5. Sedikit Lagi

1905 Kata
"Jodoh itu bukan seberapa lama kamu dengannya, tapi seberapa yakin kamu kepada-Nya." ----- Ashraf membaca dengan seksama lembaran hasil pemeriksaan Elektrokardiogram seorang pasien. Menilai efektivitas pengobatan, sebelum melaksanakan operasi bypass jantung yang tinggal beberapa menit lagi. Seperti yang Alissa agendakan, hari ini memang jadwal terakhir pria itu menangani operasi. Bahkan pasien yang notabene warga negara Malaysia tersebut sudah jauh-jauh hari membuat janji agar pengobatannya bisa ditangani langsung oleh Ashraf. "Dok, pasien anda sudah siap," ucap salah seorang perawat. Ashraf menoleh ke arah si perawat. "Dokter anastesi dan dokter jantung sudah ada di dalam?" Perawat itu mengangguk. "Semua sudah siap. Pasien juga sudah diberikan anastesi umum." Ashraf kemudian beranjak. Mengikuti perawat untuk masuk ke dalam ruang operasi. Setelah memakai baju khusus dan sarung tangan, Ashraf bersiap untuk melakukan tugasnya. "Bagaimana status denyut jantung dan tekanan darah?" Ashraf memerhatikan dengan seksama pasien yang mulai tidak sadarkan diri akibat bius total yang sudah diberikan. "Normal, dok." "Kadar oksigen dan fungsi sistem pernapasannya?" "Normal juga, dok." "Pasien punya penyakit bawaan lain?" "Negatif, dok." "Kalau begitu, kita mulai sekarang operasinya." Ashraf kemudian memberikan waktu kepada para perawat untuk mulai memasangkan selang pernapasan melalui tenggorokan pasien. Selang tersebut kemudian disambungkan ke ventilator atau alat bantu pernapasan untuk memberikan asupan oksigen yang dibutuhkan pasien. Setelah semua terpasang dengan rapi, Ashraf mulai menjalankan tugasnya. Membuat sayatan sepanjang bagian tengah rongga dadaa dan membelah tulang dadaa, hingga jantung terlihat. Pasien kemudian diberi obat-obatan untuk menghentikan kerja jantung. Setelah jantung berhenti, pembuluh darah besar akan disambungkan ke mesin jantung paru (heart lung machine) untuk menggantikan kerja jantung dan menjaga pasokan darah ke seluruh tubuh. Selanjutnya, Ashraf mulai mencangkok pembuluh darah dari bagian tubuh lainnya. Hal yang umum dilakukan adalah mengambil pembuluh darah vena di paha atau arteri di sekitar rongga dadaa, yang ditempelkan dari pembuluh darah arteri besar (aorta) ke pembuluh darah arteri koroner. Setelah pencangkokan pembuluh darah yang baru selesai, Ashraf mulai membuat jantung kembali berdenyut. Pria itu kemudian menyatukan kembali tulang dadaa dengan kawat khusus yang akan menempel secara permanen. Lalu menutup sayatan di kulit dengan beberapa jahitan. Total empat jam lebih, Ashraf menghabiskan waktu untuk menyelesaikan semua rangkaian operasi. Entah sudah berapa kali perawat disebelahnya menghapus bulir-bulir keringat yang membasahi kening pria itu. "Pasien sudah bisa dipindahkan ke ruang ICU," ucap Ashraf. "Jangan lupa kontrol terus perkembangan detak jantung dan tekanan darahnya secara berkala," perintahnya kemudian. Sementara pasien dibawa ke ruang intensif untuk menjalani perawatan, Ashraf memutuskan untuk segera pergi ke ruangannya. Sampai di sana, sudah ada Alissa serta dokter baru yang akan menggantikan posisi dokter Andra. "Ash ... " Alissa melempar senyum ketika melihat Ashraf memasuki ruangan. "Operasimu udah selesai?" Pria itu mengangguk sembari menyusul untuk duduk. "Alhamdulilah, udah selesai. Maaf kalau jadi lama nunggunya." "Nggak masalah. Cuma nunggu beberapa menit aja, kok." Senyum masih terkembang di bibir Alissa. "Jadi kalian sudah saling memperkenalkan diri?" tanya Ashraf. Pandangannya mengarah kepada salah seorang dokter pria selain dirinya. "Udah ... " Selesai menyahut, Alissa menoleh sekilas ke arah pria yang ada di sampingnya. "Aku juga udah jelasin dikit poin-poin jobdesk dokter Alfatih. Mungkin kamu ada tambahan lain?" "Tapi sebelumnya, aku mau ucapin terima kasih dulu, Ash." Pria bernama Alfatih itu turut berbicara. "Terima kasih karena kamu udah tarik aku. Sampai akhirnya bisa pulang ke Indonesia." Suara derai tawa terdengar dari bibir Ashraf. Bukan perkara mudah baginya merayu Alfatih agar mau bergabung. Perlu diketahui kalau pria itu sebelumnya sudah memiliki kedudukan tinggi di rumah sakit Mount Elizabeth. Namun, setelah bersusah payah meyakinkan, pria berdarah campuran Indonesia-Turkey-Jerman tersebut akhirnya luluh. Lalu menyetujui permintaan Ashraf untuk bergabung bersamanya di rumah sakit Medika sesegera mungkin. "Kalau kamu lupa, aku harus keluarkan uang banyak untuk menggajimu. Aku sadar diri, Al, kalau honormu di Singapura pasti sangat tinggi," keluh Ashraf dengan nada seolah-olah frustrasi. "Ck ... " Alfatih berdecak pelan. "Gajiku itu ngak ada apa-apanya untuk ukuran seorang sultan sepertimu, Ash. Siapa yang nggak kenal Ashraf Syafiq Elhaq. Pria nomor dua terkaya di Indonesia setelah Azzam Daniz Elhaq." Di posisi duduknya, Ashraf mendelik tidak terima. "Ya Allah, Al. Untuk ukuran kaya, tentu aku yang lebih kaya dari pada Azzam." Mendengar nama suaminya disebut, Alissa hanya bisa tertawa kecil. Ashraf berkata benar, kalau urusan kekayaan dan ketampaan, dirinya memang selangkah lebih maju dari pada Azzam. Hanya kisah percintaannya saja yang 'kurang' mujur. Hingga akhirnya mau tidak mau menerima perjodohan. "Jadi, mulai kapan aku bisa kerja?" Alfatih mencoba untuk memastikan. "Besok sudah bisa mulai kerja. Setelah ini, ada dokter Yusuf yang akan ajak kamu untuk berkeliling dan berkenalan dengan para tim dokter lainnya." Baru saja selesai berucap, pintu ruangan Ashraf terketuk. Dokter Yusuf yang dibicarakan sudah hadir menjemput dokter Alfatih. "Kalau gitu, aku pamit keliling dulu. Sekali lagi terima kasih, Ash. Selamat cuti dan selamat menempuh hidup baru," ucap Alfatih seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Ashraf menyambut uluran tangan Alfatih sembari berkata-kata. "Terima kasih, Al. Jangan lupa untuk datang ke acaranya lusa." "Insya Allah aku datang." Pria itu kemudian beranjak pergi mengikuti langkah dokter Yusuf yang membawanya berkeliling ke seluruh penjuru rumah sakit. Sepeninggalan dokter Alfatih, Ashraf kembali duduk menghampiri Alissa. Wanita itu terlihat tengah sibuk menyusun beberapa lembaran kertas rekam medis yang sudah dibaca oleh Ashraf. "Kerjaan kamu udah selesai, Ash. Mending sekarang pulang terus istirahat," tawar Alissa. Ia tahu pasti sepupu iparnyanya tersebut dua hari lagi akan menikah. Jadi, lebih baik menyiapkan stamina mengingat harus menghadapi ribuan undangan saat pesta pernikahan digelar. Bukan rahasia umum kalau Elhaq Company memiliki begitu banyak rekan bisnis. Sudah dipastikan ibunda Ashraf akan mengundang mereka semua. Belum lagi keluarga Ashraf yang berada di luar negeri juga turut hadir. "Iya, sebentar lagi aku emang mau pulang, Cha. Beberapa hari ini aku kurang tidur. Jadi butuh istirahat lebih." Alissa mengulas senyum. Berpikir mungkin saja Ashraf susah tidur karena gugup menghadapi detik-detik melepas masa lajang. "Ya sudah, aku tinggal dulu. Kalau kamu butuh apa-apa, info aja." Alissa kemudian bangkit dari tempat duduknya, berniat untuk keluar ruangan. "Oh ya, Ash," ucap Alissa sebelum benar-benar keluar ruangan. "Tadi ada kiriman dokumen dari Rayhan. Aku taruh di meja kerjamu." Ashraf mengangguk kemudian berkata-kata. "Ok, makasih, Cha. Nanti aku cek dokumennya." Ketika Alissa keluar dari ruangan, Ashraf langsung melangkah menuju meja kerjanya. Meraih amplop cokelat yang tergelatak rapi tak jauh dari tumpukan dokumen lainnya. Membuka, kemudian mulai membaca salinan perjanjian pra nikah yang ia buat beberapa waktu lalu. **** Di tempat berbeda, Chava turut melakukan hal sama seperti yang Ashraf lakukan. Wanita itu sedang duduk di ruang menggambar sembari membaca salinan surat yang sengaja dikirimkan kepadanya. Sesekali Chava menggelengkan kepalanya. Berharap apa yang terjadi pada dirinya saat ini hanyalah mimpi belaka. Seumur hidup, ia tidak pernah menyangka kalau akan menjalani perjodohan seperti ini. Teringat ucapan Shella tempo hari, harusnya ia bahagia. Semua wanita bahkan bermimpi ingin dipersunting oleh Ashraf yang tampan dan kaya raya. Aku nggak yakin bisa bertahan hidup sama cowok jutek macam Ashraf. Chava menarik napasnya dalam. Mengingat kembali semua perlakuan Ashraf yang berkali-kali membuatnya kesal. Sok kaya, sok kecakepan, sok berkuasa. Arghh. Kenapa harus ada cowok semenyebalkan dia, sih! Chava mendesah sebal. Merutuk nasibnya yang begitu sial karena harus menjadi istri seorang pria yang sama sekali bukan kriterianya. Tapi, Kamu nggak boleh mengalah, Chava. Jangan sampai kamu ditindas sama cowok jutek macam dia. Sibuk bergulat batin dengan diri sendiri, Chava tersadar dari lamunan ketika suara dehaman keras menyentak kesadarannya. Ahmed, ayah kandung Chava, terlihat masuk ke ruang gambar lalu menghampiri. "Sudah mempersiapkan diri untuk menjadi nyonya Elhaq? Dua hari lagi, kamu resmi jadi bagian mereka." Chava menegakkan posisi duduknya. Mendadak ia merasa takut sekarang. "Chava akan berusaha melakukan yang terbaik." Seringai tajam terukir jelas di wajah Ahmed. "Kamu memang dilahirkan untuk melakukan semua perintah Abi tanpa bantahan, Chava. Kamu harus ingat, pernikahanmu ini sengaja dilakukan untuk membantu melancarkan semua rencana yang selama ini sudah Abi susun." Chava menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia sebenarnya tidak mengerti, rencana apa yang sebenarnya sedang ayahnya susun. "Chava nggak mau melakukan hal-hal jahat yang bisa merugikan orang lain," tolaknya tegas. Geram, Ahmed meraih kasar dagu Chava, mencengkramnya dengan keras lalu berkata-kata. "Jangan pernah berpikir kalau kamu bisa menolak perintah Abi. Atau kamu mau, orang yang paling kamu sayang hilang dari muka bumi ini? Masih syukur Abi memberinya kesempatan untuk menghirup udara bebas." "Abi ... sakit ... " rintih Chava. Cengkraman tangan Ahmed di dagunya membuat ia merasakan perih. Ini memang bukan kali pertama ia merasakan tindak kekerasan fisik dari pria yang menyandang status ayah kandungnya sendiri. "Sakit ini nggak seberapa, Chava. Kamu bahkan bisa merasakan lebih dari ini kalau membantah perihtah Abi." Ahmed kemudian melepaskan tangannya dengan kasar. Meninggalkan jejak merah di wajah mulus putrinya tersebut. "Ingat, Chava. Nikmatilah nasibmu. Jangan pernah berpikir untuk berpisah dengan Ashraf sampai semua rencana Abi terlaksana. Camkan itu!" Ahmed kemudian meninggalkan Chava begitu saja di ruangannya. Menangis. Hanya itu yang bisa Chava lakukan ketika mendapat perlakuan kasar dari ayah kandungnya sendiri. Ia memang tidak memiliki keberanian untuk membela diri apalagi melawan. Ahmed selalu mengancam akan melukai bahkan menghabisi nyawa orang yang paling Chava sayang. Masih terus berderai air mata, tiba-tiba suara dering ponsel terdengar memekakan telinga. Melirik sekilas, sebuah nomor handphone yang tidak ia kenal melakukan panggilan berkali-kali. Chava menarik napasnya sekali lagi. Mengatur suara agar tidak kentara terdengar seperti orang yang baru saja selesai menangis. Walau sedikit ragu, ia akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut. "Halo Assala---" "Kenapa lama banget angkatnya?" Belum lagi selesai berucap, suara pria yang begitu familiar ditelinga Chava terdengar berdecak kesal di seberang sana. "Asslamualaikum," ucap Chava menyambung kalimat yang sebelumnya terpotong. "Kalau telpon, bisa kali ucapin salam dulu," protes Chava. Sebagai seorang muslim yang baik, tentu saja salam adalah kata yang harus diucapkan terlebih dahulu sebelum memulai suatu pembicaraan. "Walaikumsalam," balas pria yang tak lain adalah Ashraf. "Kamu, sih, lama banget angkatnya. Kerjaan aku banyak, nggak nungguin jawaban kamu aja." Sambil terus memegangi ponselnya, Chava mengernyit heran. Ini orang saraf, apa gimana, sih? Dia yang telpon, dia juga yang marah-marah nggak jelas. "Yang nyuruh kamu nungguin aku siapa? Lagian, ngapain juga kamu telpon aku? Perasaan aku nggak pernah bagi-bagi no handphone sama orang asing!" gumam Chava. Ia merasa heran sendiri. "Nggak penting aku tau dari mana no handphone kamu. Aku cuma mau info kalau salinan surat perjanjian sudah Rayhan kirim ke butikmu tadi pagi." "Udah aku terima," sahut Chava dengan cepat. "Bagus. Kalau sudah dibaca, cepat tanda tangani. Biar bisa langsung di sahkan sama Rayhan," perintah Ashraf. "Nggak usah takut. Udah aku tanda tangani. Besok aku kirim kembali ke kantor Rayhan." Chava terlihat malas berbasa basi dengan Ashraf. Mengingat perasaan hatinya sedang tidak baik sekarang. "Ok!" Setelah kata singkat itu terucap, tanpa aba-aba sedikit pun, Ashraf langsung menutup telponnya. Meninggalkan Chava yang berdecak tidak percaya. Gila ni orang. Main tutup telpon sembarangan aja. Nggak ada sopan santunnya sama sekali. Baru saja Chava ingin meletakkan ponsel milikknya, benda pintar itu kembali berdering. Kali ini, ia bertindak cepat untuk segera mengangkat panggilan tersebut. "Mau apa lag---" "Sorry, aku lupa ucapin salam. Jangan lupa juga save nomor handphone ku. Assalamualaikum, Calon istri." Panggilan telpon kemudian kembali terputus. Menyisakan Chava yang hanya bisa tercengang dengan sikap absurd yang Ashraf tunjukkan kepadanya. Dasar cowok aneh! . . (bersambung) (Samarinda, 14 maret 2021) . ===Keterangan Medis=== *Elektrokardiogram : pemeriksaan untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung. EKG umumnya dilakukan untuk memeriksa kondisi jantung dan menilai efektivitas pengobatan penyakit jantung. *Operasi bypass Jantung : tindakan untuk mengatasi penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah arteri koroner pada pasien penyakit jantung koroner. Prosedur ini dilakukan untuk mengalihkan fungsi arteri koroner yang rusak, menggunakan cangkokan pembuluh darah baru dari organ tubuh lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN