanya. Hayden tampak mengerutkan keningnya sejenak, seolah sedang mempertimbangkan. "Coba, aku ingin tahu apakah itu enak didengar," katanya kemudian. Ruby mengatup mulutnya, tak langsung melakukan apa yang Hayden minta. Dia merasa mulai terseret ke dalam permainan yang lelaki itu ciptakan. "Apa kamu ingin aku melakukan sesuatu untukmu, Honey? Atau aku boleh langsung tidur saja?" Pertanyaan dengan panggilan sayang itu akhirnya meluncur begitu saja dari bibir Ruby. Terdengar canggung, tetapi cukup manis juga masuk ke telinga Hayden. Hayden tak langsung merespon. Lelaki itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia terkekeh seolah apa yang didengarnya tadi adalah sebuah lelucon. Tentu saja Ruby sedikit terkejut dengan respon yang lelaki itu tunjukkan. "Apakah itu terdengar sangat buruk?" Ruby bertanya dengan hati-hati. "Jika itu terdengar buruk, maka aku tidak akan tertawa. Sangat jarang ada orang yang bisa membuatku tertawa. Ternyata kamu lebih hebat daripada yang aku bayangkan," sahut Hayden. Berganti Ruby yang mengerutkan keningnya. Dia bingung dan tak paham dengan apa yang Hayden maksud barusan. Lelaki itu benar-benar sulit untuk ditebak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN