Pernikahan Kontrak Bukan Pernikahan Palsu

1021 Kata
Hanya butuh waktu satu bulan bagi Hayden untuk menyiapkan pernikahannya dengan Ruby. Hal yang paling utama dia siapkan tentu saja adalah surat kontrak yang berisi keuntungan dan juga kewajiban dari masing-masing pihak. Sedangkan kurun waktu pernikahan sendiri adalah sampai tujuan awal mereka tercapai. Seminggu sebelum upacara pernikahan digelar, Hayden memberikan surat kontrak pernikahan tersebut pada Ruby untuk ditandatangani bersama. "Katakan saja jika ada poin yang ingin ditambahkan, agar bisa direvisi sebelum ditandatangani," ujar Hayden saat Ruby membaca dengan teliti isi kontrak tersebut. Ruby tertegun untuk beberapa saat. Isi dari surat kontrak tersebut sebenarnya sudah sangat sesuai dengan apa yang diinginkannya. Poin terpenting selain mendapatkan status dan kekuatan lewat nama keluarga Grey ialah perlindungan untuk sang putra, Arthur. Hayden telah mencantumkan itu juga ke dalam kontrak tersebut. Akan tetapi, Ruby merasa ada yang agak janggal. "Kenapa di sini tidak tertera jika kita akan tidur di kamar yang terpisah dan tak akan ada sentuhan fisik?" Ruby akhirnya bertanya setelah menemukan letak kejanggalannya di mana. "Ya?" Hayden mengerutkan keningnya. "Kita hanya akan menikah di atas kertas dan pada akhirnya akan berpisah saat semua tujuan kita tercapai. Itu berarti kita tak perlu mencampuri urusan pribadi masing-masing, kan? Kita juga tak perlu saling bersinggungan jika bukan untuk urusan kerja sama. Kenapa hal itu tidak dicantumkan ke dalam poin-poin kontrak?" tanya Ruby lagi. Mendengar itu, Hayden menatap Ruby dengan tatapan yang tajam. "Maksudmu, kita akan berinteraksi seperti orang asing di belakang orang-orang?" "Bukankah pernikahan kontrak memang seperti itu?" Ruby balik bertanya. Senyuman yang hampir menyerupai seringai tampak terulas di bibir Hayden. "Sepertinya kamu telah salah berpikir, Nona Ruby. Kita akan melakukan sebuah pernikahan kontrak, bukan pernikahan palsu," ujarnya. "Ya?" Berganti Ruby yang kini mengerutkan keningnya. "Pernikahan kita nantinya memang memiliki batas waktu. Akan tetapi, selama pernikahan itu berlangsung, tentu saja semuanya akan berjalan seperti pernikahan pada umumnya. Mana ada suami istri yang tidur di kamar berbeda dan tidak melakukan sentuhan fisik?" "Apa?" Ruby tampak sedikit syok mendengar apa yang Hayden katakan. "Kenapa? Bukankah itu sesuatu yang wajar?" Hayden bertanya tanpa beban. "Ya, benar. Itu sesuatu yang wajar. Tetapi–" "Kita tidak perlu menandatangani surat kontrak ini jika kamu merasa keberatan. Batalkan saja rencana pernikahannya." Hayden memberikan usul. Mata Ruby sedikit membeliak. "Tidak, jangan! Bukan seperti itu maksud saya," ujar Ruby. Apa yang Hayden ucapkan barusan bukanlah sebuah solusi. Hayden kembali tersenyum miring. "Jadi, kamu tidak keberatan dengan kehidupan pernikahan yang sesungguhnya, kan?" Sudah terlambat bagi Ruby untuk mundur. Mau kehidupan pernikahan yang sesungguhnya atau yang palsu, itu bukan masalah besar harusnya. Ruby hanya perlu mengatur agar perasaannya tak terhanyut saja. Satu hal yang harus dia tekankan dalam benaknya, meskipun tampilan luarnya seringkali terlihat seperti balok es, Hayden tetaplah seorang lelaki. Memangnya lelaki mana yang tidak doyan tubuh perempuan? Apalagi perempuan tersebut telah sah dinikahinya? "Baiklah ...." Ruby akhirnya menjawab sembari sedikit menghela. Sudah kepalang tanggung, setidaknya Hayden memiliki wajah dan tubuh yang enak dilihat, sehingga tak akan sulit bagi Ruby untuk menerima sentuhannya. "Beri saya pena." Sekali lagi Hayden tersenyum. Kali ini, senyumannya terlihat penuh kemenangan. Dia mengeluarkan sebuah pena dari balik jasnya dan memberikannya pada Ruby. Ruby melirik lelaki itu sekilas, sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian pernikahan mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Hayden. Seminggu kemudian, pernikahan antara Ruby dan Hayden pun dilangsungkan. Gelaran prosesi pernikahan tak bisa dibilang sederhana, tetapi sangat privat. Saking privatnya, acara berlangsung bukan di sebuah hotel, tetapi di vila yang terletak dh sebuah pulau pribadi milik keluarga Grey. Tamu undangan adalah beberapa kerabat dan orang kepercayaan Hayden. Sedangkan dari pihak Ruby, hanya Garcia dan beberapa kerabat dari wanita itu. Setelah acara pernikahan di siang hari, malam harinya diadakan makan malam mewah yang tak kalah mengesankan. Ruby dan Hayden tampak begitu serasi saat melakukan dansa sebagai pasangan pengantin baru. Tentu saja, selain Garcia dan Jim–orang kepercayaan Hayden, tak ada yang tahu jika pasangan tersebut hanyalah melakukan sebuah pernikahan kontrak. Pada akhirnya, rangkaian acara yang melelahkan itu selesai juga. Sebagian undangan langsung pulang dengan menggunakan pesawat kecil, sedangkan beberapa kerabat dekat disiapkan kamar untuk menginap. Vila tersebut memang cukup besar dan memiliki belasan kamar tidur. Ruby sendiri, setelah menanggalkan gaun pengantinnya yang cukup menyesakkan, dan membersihkan diri, dia langsung mengenakan piyama tidur biasa dan pergi ke kamar Arthur. Sudah seharian ia tak memberikan asi secara langsung pada sang putra, sehingga bagian tubuhnya yang menjadi sumber asi tersebut terasa agak kurang nyaman. "Mia, pergilah untuk makan malam. Sejak tadi kamu hanya makan camilan saja dan tidak makan dengan benar," perintah Ruby kepada Mia yang sedang menggendong Arthur. Ruby mengambil alih putranya itu dari gendongan Mia. Bayi empat bulan itu sejak tadi terdengar merengek, sepertinya terjaga dari tidurnya. Sebelumnya, Ruby sudah meminta izin pada Hayden jika dirinya akan mengajak serta Mia sebagai pengasuh Arthur, dan Hayden tak berkeberatan dengan hal itu. "Tapi Nona ... ini kan malam pengantin Nona. Memangnya boleh Nona meninggalkan kamar pengantin seperti ini?" tanya Mia. "Sudahlah, tidak apa-apa. Hayden tidak akan marah. Toh, dia tahu kalau aku punya bayi yang masih butuh asi." "Iya, tapi–" "Pergilah makan malam dulu, Mia. Aku juga akan memberikan asi pada Arthur. Aku tidak mau kamu sampai sakit karena tidak makan dengan benar. Siapa nanti yang akan menjaga Arthur." Ruby mengulangi perintahnya dengan lebih tegas. "Ah, baiklah, Nona." Mia akhirnya patuh dan menuruti perintah Ruby. Pelayan muda itu pun bergegas keluar kamar. Sepeninggal Mia, Ruby segera duduk dengan posisi yang nyaman dan membuka beberapa kancing piyama yang dia kenakan. Bagian tubuhnya yang menjadi sumber asi untuk Arthur telah terasa nyeri sejak tadi. Rasanya benar-benar lega saat Arthur mulai menghisap asi secara langsung. Arthur yang sebelumnya merengek agak rewel, kini langsung terdiam dan tenang. Bayi itu meminum asinya sembari menatap mata Ruby, sesekali bayi itu terlihat tersenyum, membuat Ruby juga ikut tersenyum. Cukup lama ibu dan anak itu saling menatap satu sama lain, sampai kemudian, Ruby dikejutkan dengan kehadiran seseorang secara tiba-tiba di kamar itu. "Bagaimana ini?" Seseorang yang tak lain adalah Hayden itu tampak bersedekap sembari menyandarkan tubuhnya ada dinding kamar. "Aku menunggu pengantin wanitaku sejak tadi, tetapi dia malah menghabiskan waktu dengan lelaki lain." "Apa?" Mata Ruby sedikit melebar dengar kata-kata absurd yang Hayden ucapkan barusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN