6. Resepsi

1570 Kata
"Kita tidak pernah saling tunggu, tapi Tuhan yang mempertemukan. Entah untuk saling duduk berdampingan atau saling memberi pelajaran. Entah untuk saling mengirim undangan atau malah duduk bersama di pelaminan." ---- Ashraf menatap lurus deretan gedung-gedung pencakar langit dari balik jendela kamar hotel. Beberapa jam yang lalu, pria tersebut telah resmi menyandang status sebagai suami sah dari Chava Aleea Marwa. Kini, setelah berganti pakaian, Ashraf diminta untuk beristirahat terlebih dahulu oleh tim Wedding Organizer demi menjaga stamina agar tidak kelelahan. Mengingat 3-4 jam ke depan, resepsi pernikahan akan segera dilangsungkan. Sembari menunggu, Azzam terlihat begitu setia menemani. Membantu mengusir gugup yang tengah dirasakan oleh sepupunya tersebut. "Pernikahan ini benar-benar seperti mimpi, Zam." Pandangan mata Ashraf belum berpaling sedikit pun dari luar jendela. Sementara Azzam yang sedang merapikan pakaiannya tersenyum tipis lalu menanggapi. "Suka nggak suka, mulai detik ini, kamu sudah punya tanggungan, Ash. Statusmu bahkan sudah berubah menjadi seorang imam yang berkewajiban untuk menjaga serta melindungi kehormatan istrinya." Ashraf memutar tubuhnya, berpaling menghadap ke arah Azzam. Terlihat jelas pria itu menghela napas dalam hingga kedua bahunya terangkat dramatis. "Kamu tau sendiri, aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah membuka diri. Apalagi kami belum saling kenal satu sama lain." Tanpa sadar, Azzam terkekeh pelan. Sebenarnya ia paham benar apa yang tengah dirasakan Ashraf sekarang. Jangankan pasangan hidup, untuk urusan teman sekali pun, Ashraf tipe orang yang pemilih. Sepupunya itu memang pria yang susah membuka diri. Bukan seperti dirinya yang gampang bergaul dengan siapa saja. "Maka dari itu, belajarlah membuka hati. Belajarlah untuk saling mengenal. Nanti kalau sudah tinggal serumah, kamu juga terbiasa dengan sendirinya, Ash." Ashraf meringis menanggapi ucapan Azzam. "Nggak segampang itu, Zam." "Kata siapa? Kan belum dicoba." "Tapi, aku merasa nggak yakin aja pernikahan ini akan bertahan lama." Azzam yang semula duduk, kini bangkit dari posisinya, melangkah maju mendekati Ashraf yang sedari tadi berdiri didekat jendela. "Ash ... " Azzam mengulurkan tangan kanannya, menyentuh bahu Ashraf. "Rumah tangga yang indah itu bukanlah sesuatu hal yang terjadi begitu aja. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang harus diciptakan. Dan perlu kamu ingat, dengan siapapun Allah menjodohkan kita, bersyukurlah dengan segala kelebihannya dan bersabarlah dengan segala kekurangannya. Insya Allah rumah tangga kita akan awet setelahnya." Selesai berucap panjang lebar, Azzam menepuk bahu Ashraf sekali. Detik berikutnya, pria itu memilih untuk melangkah pergi meninggalkan Ashraf yang berdiri mematung. Kata-kata menohok yang baru saja Azzam lontarkan berhasil menganggu pikirannya. **** Barakaallah hu Lakuma wa Baraka alikuma Wa jamaah baina kuma fee khair. Barakallah hu Lakuma wa Baraka alikuma Wa jamaah baina kuma fii khair. Lantunan lagu milik Maher Zain itu mengalun dengan merdu di telinga apalagi dinyanyikan langsung oleh si pemilik lagu. Penyanyi asal Swedia berdarah Lebanon tersebut, jauh-jauh diundang secara khusus untuk mengisi acara resepsi pernikahan Ashraf malam ini. Setelah melangsungkan prosesi akad nikah dengan lancar dan khidmat tadi pagi, giliran malam ini Ashraf dan Chava menggelar pesta yang begitu mewah. Tidak tanggung-tanggung, di perkirakan lebih dari 1000 undangan turut hadir memeriahkan acara resepsi pernikahan pria dan wanita berdarah Arab tersebut. Mengenakan tuxedo berwarna abu-abu, Ashraf berdiri menyambut kedatangan Chava yang baru saja memasuki the grand ballroom hotel Ritz Carlton, Jakarta. Sebelum kedua mempelai melangkah menuju di pelaminan, Ashraf diminta oleh MC acara untuk membacakan doa terlebih dahulu kepada Chava yang baru saja resmi menjadi istrinya. Mengerahkan seluruh tenaga untuk mengusir rasa canggung, Ashraf mengulurkan tangan kanannya, menyentuh puncak kepala Chava lalu mulai melafalkan doa. "Allahumma inniasalukaluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Waaudzubikabika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya." Selepas membaca doa, tanpa di suruh Chava langsung meraih pergelangan tangan Ashraf lalu mencium punggung tangan pria itu. Detik berikutnya, mereka berdua mulai melangkah bersamaan menuju pelaminan. Berdiri berdampingan, kedua mempelai begitu tenang melewati segala rangkaian acara. Bahkan Ashraf yang awalnya gugup, terlihat mulai menikmati pesta ketika para sepupunya meminta untuk ikut serta menari zafin sambil diringi musik marawis. Acara khas timur tengah begitu kentara terasa malam itu. Hingga pertengahan pesta, para tamu mulai silih berganti datang. Menyalami serta mengucapkan selamat kepada Ashraf dan Chava. Tidak terkecuali Azzam dan Alissa yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua ke pelaminan. "Sepertinya aku nggak bisa di sini sampai acara selesai, Ash. Icha ngeluh kalau perutnya nyeri sekarang." Ashraf terlihat khawatir mendengar perkataan Azzam. Ia tahu benar kalau kehamilan Alissa sudah memasuki trimester ketiga. Nyeri perut dan pinggang pasti lebih sering menyerang wanita itu. "It's ok, Sepupu. Acaranya sebentar lagi juga selesai." Azzam mengangguk sementara pandangan mata Ashraf beralih kepada istri sepupunya tersebut. "HPL mu bukan bulan ini, kan?" Alissa menggelengkan kepalanya. "Belum, Ash. Masih sebulan lagi," balas wanita itu. "Perut aku nyeri mungkin karena kecapean aja. Nanti setelah minum obat, biasanya langsung reda." Kali ini giliran Ashraf yang mengangguk kemudian berkata-kata. "Kalau begitu, kalian berdua cepat pulang dan beristirahat. Aku nggak mau kalau keponakanku kenapa-kenapa." Azzam dan Alissa tersenyum lebar mendengar ucapan Ashraf. Mereka berdua kemudian memberikan pelukan selamat. Alissa sendiri menyempatkan untuk memberi sebuah bingkisan kepada Chava sebelum benar-benar pulang. "Welcome to the Club, Sis," ucap Alissa setelah mengurai pelukannya. "Aku nggak bisa ngasih apa-apa. Tapi, Azzam punya hadiah kecil untuk kalian berdua." Mendengar namanya disebut, Azzam langsung merogoh sebuah amplop putih dari balik saku jas yang ia kenakan. Memberikan benda tersebut kepada Ashraf. "Apa ini, Zam?" "Balas budi ku untukmu," sahut Azzam sekenanya. Tentu saja Ashraf semakin bingung. Penasaran, pria itu langsung membuka dan memeriksa apa sebenarnya isi amplop tersebut. "MasyaAllah ..." gumam Ashraf. Ia dibuat terkejut ketika mengetahui apa isi dari amplop yang Azzam serahkan kepadanya. "Tiket ke Switzerland?" Kali ini Alissa yang menyahut. "Iya, dulu waktu kami menikah, kamu sudah kasih kado paket honeymoon. Jadi, biarkan kali ini kami berdua membalas kebaikanmu dulu." "Tapi, kamu tau sendiri kalau aku cuma cuti seminggu aja, Cha." Alissa mengangguk paham. "Tentu saja aku tau. Itu sebabnya, aku hanya memesankan hotel selama empat hari di sana. Ku pikir itu lebih dari cukup untuk kalian berdua menghabiskan waktu bersama." "Cha---" "Ayolah, Ash," Alissa berucap penuh mohon. Ia seakan tahu kalau pria di depannya berusaha untuk menolak. "Anggap saja ini permintaan ibu hamil yang kalau tidak dilakukan, anaknya di kandungannya bisa merajuk." "Hah?" Ashraf hanya bisa terbengong mendengar ucapan Alissa. Ini sama saja dengan diancam secara halus. "Siapa tahu, setelah pulang, kalian yang awalnya berdua bisa berubah menjadi tiga." Alissa mengerlingkan matanya menggoda. Menatap bergantian ke arah Chava dan Ashraf. "Ha ... ha ... ha ... " Chava tertawa canggung. Sementara Ashraf hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dalam hati, pria itu berpikir bagaimana bisa aku honeymoon dengan wanita yang nggak aku kenal? Kalian benar-benar gila merencanakan ini semua. Namun, alih-alih mengucapkan kalimat yang terlintas di benaknya, Ashraf lebih memilih untuk berkata lain. "Baiklah, terima kasih atas kado yang kalian berdua berikan." Ashraf berucap dengan tulus. Walau bagaimana pun, ia tahu kalau sepupunya tersebut memiliki niatan yang baik. Beberapa saat kemudian, Ashraf dan Chava bisa sedikit bernapas lega. Sepeninggalan Azzam dan Alissa, mereka berdua kini memilih duduk setelah berjam-jam berdiri tanpa jeda sedikit pun. Ashraf bisa melihat jelas raut letih yang ditunjukkan oleh Chava. Entah pikiran dari mana, pria itu berbaik hati meminta minuman dingin kepada seorang pelayan yang sedang lewat lalu memberikannya kepada Chava. "Terima kasih atas minumannya." Ashraf bisa melihat bagaimana Chava meneguk minuman yang ia beri hingga tandas. Artinya benar apa yang ia pikirkan, kalau wanita itu memang sedang dalam keadaan lelah. "Nggak usah terima kasih. Aku cuma antisipasi aja." Chava memutar bola matanya. "Maksudmu?" Ashraf mengangguk. "Iya, antisipasi kalau-kalau kamu dehidrasi trus pingsan. Kan yang repot pasti aku." Chava tersenyum hambar. Mengerti dengan jelas maksud perkataan pria yang baru saja menjadi suaminya tersebut. "Kamu orangnya emang nyebelin, ya?" Ashraf menggelengkan kepalanya. "Nggak juga. Aku nyebelin cuma sama kamu aja." "Oh, ya?" Chava sengaja memasang ekspresi seperti seolah-olah terkejut. Lantas tak berapa lama wanita itu mencondongkan wajahnya, lalu berbisik tepat di telinga Ashraf. "Jangan sampai sifat nyebelin kamu itu berubah cinta atau parahnya malah tergila-gila denganku." Tepat setelah selesai mengucapkan kalimat itu, Chava tersenyum penuh arti. Lalu memilih untuk berdiri karena ada tamu yang datang menghampiri untuk mengucapkan selamat. Sementara kedua mempelai masih sibuk menerima tamu di jam-jam terakhir. Di salah satu sisi ballroom, dua orang pria tengah terlibat perbincangan yang cukup serius. Entah sudah berapa lama mereka menghabiskan waktu untuk berdiskusi. "Akhirnya aku berhasil juga menikahkan Chava dengan salah satu keturunan Elhaq." Terukir dengan jelas raut bangga dan puas di wajah Ahmed Ibrahim. "Lebih-lebih suaminya itu Dokter Ashraf," sahut lawan bicara Ahmed. Pria muda itu kemudian meraih gelas berisi air minum di depannya. Meneguk hingga tandas lalu menaruhnya kembali. "Aku bahkan sudah tidak sabar menjalankan semua rencana yang sudah kita susun selama ini, Uncle." Ahmed mengulas senyum. "Sabar, kita harus pelan-pelan. Jangan sampai pria itu menaruh curiga." "Ya, Uncle ada benarnya. Kita memang harus hati-hati. Ashraf terkenal sebagai pria yang penuh perhitungan. Kita harus mencari selah agar semuanya bisa berjalan mulus." Ahmed masih tersenyum. Pandangan matanya kini beralih kepada Ashraf dan Chava yang masih sibuk menerima tamu. "Tenang saja. Kalau cara halus tidak berhasil, aku akan menggunakan Chava sebagai cara terakhir." Mereka berdua kemudian beranjak bangkit lalu kembali membaur dengan tamu undangan lainnya. . . (Bersambung) . Yang suka sama cerita ini dan pengen liat visual pemainnya, boleh add/follow ig aku @novafhe. Bisa cek highlight/sorotan yang judulnya : UM. . Yang pengen gabung di grup sss khusus pembacaku, boleh add grup yang namanya : FHELICIOUS.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN