7. (Bukan) Malam Pertama

2297 Kata
"Bila tak ada bahu bersandar, setidaknya masih ada sajadah untuk bersujud. Biarkan bumi yang mendengarkan keluh kesah, langit yang menghantarkan doa dan Allah yang mengabulkan." ----- "Kamu duluan aja. Aku masih mau ketemu sama beberapa tamu." Ashraf memberikan perintah yang dijawab anggukan oleh Chava. Tepat pukul sembilan malam, pesta pernikahan mewah keturunan Elhaq akhirnya usai. Dengan gontai, Chava menyeret kakinya menyusuri koridor Hotel The Rizt Carlton menuju kamar pengantin yang ada di lantai 25. Sedangkan Ashraf sendiri, terlihat masih sibuk berbincang di Ballroom dengan rekan-rekan dokter yang hadir. Memasuki Presidential Suite Room yang sudah disiapkan, Chava langsung membawa dirinya menuju lemari. Meraih pakaian, detik kemudian wanita itu bergegas masuk kamar mandi. Ia memang tipe wanita yang tidak bisa tidur kalau belum membersihkan diri. Maka hal pertama kali yang ia lakukan adalah menghapus jejak-jejak make up. Sambil bercermin, Chava terus mengingat satu demi satu rangkaian momen yang baru saja ia lewati. Mulai dari akad nikah hingga resepsi yang begitu mewah. Chava memejamkan matanya erat. Memastikan sekali lagi kalau dirinya benar-benar telah menikah sekarang. Harusnya, ia berterima kasih dengan sang ibu mertua. Karena wanita paruh baya itu telah berhasil menciptakan pesta yang begitu mewah dan diidam-idamkan orang banyak. Mulai dari artis yang mengisi acara, tamu-tamu undangan dari kalangan pebisnis dan orang penting. Hingga para awak media pun turut hadir untuk meliput pernikahan spektakuler ini. Ya, harusnya Chava juga merasa bahagia, kalau saja yang dinikahinya adalah pria yang ia cintai. Bukan pria menyebalkan seperti Ashraf Syafiq Elhaq. Hampir satu jam membersihkan diri, ritual mandi akhirnya selesai. Mengenakan piyama satin berlengan panjang dipadukan dengan jilbab instan warna senada, Chava terlihat lebih fresh. Dan ketika keluar, ia dikejutkan dengan kehadiran Ashraf yang tengah duduk di sofa sambil bersedekap dadaa. Pria itu menatap tajam ke arahnya kemudian berkata-kata. "Kamu sebenarnya mandi atau tidur?" Mata Chava mengerjap sekali. Kenapa di saat lelah seperti ini, pria yang sudah sah menjadi suaminya itu masih saja bersikap menyebalkan. "Aku harus bersihin make up dulu," cicit Chava. Ashraf yang terlihat kesal lantas bangkit dari duduknya. "Kan bisa bersihin di depan meja rias. Aku juga mau mandi." Pria itu kemudian meraih handuk yang tersedia di atas nakas lalu berjalan ke arah kamar mandi sambil berkata-kata lagi, "Nungguin kamu dari tadi, keburu kiamat!" Chava mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Berusaha menahan diri untuk tidak membalas, alih-alih membiarkan pria itu masuk ke kamar mandi barulah ia berdecak pelan. "Astagfirullahhaladzim, ampuni hamba ya Allah. Dosa apa bisa punya suami macam dia." Chava mengembuskan napas frustrasi lalu memilih untuk segera naik ke atas tempat tidur. Persetan dengan Ashraf. Yang ia pikirkan sekarang adalah beristirahat. Tubuhnya terlalu lelah karena seharian harus mengikuti begitu banyak rangkaian prosesi pernikahan. Belum lagi Chava memejamkan mata, terdengar Ashraf keluar dari kamar mandi. Pria itu melangkah santai dan langsung membaringkan tubuhnya tepat di samping Chava tanpa canggung sedikit pun. "Kenapa liat-liat?" tanya Ashraf ketika menyadari Chava yang tengah memerhatikan dirinya. Chava yang semula sudah berbaring, memilih menegakkan kembali posisi tubuhnya. "Kamu yakin mau tidur sama aku?" Chava menyipitkan matanya. "Di ranjang yang sama?" "Memang kenapa?" Ashraf menautkan kedua belah alisnya. "Asal kamu tau, aku sudah habiskan uang yang banyak untuk bayar kamar ini. Jadi jangan harap aku mau mengalah dengan tidur di sofa." "Tapi ---" "Tenang aja," potong Ashraf. "Aku nggak bakal sentuh kamu. Tapi, kalau kamu tetap keberatan kita tidur seranjang, silahkan pesan kamar sendiri." Setelah memotong kalimat Chava, tanpa menunggu jawaban, Ashraf memilih untuk membalik tubuhnya. Sengaja memunggungi Chava yang masih tercengang dengan ucapan pria itu. Sabar sabar Chava menghela napas berkali-kali sembari mengusap dadanya pelan. Kalau bunuh orang nggak dosa, udah aku bunuh kamu, Ash. "Aku tau kamu lagi ngomel," ucap pria itu tiba-tiba tanpa berbalik badan. "Dari pada buang-buang energi nyumpahin aku di dalam hati, mending sekarang tidur. Ya Allah ... Sejak kapan dia punya kemampuan baca pikiran orang. Dalam keadaan kesal, Chava kembali berbaring. Memaksa kedua kelopak matanya untuk terpejam. Berpikir dalam hati, malam pertama macam apa sebenarnya yang ia lalui saat ini. Apakah ia akan tahan menghadapi pria itu di malam-malam berikutnya. **** Sebuah mobil Velfire hitam terlihat melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota Jakarta. Di dalamnya, ada Ashraf dan Chava yang duduk di kursi penumpang dengan santai. Menunggu supir membawa mereka dari hotel menuju komplek perumahan elit yang ada di kawasan Pondok Indah atau lebih dikenal dengan sebutan 'Baverly Hills' ala Indonesia. Menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai. Terparkir sempurna di pelataran rumah mewah bergaya American Classic Minimalis yang didominasi warna putih tersebut. "Cepat turun," perintah Ashraf. Chava pun menurut, mengekori Ashraf yang sudah lebih dulu melangkah masuk. Di dalam, beberapa asisten rumah tangga menyambut dengan antusias kedatangan mereka. "Selamat datang, Sir Ashraf." Seorang asisten rumah tangga berumur sekitar empat puluh tahun menyapa dengan sopan. Sementara Ashraf hanya mengangguk sekilas kemudian terus melanjutkan langkah kakinya menaiki anak tangga. Chava yang jauh tertinggal, melebarkan langkah, berusaha untuk mengejar suaminya yang sudah lebih dulu naik ke lantai dua. Tapi nahas, saat menaiki anak tangga, tanpa sengaja ia hilang keseimbangan hingga akhirnya terjatuh. "Sir Ashraf ... Sir Ashraf ... " Ashraf yang baru saja masuk kamar dibuat terkejut. Salah seorang asisten rumah tangga terdengar berteriak memanggil namanya berkali-kali. Penasaran, pria itu memilih untuk berbalik dan langsung berlari ketika mendapati Chava yang sudah terduduk sambil menangis. "Astagfirullahhaladzim .... " Ashraf langsung duduk bersimpuh tepat di sebelah Chava. "Kamu kenapa? Mana yang sakit? Yang sebelah mana?" Ashraf terlihat begitu panik. Lebih-lebih suara tangisan Chava makin lama bukannya berhenti malah semakin terdengar nyaring. Tanpa banyak bertanya lagi, Ashraf langsung menggendong dan membawa Chava menuju kamar. Membaringkan tubuh wanita itu di atas tempat tidur dengan penuh kehati-hatian. "Mana yang sakit?" tanya Ashraf sekali lagi. "Biar aku periksa," tawarnya kemudian. Tangan Ashraf terulur mengusap pergelangan kaki Chava dengan lembut. Mencoba untuk mencari jejak-jejak memar di sana. Sementara Chava masih terus sesenggukan. Memilih bungkam ketimbang menjawab pertanyaan pria yang baru saja menjadi suaminya tersebut. Lagi pula, ia menangis bukan karena rasa sakit akibat jatuh, melainkan rasa kesal terhadap Ashraf yang begitu menumpuk dan sudah tidak sanggup lagi untuk dibendung. "Sudah, jangan nangis lagi." Ashraf membujuk. Untuk pertama kalinya, pria itu berkata dengan lemah lembut. Sementara tangannya terus mengusap pelan kedua pergelangan kaki Chava secara bergantian. Berusaha untuk memberikan efek senyaman mungkin. Karena sejatinya, ia paling tidak bisa melihat seseorang menangis apalagi itu wanita. Sibuk mengurusi Chava, lantas tak berapa lama handphone Ashraf berdering. Di raihnya benda pintar itu dari dalam saku lalu mengangkatnya dengan cepat. "Halo, Assalamualaikum, kenapa Lia?" Asisten perawat yang sering mendampingi Ashraf di meja operasi, terlihat menelpon. "Dok, maaf mengganggu masa cutinya. Tapi, apa bisa ke rumah sakit sekarang? Pasien by pass yang dari Malaysia kemarin kondisinya menurun. Keluarga beliau menolak di tangani selain dokter Ashraf." Ashraf tidak langsung menjawab, melirik sekilas ke arah Chava yang sudah mulai tenang. Memastikan wanita itu tidak menangis kesakitan seperti sebelumnya. "Saya ke sana sekarang," sahut Ashraf. "Siapkan saja dokumen diagnosa pasiennya." Ashraf mengakhiri panggilan. Pandangan pria itu kemudian beralih pada Chava. "Aku ke rumah sakit dulu," ucapnya. "Kalau butuh apa-apa, kamu tinggal angkat telpon intercom yang ada di atas nakas. Tekan aja angka dua untuk menghubungi asisten rumah tangga." Ashraf mengarahkan telunjuknya ke objek yang ia maksud. Setelah memastikan keadaan Chava jauh lebih tenang, Ashraf bangkit dari duduk. Membuka lemari, lalu meraih jas dokter miliknya. Sebelum keluar dari kamar, pria itu berucap lagi. "Kalau besok kakimu masih sakit atau bengkak, kita periksa ke dokter ortopedi. Sekarang kamu istirahat aja," perintah Ashraf. Dan ketika pria itu hendak melangkah keluar, sekali lagi ia bersuara. "Mulai sekarang, kamu tidur di sini. Jangan pernah berpikir aku bakal biarin kamu tidur di kamar terpisah. Aku nggak mau ambil risiko para pekerja di rumahku lihat lalu mengadu ke Amma." Chava tidak bersuara, memilih untuk mengangguk sebagai jawaban dari perintah pria itu. Sepeninggalan Ashraf ke rumah sakit, Chava mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. Membawa dirinya untuk berjalan menyusuri ruangan yang ia yakini adalah kamar pribadi milik Ashraf. Memperhatikan satu per satu koleksi buku dan action figure yang tersusun rapi di lemari kaca sebelah kanan pintu. Menarik kesimpulan kalau si pemilik kamar adalah pria yang gemar mengumpulkan barang-barang unik. Chava terus mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar hingga tak berapa lama terdengar ketukan pintu sebanyak tiga kali. Setelah menyahut, masuklah dua orang wanita yang Chava yakini adalah asisten rumah tangga. Seorang wanita terlihat membawa nampan berisi makanan. Dan yang satu lagi membawa koper milik Chava yang baru saja diturunkan dari mobil. Kedua wanita tersebut menghampiri lalu menyapa penuh hormat. "Permisi, nyonya," ucap Asisten tersebut sembari membungkukkan badan. "Perkenalkan saya Santi, kepala Asisten rumah tangga di sini. Sedangkan yang muda ini, namanya Astri, dia adik saya. Astri nanti yang khusus melayani semua keperluan nyonya." Chava tersenyum. Lalu melangkah maju mendekati posisi kedua asisten rumah tangga tesebut. "Salam kenal bu Santi dan Astri," sahut Chava tak kalah sopan. "Saya Chava. Semoga kita bisa saling berteman di rumah ini." "Nyonya, kenapa bangun? Mending tiduran aja. Nanti kenapa-kenapa." Sekarang giliran Astri yang membuka percakapan. Berusaha untuk bersikap akrab pada majikan barunya itu. Chava sendiri hanya tersenyum. Wanita itu kemudian menyahut. "Saya nggak apa-apa, kok." Asisten rumah tangga itu mengangguk. Lalu menaruh nampan makanan yang ia bawa ke atas meja dekat sofa. "Mending nyonya makan dulu. Ini kalau nggak di makan, Sir Ashraf bisa marah." Chava yang awalnya berdiri, melangkah maju menuju sofa. Kemudian mendudukkan dirinya di sana. "Kalau boleh tau, Ashraf di rumah emang galak, atau gimana?" tanya Chava penuh selidik. Ia penasaran, apakah pria itu memang punya tabiat menyebalkan seperti yang sering ditunjukkan kepadanya. Santi dan Astri kompak menggeleng. "Sir Ashraf itu aslinya baik. Jarang marah ke semua pekerja di rumah ini," sahut Santi. "Tapi sayang .... " giliran Astri menggantung kalimatnya. "Sayang kenapa?" Chava menyipitkan matanya penuh tanya. Astri melirik ke Santi, takut-takut wanita itu kemudian menjawab. "Sayang banget orangnya emang sedikit dingin dan kaku. Kita aja jarang melihat Sir Ashraf senyum di rumah ini." Chava mengangguk paham. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Pantes aja dia nyebelin, ya?" Giliran Santi dan Asri tanpa sengaja tertawa bersamaan. Di ikuti oleh Chava kemudian. Sepertinya, ia tidak akan kesepian di rumah megah ini. Terlihat Santi dan Astri begitu nyaman diajak berbicara. "Ya udah, Nyonya, mending sekarang makan. Saya sama Astri mau merapikan lemari pakaian Sir Ashraf dan Nyonya dulu." Saat Santi dan Astri tengah sibuk menjalankan tugasnya, Chava memilih untuk melahap makanan yang sudah disediakan. Walaupun tidak lapar, tapi ia berusaha menghargai Santi dan Astri yang sudah susah payah menjalankan tugasnya. Dalam keheningan, Chava menikmati makanannya. Lantas menit berikutnya, suara ketukan kembali menyapa indra pendengaran Chava. Buru-buru Astri melangkah untuk membuka pintu kamar. Seorang pria yang merupakan petugas keamanan di rumah tersebut, terlihat sedang membawa bingkisan besar yang terbungkus kertas berwarna cokelat. "Permisi, nyonya. Ini ada kiriman. Tadi, Sir Ashraf pesan, kalau barangnya disuruh langsung pasang." Chava yang sedang makan, menghentikan sejenak kegiatannya. Mengangguk kemudian mempersilahkan pria itu untuk menyelesaikan tugasnya. Dan ketika barang yang ia bawa sudah selesai dipasang, giliran Chava yang tercengang. "Ini yakin Ashraf yang suruh pasang?" tanya Chava tidak percaya. Ia sudah berdiri tepat di depan figura foto pernikahan yang sudah terpasang rapi di dinding kamar. Pria bernama Dadang itu mengangguk yakin. "Iya, Nyonya. Tadi Sir Ashraf memang telpon katanya ada orang yang mau antar bingkisan. Kalau sampai, disuruh langsung pasang di kamar." Setelah menjelaskan, pria itu memilih untuk pamit pergi di ikuti Santi dan Astri kemudian. Meninggalkan Chava yang masih menggeleng tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Kalau dilihat-lihat, Ashraf ini aslinya cakep juga ya. Tapi, sayang. Wajahnya nggak sebanding sama sifatnya. **** waal-ardha wadha’ahaa lil-anaami fiihaa faakihatun waalnnakhlu dzaatu al-akmaami waalhabbu dzuu al’ashfi waalrrayhaani fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaani khalaqa al-insaana min shalshaalin kaalfakhkhaari wakhalaqa aljaanna min maarijin min naarin * Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya), di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap. (QS- AR RAHMAN 10-15) Ashraf membuka pintu kamar dan mendapati Chava tengah duduk masih lengkap mengenakan mukena. Wanita itu terdengar khusyuk mengaji dengan suara yang mendayu-dayu. Untuk sejenak, Ashraf terdiam. Ikut terlarut bahkan menyahut dalam hati apa yang istrinya baca. Tidak ingin mengganggu, pria itu memilih untuk pergi ke ruang kerjanya. Saat menuruni tangga, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Astri yang baru saja selesai membereskan dapur. "Chava sudah makan malam?" tanya Ashraf. "Sudah, Sir. Makan siang dan makan malamnya saya antar langsung ke kamar." Ashraf mengangguk kemudian bertanya lagi. "Sewaktu saya tinggal, Chava ada ngeluh kakinya sakit?" Astri menggeleng berkali-kali. "Nggak ada. Keliatannya keadaan Nyonya Chava sudah membaik." Ashraf tidak menyahut lagi. Memilih untuk melanjutkan langkahnya memasuki ruang kerja. Di sana, ia kembali meraih handphone lalu menghubungi rumah sakit. Memastikan kembali keadaan pasien yang baru saja ia tinggal. Sempat mengalami kritis, mau tidak mau, Ashraf harus mengambil tindakan medis. Menunggu terlebih dahulu sampai keadaan pasien tersebut berangsur baik. Larut dalam kesibukannya di ruang kerja, tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 malam. Ashraf bangkit dari kursinya. Memutuskan untuk segera kembali ke kamar. Setibanya di sana, Ashraf mendapati Chava yang sudah tertidur. Pelan-pelan ia melangkah menuju kamar mandi. Membersihkan diri terlebih dahulu kemudian menyusuli Chava ke tempat tidur. Ashraf menggeleng pelan. Melihat bagaimana wanita yang baru dua hari resmi menjadi istrinya tersebut tidur mengenakan jilbab instan. Dalam hati ia berpikir, apa wanita itu tidak kepanasan bila tidur tanpa melepaskan jilbabnya. Melihat begitu nyenyaknya Chava tertidur, sebelum memejamkan mata, Ashraf bergumam dalam hati. Maaf kalau aku suka buat kamu kesal. . . (Bersambung) . . *Yang baru bergabung, boleh banget follow ig/sss ku @novafhe. Semua visual/jadwal update/spoiller cerita aku publish di status/story. *Yang mau gabung grup pembaca di f*******:, bisa cari nama grupnya : Fhelicious. *Yang mau gabung grup khusus pembaca di WA. Boleh klik link-nya di profile ig. . Thankiss semuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN