"Kita adalah dua raga yang berbeda namun dipaksa keadaan untuk bersatu. Kita adalah dua hati yang berseberangan tapi berupaya untuk menyatu."
----
Ashraf terbangun. Melirik jam yang terpasang di dinding kamar menunjukkan pukul lima subuh. Saat membalik badan, ia tidak mendapati Chava di sampingnya. Gegas, pria itu duduk. Namun tak berapa lama, ia mengembuskan napas lega. Karena orang yang dicari ternyata tengah menjalankan ibadah sholat subuh.
Ashraf kembali membaringkan tubuhnya. Memerhatikan dari kejauhan ketika wanita itu begitu khusyuk membaca rentetan doa.
Setelah selesai dan merapikan mukena yang ia pakai, Chava tidak langsung kembali naik ke atas tempat tidur. Wanita itu memilih untuk keluar kamar. Entah apa yang ingin dilakukannya sepagi ini.
Ashraf tidak perduli. Pria itu memilih untuk beringsut turun dari ranjang. Membawa dirinya untuk segera mandi dan melaksanakan sholat subuh.
Setelah selesai sholat dan berpakaian, Ashraf pergi ke ruang kerjanya. Menyiapkan beberapa dokumen serta berbagai macam keperluan untuk dibawa ke rumah sakit. Hari ini, ia memutuskan untuk kembali bekerja karena harus memastikan kondisi pasien bypass jantung yang kemarin sempat kritis.
Tepat pukul 7.30, Ashraf menyelesaikan kegiatannya. Pria itu langsung mengarahkan kaki menuju ruang makan. Di sana, sudah tersedia berbagai macam menu sarapan untuk ia santap. Chava bahkan sudah berganti pakaian yang rapi. Terlihat seperti orang yang bersiap ingin pergi.
"Kaki kamu udah nggak sakit?" tanya Ashraf membuka percakapan. "Kalau bengkak, bisa ikut aku ke rumah sakit buat periksa."
"Udah nggak apa-apa."
Setelah menyahut, Chava meletakkan piring berisi nasi goreng beef blackpapper tepat di depan Ashraf. Mempersilahkan pria itu untuk segera menyantapnya.
Ashraf langsung meraih sendok, menyuap dengan pelan nasi yang sudah dihidangkan untuknya. Mengunyah dengan perlahan. Mencoba untuk mencecap rasa yang ditimbulkan. Lantas tak berapa lama pria itu memanggil seseorang.
"Astri ... "
Yang dipanggil pun tak berapa lama datang dengan tergopoh-gopoh untuk menghadap.
"Iya, Sir Ashraf, ada yang bisa saya bantu?"
Pandangan Ashraf beralih pada wanita berseragam abu-abu itu.
"Siapa yang masak sarapan pagi ini?"
Astri meneguk ludahnya pelan. Matanya melirik sekilas ke arah Chava yang duduk dengan tenang bersebrangan dengan Ashraf.
"A-anu ... Sir ... "
"Anu, apa?" Ashraf mengejar.
"Aku yang masak," sahut Chava dengan nada datar. "Kalau nggak suka, nggak usah di makan."
Wanita itu kemudian bangkit. Menyambar sling bag miliknya yang tersampir rapi di belakang kursi. Memasukkan handphone lalu berjalan mendekati Ashraf.
"Aku berangkat ke butik. Taksi online yang aku pesan, udah datang soalnya." Chava menyodorkan tangan kanannya. Bermaksud untuk berpamitan.
Ashraf bergeming. Alih-alih menyambut uluran tangan Chava, pria itu malah menampilkan sikap dingin.
"Siapa yang izinin kamu pergi?" Suara itu tegas bahkan terdengar begitu mengintimidasi.
Chava mengangkat wajahnya. Menatap lekat iris cokelat keemasan milik Ashraf.
"Kamu nggak izinin aku kerja?" Chava memastikan. "Di surat perjanjian, kita sudah sepakat kalau kamu nggak akan ngelarang aku kerja."
"Aku nggak bilang begitu." Ashraf berusaha sekali menurunkan nada suaranya. "Aku cuma nggak izinin pergi pake taksi online."
"Ya, trus aku naik apa? Lagi pula, kamu berlebihan. Biasanya juga aku berangkat kerja naik taksi online."
Terlihat jelas di mata Chava kalau Ashraf tersenyum sinis.
"Oh, ya ampun, Chava Aleea Marwa. Apa kamu lupa, kalau sekarang sudah menjadi istri Ashraf Syafiq Elhaq? Mobilku ada banyak di garasi, tinggal pilih mau pakai yang mana. Kenapa harus bersusah payah naik taksi online?"
Chava berdecak pelan. Jengah dengan kesombongan yang Ashraf tunjukkan. Mungkin saja, pria di depannya ini masih ada keturunan Firaun yang sombongnya terdengar sampai langit ke tujuh.
Malas beradu argumen, Chava memilih berlalu. Meninggalkan Ashraf yang masih setia duduk di tempatnya.
"Chava, aku belum selesai ngomong!" ucapan itu menghentikan langkah Chava. Pelan, wanita itu menoleh. "Kamu mau ke mana?" Sekali lagi pria itu bertanya.
Terdiam, Chava menarik napas dalam-dalam. Berusaha menampilkan senyum tipis di wajahnya, lalu berkata, "Ke garasi. Kamu suruh aku pilih mobil, kan? Aku udah telat, Ash. Ada kerjaan yang harus aku selesaikan."
Ashraf bangkit dari duduk. Menyambar jas putih khas dokter miliknya yang tersampir rapi di belakang kursi.
"Aku yang antar kamu."
****
"Ecieeee, yang diantar suaminya berangkat kerja." Shella terang-terangan mengolok ketika Chava sudah memasuki ruang kerjanya. Wanita itu memilih diam saja, tidak menggubris sedikit pun ucapan Shella.
"Lah, kamu puasa ngomong?" Shella tidak bosannya mengoceh. "Ya, sih, ini hari senin waktunya puasa sunnah. Tapi, ya nggak puasa ngomong juga, kali."
Chava menghela napas berat. Mengembuskannya pelan-pelan demi mengurai rasa sesak yang menumpuk di dadanya. Mood-nya hari ini sangat kacau. Dan ini semua akibat ulah siapa lagi kalau bukan Ashraf.
"Kenapa, sih, aku harus nikah sama Ashraf?" tanya Chava pelan. Wajahnya tertunduk sayu seakan menyimpan kepedihan yang begitu dalam.
Shella terdiam. Memilih untuk menghampiri Chava lalu memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Ia akhirnya paham apa yang menyebabkan sahabatnya itu diam saja semenjak datang.
"Chava ... " cicit Shella. "Jangan sedih. Yakin aja kalau semuanya sudah diatur sama Allah. Siapa tau, setelah ini ada kebahagiaan nggak terhingga yang akan kamu dapat."
Chava mendongakkan wajahnya. Berusaha menahan diri agar tidak menangis.
"Kamu tau sendiri, urusan dengan keluargaku aja udah rumit. Sekarang ditambah dengan kehadiran Ashraf yang benar-benar nyebelin. Kadang aku ngerasa nggak kuat, Shell. Kenapa Tuhan kasih cobaan sampai segininya." Kali ini, Chava menyerah. Kristal bening nyatanya sudah lolos membasahi pipi.
"Ssttss ... " Shella mendesis pelan. "Nggak boleh ngomong gitu. Ingat, kamu itu Chava yang kuat. Persis seperti arti namamu. Sekuat bukit Shofa Marwa."
Chava menurut. Memilih menghapus jejak-jejak air mata. Berusaha menenangkan diri agar tidak semakin larut dalam kesedihan.
Sementara di tempat yang berbeda, Ashraf terlihat begitu sibuk. Matanya tidak berpindah sedikit pun dari layar Monitor Holter atau alat medis yang merekam ritme jantung secara terus-menerus.
Pemantauan ini Ashraf lakukan kepada pasien asal Malaysia yang sedang ia tangani. Berusaha mengidentifikasi dan mencari faktor risiko dari kematian mendadak akibat penyakit jantung yang diderita.
"Ash ... " bisik dokter lain yang juga berada didalam ruang ICU. "Ayo kita keluar."
Ashraf mengangguk kemudian menanggalkan terlebih dahulu Surgical Gown atau jas khas ruang operasi yang ia kenakan. Kemudian berjalan santai menuju ruang kerjanya.
"Maaf banget waktu cuti kamu harus terpakai kerja seperti sekarang." Alfatih, dokter yang sedari tadi mendampingi Ashraf merasa tidak enak sekarang. "Tapi, kalau kamu mau, aku bisa handle."
Ashraf tersenyum lalu menggeleng.
"Nggak apa-apa. Lagian, itu memang pasien khusus di bawah tanggung jawabku. Keluarganya juga nggak mau kalau bukan aku yang tangani."
Mereka berdua kemudian duduk di sofa. Membahas pasien-pasien mana saja yang akan Alfatih tangani semenjak resmi bergabung di rumah sakit Medika.
"Aku udah paham. Jadwal praktik juga udah di konfirm. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, Ash," ucap Alfatih sembari merapikan beberapa dokumen yang baru saja ia dan Ashraf baca.
"Ck ... " Ashraf berdecak. "Biasa aja. Rumah sakitku emang lagi butuh dokter kayak kamu, Al."
"Eh, by the way," sela Alfatih. "Maaf banget aku kemarin nggak bisa hadir di pesta pernikahan kamu, Ash. Ada pasien darurat yang harus aku tangani sabtu kemarin."
Ashraf tersenyum. Memaklumi alasan yang di utarakan Alfatih. "Santai aja, Al. Yang penting doanya. Lagi pula, nyawa pasien itu nomor satu untuk kita yang berprofesi sebagai dokter."
Alfatih mengangguk setuju. Pria itu kemudian memutuskan untuk berpamitan. Bermaksud untuk melanjutkan pekerjaannya.
Saat hendak menutup pintu, terlihat pria lain masuk ke ruangan Ashraf sembari menyunggingkan senyum begitu jahil.
"Assalamualaikum, Pengantin Baru."
Azzam melenggang masuk. Penuh percaya diri langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan terlebih dahulu.
Ashraf mendengkus sebal. Tapi tetap saja ia berkewajiban untuk menyahut salam yang sudah Azzam ucapkan. "Walaikumsalam, ibnu ‘amm."
"Kaifa Haaluk, Ash?"
Belum sempat Ashraf menyahut, pintu ruangan kembali terketuk. Ashraf melirik ke arah pintu ketika seorang office girl membawakan minum yang sengaja ia pesan. Lalu beranjak pergi setelah selesai menghidangkan minuman tersebut di meja.
"Alhamdulillah, innii bi khoir, Zam. Kamu liat sendiri aku baik-baik saja." kata Ashraf menyambung perbincangan yang sempat tertunda.
Azzam menatap penuh selidik. Memicingkan sebelah matanya. "Malam pertama, gimana?"
"Uhuk!" Ashraf tersedak kopi hangat yang baru saja ia teguk.
"Baca bismillah dulu, Ash. Biar nggak tersedak." Azzam sengaja menggoda sepupunya. Ia melihat dengan jelas bagaimana Ashraf salah tingkah. "Jangan bilang kamu masih perjaka." detik berikutnya Azzam tertawa begitu puas. Sementara Ashraf hanya bisa menggeram kesal.
"Kamu jauh-jauh ke sini cuma mau tanya begituan? Kurang kerjaan banget." Wajahnya terlihat tidak suka. "Sudah ku bilang, aku bukan tipe orang yang gampang suka sama orang baru."
Ya, Azzam sangat tahu akan hal itu. Sulit untuk menahlukkan hati seorang Ashraf. Seumur hidup, pria itu bahkan hanya sekali menjalin kisah percintaan. Dan setelah putus karena terhalang restu sang ibu, Ashraf tidak pernah lagi terlihat dekat dengan wanita mana pun sampai akhirnya ia bertemu dengan Alissa. Tapi, ketika perasaan itu mulai tumbuh, ia harus merelakan Alissa menjadi milik Azzam.
"Ash, Ingat suami berkewajiban memberikan nafkah batin, seperti halnya nafkah berupa materi. Kalau kamu nggak melakukannya, sama aja berdosa. Kecuali kamu emang punya kelainan."
Ashraf menatap tajam ke arah Azzam.
"Maksud kamu?"
"Ya kecuali kamu emang nggak tertarik sama perempuan."
"Astagfirullahhaladzim ... " Ashraf mengusap wajahnya kasar. "Aku normal, Zam."
"Ya, trus?"
Jelas sekali di mata Azzam, kalau sepupunya itu menghela napas berkali-kali. Seakan frustrasi memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan.
"Nggak mudah, Zam. Aku bahkan belum genap sebulan kenal Chava. Gimana caranya, tau-tau menggauli dia. Aku yakin, dia juga pasti nggak mau."
"Kata siapa?" Azzam memberondong pertanyaan tanpa henti. "Itu kata kamu, kan? Kamu udah coba? Belum, kan?"
Ashraf mengangkat kedua tangannya. Memberi isyarat kalau ia telah menyerah dengan semua pertanyaan yang Azzam sodorkan.
"Please, kita sudahi pembahasan ini."
****
Ashraf baru saja tiba di rumah tepat saat Adzan isya berkumandang. Sebelum melanjutkan langkah menuju kamar. Pria itu memilih untuk berbelok ke musolla yang ada di rumahnya. Melaksanakan sholat isya berjamaah dengan para pekerja lainnya.
Ketika sholat usai, pria itu beranjak. Saat hendak menaiki anak tangga, lagi ia berpapasan dengan Astri yang baru saja turun dari lantai dua.
"Selamat malam, Sir Ashraf." Astri menyapa penuh hormat. "Mau saya siapkan makan malam?" tawar wanita itu.
"Nggak usah. Saya sudah makan," jawabnya. "Chava mana? Sudah pulang?"
Astri mengangguk.
"Sudah dari tadi sore. Setelah selesai buka puasa, nyonya langsung kembali ke kamar."
Ashraf mengernyitkan keningnya.
"Puasa?"
"Iya, puasa sunnah senin-kamis katanya."
Ashraf mengangguk sekilas kemudian memilih untuk berlalu. Namun, baru selangkah ia beranjak, Astri kembali memanggil namanya.
"Sir Ashraf ... "
Pria itu menoleh. "Ada apalagi?"
Takut-takut, Astri menyahut. "Soal sarapan tadi pagi. Saya mohon jangan marah sama nyonya. Saya sudah berusaha melarang nyonya Chava buat masak. Tapi dia memaksa. Katanya mau siapin sendiri sarapan buat Sir Ashraf."
Ashraf terkekeh pelan. Yang ada malah membuat Astri menjadi bingung.
"Memang siapa yang marah? Tadi pagi, saya panggil kamu karena saya mau muji kalau masakannya enak."
Sekarang, giliran Astri yang tersenyum lega. Wanita itu kemudian membiarkan Ashraf melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Membuka pintu, Ashraf melihat Chava yang tengah duduk di sofa. Begitu sibuk dengan kertas-kertas gambar yang ada di hadapannya.
"Kamu udah lama pulang?" Chava mencoba untuk bersikap baik dengan menyapa lebih dulu.
Ashraf hanya mengangguk. Kemudian membawa dirinya menuju walk in closet. Meraih piyama tidur untuk ia bawa ke kamar mandi.
"Sudah makan? Aku tadi masak opor ayam untuk makan malam."
"Makasih, tapi aku udah makan sebelum pulang. Kamu juga sebenarnya nggak perlu repot-repot masak. Di rumah ini ada banyak asisten rumah tangga yang punya tugas masing-masing."
Ashraf kemudian dengan cueknya melangkah masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Chava yang hanya bisa meringis mendengar ucapan sinis dari Ashraf.
Tenang, Chava. Kamu hanya harus terbiasa saja.
Ketika pria itu selesai dan keluar kamar mandi, Ia mendapati Chava yang sudah berpindah dari sofa ke atas ranjang. Wanita itu sudah pasti bersiap untuk tidur.
"Kamu emang gitu?" tanya Ashraf tiba-tiba saat ia sudah berdiri tak jauh dari ranjang. "Tidur pakai hijab? Emang nggak panas?"
Chava menoleh ke arah Ashraf.
"Nggak juga. Cuma pas jadi istri kamu aja aku tidur begini," sahut Chava sekenanya.
Mendengar jawaban Chava, sontak saja Ashraf kebingungan. Memang kenapa dengan dirinya.
"Emang apa hubungannya sama aku? Mau kamu nggak pakai pakaian sekali pun, aku nggak perduli."
Chava berdesis. Ingin menyumpah tapi ingat akan dosa. Maka ia memilih untuk bersikap cuek lalu menjawab.
"Bukan urusan kamu, mau aku tidur pake hijab pake jas hujan sekali pun. Kita sudah sepakat nggak mencampuri privasi masing-masing." Wanita itu kemudian menarik selimut lalu menutupi tubuhnya. Membalik badan sengaja memunggungi Ashraf.
Ashraf tertawa kecut. Alih-alih tidur, pria itu mengurungkan niatnya. Memilih keluar kamar sambil bersungut-sungut.
Gitu, aku di suruh menggauli Chava?
Yang benar aja!
.
.
=====Translate bahasa Arab===
1. Kaifa Haaluk : Bagaimana Kabarmu?
2. ibnu ‘amm : Sepupu (laki-laki)
3. innii bi khoir : Baik-Baik saja.
.
.
Yang suka sama cerita ini dan pengen liat visual pemainnya, boleh add/follow ig aku @novafhe. Bisa cek highlight/sorotan yang judulnya : UM.
.
Yang pengen gabung di grup sss khusus pembacaku, boleh add grup yang namanya : FHELICIOUS.