Rencana Pernikahan

1031 Kata
Sebuah kesepakatan dibuat Ruby dengan seorang lelaki yang baru pertama kali ditemuinya hari itu. Hayden Grey, lelaki yang merupakan musuh bebuyutan Arslan, sosok yang dulu kerapkali membuat Ruby mendengar umpatan keluar dari mulut sang mantan suami, tetapi sama sekali tak pernah ditunjukkan kepada Ruby seperti apa wajahnya. Selama ini, Ruby hanya pernah mendengar cerita tentang Hayden Grey saja, tentang bagaimana liciknya dia dan tentang betapa lelaki itu sangat berbahaya. Akan tetapi, saat Ruby ingin melihat seperti apa sebenarnya Hayden itu, Arslan tak pernah mau menunjukkannya. Katanya, akan lebih baik jika Ruby tak pernah bertemu dengan lelaki tersebut. Arslan seolah benar-benar menjaga agar Ruby tak pernah melihat sosok Hayden secara langsung. Dia juga tak pernah benar-benar bercerita awal mula kenapa dirinya dan Hayden mulai bermusuhan, padahal katanya dulu dia dan Hayden pernah menempuh pendidikan di kampus yang sama saat menuntut ilmu di luar negeri, yang berarti mereka adalah teman kuliah. Ah, entahlah. Ruby tak mau terlalu memikirkannya. Saat ini, dia hanya ingin fokus pada rencana balas dendamnya saja. Jika Hayden adalah lelaki berbahaya, maka dirinya hanya harus berhati-hati saja. Dia tidak boleh lengah dan percaya sepenuhnya pada Hayden, apalagi sampai menyerahkan hatinya, seperti yang dulu dilakukannya pada Arslan. Lagipula, jika dipikirkan lagi, kesepakatan ini juga lebih banyak memberikan keuntungan pada Ruby. Kehidupan Arthur akan terjamin dan dia bisa tumbuh di tengah keluarga yang utuh, karena Hayden bersedia mengakui Arthur sebagai anaknya saat dia dan Ruby menikah nanti. Setidaknya, Hayden akan memiliki ayah, meskipun hanya ayah palsu. Ruby hanya perlu melihat bagaimana sikap Hayden kepada Arthur, juga mengamati apakah Hayden memiliki niat jahat pada putranya, mengingat Arthur adalah anak biologis dari Arslan. "Bagaimana, Ruby? Apakah pertemuanmu dengan Tuan Grey berjalan lancar?" tanya Garcia setibanya Ruby di rumah. Ruby pulang cukup larut. Hal itu membuat Garcia sedikit khawatir, takut terjadi hal yang tak diinginkan kepada putri angkatnya itu. "Ya, semuanya berjalan lancar. Saya dan Tuan Grey sudah sepakat melakukan kerja sama," sahut Ruby. "Ah, baguslah." Tampak Garcia menghela napas lega. Tadinya dia juga khawatir jika Ruby dan Hayden Grey berselisih dan tak mencapai kesepakatan. Akan sangat disayangkan sekali jika hal tersebut terjadi, karena sejauh ini, hanya Hayden Grey saja yang memenuhi kriteria untuk menjadi partner balas dendam Ruby. "Lalu kenapa kamu pulang larut sekali?" Garcia kembali bertanya. "Itu karena saya dan Tuan Grey membicarakan banyak hal mengenai pernikahan kontrak yang akan kami lakukan. Tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh kami lakukan selama pernikahan. Tetapi jangan khawatir, semuanya sudah mencapai kesepakatan," sahut Ruby. "Syukurlah kalau begitu. Aku hanya khawatir jika kalian berseteru, lalu Tuan Grey membawamu ke suatu tempat dan memaksamu melakukan yang tidak-tidak ... Yah, meskipun jika melihat sikapnya selama ini, hal itu sepertinya tidak mungkin. Tetapi bisa saja kan." Ruby tersenyum mendengar apa yang Garcia katakan. Dia menghargai hal itu. Pasalnya, kekhawatiran Garcia terlihat tulus dan tak dibuat-buat. "Tidak, dia sangat sopan. Kami hanya membicarakan terlalu banyak hal, jadi tidak terasa waktu berlalu dengan cepat," ujar Ruby kemudian. "Baiklah, aku mengerti." Garcia mrngangguk. "Saya pergi ke atas dulu. Sepertinya, hari ini saya sudah terlalu lama meninggalkan Arthur." Ruby pamit undur diri dari hadapan Garcia. Setelah Garcia mempersilakan, bergegas Ruby menuju lantai atas tempat kamarnya berada. Di sana dia mendapati sang anak sudah tertidur lagi, tetapi bukan di tempat tidur bayi, melainkan di atas tempat tidur miliknya. Bahkan, Mia juga ikut terlelap dengan posisi duduk di pinggiran tempat tidur dan kepala rebah di atas kasur. Ruby tak buru-buru membangunkan Mia, dia memilih untuk mandi terlebih dahulu, kemudian mengenakan piyama tidur yang nyaman. Setelah itu, barulah dia mengusap bahu Mia pelan. "Mia bangunlah. Pindah ke kamarmu sana." Ruby berujar setengah berbisik. "Oh, astaga!" Mia langsung menegakkan punggungnya dengan ekspresi kaget. Lebih terkejut lagi dia saat melihat Ruby telah ada di hadapannya. "Ma-maaf, Nona. Saya tidak sengaja tertidur," ujar Mia dengan agak tergagap. Ruby tersenyum agar Mia tak berpikir dirinya marah. "Tidak apa-apa. Kamu pasti kelelahan. Apa Arthur rewel kali ini?" tanyanya. "Tidak juga, Nyonya. Tapi memang hari ini Tuan Muda lebih banyak meminta digendong," sahut Mia. "Pantas saja kamu kelelahan. Cepatlah istirahat di kamarmu." Ruby meminta Mia untuk beristirahat dengan benar. "Baik, Nona." Mia bangkit dan meninggalkan kamar Ruby. Dia lalu pergi ke kamar yang diperuntukkan bagi para pelayan, yang terletak di bagian belakang rumah. Sedangkan Ruby sendiri juga telah merebahkan diri di atas tempat tidur miliknya dan beristirahat. Sementara itu, di tempat lain, lebih tepatnya di mansion milik keluarga Grey, seorang lelaki tampak duduk sebuah kursi yang tampak seperti singgasananya. Tatapan matanya begitu tajam dan lurus, seolah dapat menembus apa saja yang ada di depannya. Dia tak lain Hayden Grey, orang yang baru saja melakukan kesepakatan dengan Ruby. "Tuan," panggil seorang lelaki berusia empat puluh tahunan yang merupakan asisten pribadi Hayden. Namanya Jim. "Ya," sahut Hayden tanpa menoleh pada Jim. "Apa Anda benar-benar yakin akan menikahi mantan istri Arslan Dominic? Bahkan akan mengakui anaknya sebagai anak Anda?" tanya Jim dengan hati-hati. Ada nada kekhawatiran terdengar dari pertanyaannya itu. Wajar saja, Jim adalah orang yang telah mendampingi Hayden sejak belasan tahun lalu, tepatnya sejak Hayden masih remaja. Dia tentu telah merasa sangat dekat dengan majikannya itu dan tak ingin Hayden membuat keputusan yang salah. "Kenapa kamu khawatir begitu, Jim? Apa kamu tak percaya padaku?" Hayden malah balik bertanya. "Dia bahkan dibuang oleh Arslan ke penjara–" "Justru karena itulah aku ingin menempatkan dia di sisiku. Karena dia telah dibuang dengan cara yang kejam, dia jadi memiliki keinginan yang kuat untuk membalas dendam. Tekadnya itu ibarat sebuah belati yang mampu memberikan tusukan yang mematikan untuk Arslan. Sayang sekali kalau aku menyia-nyiakan hal itu." Hayden memotong ucapan Jim. "Lalu bagaimana dengan anaknya, Tuan? Tuan yakin akan mengakuinya sebagai anak Anda dan membesarkannya?" Jim masih terlihat tak teryakinkan. "Itu justru bagian terbaiknya." Hayden tersenyum miring. "Bayangkan jika suatu saat nanti Arslan tahu jika dia memiliki seorang anak dari perempuan yang dibuangnya, tetapi anak itu justru memanggilku dengan sebutan papa. Bukankah itu akan terasa sangat menyenangkan?" Jim terdiam, tak mampu mengatakan apapun lagi. Isi kepala Hayden memang seringkali tak bisa ia pahami. Tetapi, kali ini dirasa yang paling jauh. "Pergilah beristirahat dahulu, Jim. Setelah ini, kamu pasti akan sibuk sekali. Karena aku akan memintamu menyiapkan pernikahanku dengan Ruby." Hayden memberikan sebuah titah yang tak dapat Jim bantah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN