"Yang terlihat jelas nyatanya samar. Yang dikira manis nyatanya tawar. Doa-doa kurapal hingga tersengal, demi sebongkah kasih yang kekal."
----
Suara ketukan pintu memecah keheningan ketika Ashraf tengah berkonsentrasi mengerjakan sesuatu di ruang kerjanya. Tanpa dipersilahkan, seorang wanita masuk lalu mengambil posisi untuk duduk. Ia terlihat begitu payah membawa dirinya yang tengah hamil besar.
"Ash, ini agenda terakhirmu sebelum cuti. Ada satu operasi bypass jantung yang harus kamu tangani. Menurut data, pasien ini pindahan dari rumah sakit di Malaysia."
Ashraf yang awalnya tengah sibuk menulis, menghentikan kegiatannya. Mendongak, lantas meraih lembaran berkas yang Alissa sodorkan lalu membacanya.
"Berarti besok jadwal operasi terakhir?" Ashraf melirik sekilas untuk memastikan.
"Iya ... " sahut Alissa. "Setelah itu kamu cuti seminggu."
Masih sembari membaca berkas di tangannya, Ashraf melayangkan pertanyaan.
"Seminggu? Yakin ngasih cuti seminggu?"
"Kenapa?" tanya Alissa. "Kurang? Bisa extend, kok. Kamu maunya berapa lama? Sepuluh hari? Empat belas hari? Atau dua puluh hari, Ash?" tawar Alissa kemudian.
Alissa tiba-tiba sadar, mungkin saja Ashraf memang butuh waktu lebih banyak untuk libur. Pria itu selama ini terlalu tenggelam dalam tumpukan pekerjaannya.
Sedari awal bergabung dengan rumah sakit Medika, Alissa ingat kalau pria itu belum pernah mengajukan cuti. Jadi, kalau pun kali ini ia meminta libur yang sedikit lama harusnya bukan jadi masalah. Lagi pula, Ashraf sendiri adalah pemilik rumah sakit. Siapa yang berani melayangkan protes kepadanya.
Namun, alih-alih menentukan tambahan hari perihal cuti, justru gelengan kepala yang ditunjukkan oleh pria itu.
"Bukan gitu, Cha. Maksud aku, emang nggak kebanyakan cuti sampai seminggu?"
Perkataan Ashraf membuat kening Alissa sedikit berkerut. Tampak raut tak percaya di wajahnya dengan perkataan pria itu barusan.
"Kamu tau sendiri, kalau dokter spesialis bedah jantung di rumah sakit kita cuma ada tiga," ucap Ashraf yang langsung di jawab anggukan kepala oleh Alissa. "dan itu termasuk aku. Kalau terlalu lama cuti, takutnya rumah sakit kekurangan tenaga medis."
"Bukannya pengganti dokter Andra mulai bertugas minggu ini?"
Ashraf mengangguk. "Besok dia datang untuk perkenalan dulu. Namanya Alfatih. Dokter pindahan dari Singapura. Aku sengaja ambil dia dari rumah sakit Mount Elizabeth untuk menggantikan posisi Andra."
"Kamu udah kenal dokter itu sebelumnya?" tanya Alissa.
"Hemm ... " Ashraf mengangguk lagi. "Kami satu fakultas dulu di Amerika."
"Kalau pengganti Nissa, gimana?" tanya Alissa lagi.
"Untuk pengganti Nissa, yang rekomendasikan dewan direksi rumah sakit. Mungkin minggu depan sudah ada penggantinya."
Kali ini Alissa yang mengangguk. "Kalau begitu masalah dokter pengganti clear, ya. Jadi fix-nya kamu ambil cuti berapa lama?"
"Aku coba ambil seminggu aja." Di mata Alissa Ashraf nampak sedang menimbang. "Tapi, kalau ada urusan yang urgent dan butuh kehadiranku, tolong segera kabari."
Alissa meringis. "Seminggu itu sebentar aja, Ash. Emang kamu nggak kepengen nikmati honeymoon dulu? Masa setelah nikah langsung kerja lagi."
Di posisi duduknya, Ashraf terdiam. Jangankan memikirkan honeymoon, pernikahan yang bahkan tinggal hitungan hari saja tidak ia perdulikan. Kalau orang-orang begitu exited melakukan persiapan, mungkin Ashraf satu-satunya pria yang tidak tertarik sedikit pun dengan segala kesibukan mengenai persiapan pernikahan. Tolong dicatat, ini pernikahan yang tidak ia inginkan. Lagi pula, semua sudah di atur rapi oleh sang ibu.
"Kita lihat nanti, Cha. Kurang dan lebihnya cuti yang aku ambil, nggak bisa aku putuskan sekarang."
Alissa mengangguk mengerti. "Oke, semuanya sudah jelas. Itu artinya, besok hari terakhirmu kerja sebelum cuti. Laporan lainnya aku kirim via email aja. Nanti bisa kamu cek kembali."
"Makasih banyak atas bantuannya."
"Sama-sama, kalau gitu aku pamit dulu," kata Alissa seraya mengangguk.
Asisten sekaligus sepupu ipar Ashraf itu dengan segera berlalu dari ruangan. Meninggalkan Ashraf untuk kembali membuka lembaran dokumen yang sebelumnya ia baca.
Ashraf menyandarkan tubuhnya pada kursi. Otaknya tiba-tiba berpikir sesuatu. Lantas hal berikutnya yang ia lakukan adalah meraih ponsel dari dalam saku. Mencari kontak seseorang untuk segera dihubungi.
"Assalamualaikum, Ray," sapa Ashraf ketika panggilannya diangkat. "Kamu ada di kantor? Aku mau singgah. Seperti yang ku ceritakan kemarin, sepertinya hari ini harus kita bahas kembali. Aku ke kantormu sebentar lagi."
Setelah panggilan ditutup, Ashraf langsung bangkit. Meraih kunci mobil bermaksud untuk segera pergi meninggalkan ruangan.
****
Chavala Boutique yang terletak di Jakarta Selatan terlihat dipenuhi pengunjung siang ini. Orang orang silih berganti masuk membeli koleksi baju yang baru di luncurkan butik tersebut beberapa hari yang lalu.
Chavala Boutique sendiri sudah berdiri selama tiga tahun terakhir ini. Murni hasil kerja sama antara Chava dan Shella, sahabatnya. Sebagai seorang perancang busana, tentu keseluruhan baju yang dijual oleh butik merupakan hasil rancangan Chava sendiri. Hampir tiap hari ia mendedikasikan dirinya untuk merancang dan menciptakan trend baru dalam dunia hijab yang makin lama makin di lirik khalayak luas.
"Chava ... kamu nggak cuti? Kan beberapa hari lagi nikah. Emang kamu nggak siap-siap?" tanya Shella pada Chava yang sedang sibuk menggambar di meja kerjanya.
"Nggak perlu. Lagi pula, semua urusan pernikahan udah di handle 100 persen sama keluarga Elhaq," sahut Chava dengan santai. Ia bahkan terlihat tidak perduli.
Shella melangkah maju, menarik kursi putar yang ada di depan Chava lalu mendudukkan dirinya di sana.
"Enak juga ya, jadi calon menantu konglomerat. Nggak perlu pusing. Modal bawa diri aja."
Merasa terusik dengan ucapan sahabatnya, Chava lantas mendongak. Lalu mendengkus dengan sebal.
"Enak apanya? Kamu nggak tau aja kelakuan cowok yang ditunangkan sama aku gimana."
Shella jelas saja terkesiap dengan ucapan Chava. Setelah tau kalau sahabatnya itu dilamar oleh dokter tampan nan kaya, ia beranggapan kalau sahabatnya itu seperti tertiban durian runtuh.
Seingatnya, Chava terakhir kali menjalin hubungan serius dengan seorang pria saat mereka duduk di bangku SMA. Hubungan itu kandas karena sang pria harus melanjutkan pendidikan di luar negeri. Hingga saat ini, Chava tidak pernah sekali pun menjalin hubungan dengan pria lain. Entah karena malas atau memang sudah terlanjur menutup hati. Hingga tiba-tiba ayahnya menjodohkan dengan seorang dokter kaya dan juga tampan.
"Emangnya calon suami kamu kenapa?" tanya Shella penasaran.
Namun belum lagi sempat Chava menjawab, sebuah ketukan pintu mengalihkan pandangan mereka berdua. Seorang pegawai butik saat itu terlihat tengah mencari Chava.
"Mba Chava, di luar ada yang cari," ucap wanita itu.
Masih dalam posisi duduk, Chava mengernyit heran. Seingatnya, hari ini ia memang tidak ada jadwal temu dengan siapa pun.
"Siapa? Cowok apa cewek?"
"Cowok, Mba. Orangnya lagi nunggu di ruang tamu."
Saat Chava hendak bangkit, Shella menahan wanita itu.
"Kamu di sini aja. Biar aku yang cek."
Chava mengangguk, kemudian membiarkan Shella untuk pergi keluar. Memastikan siapa pria yang sedang mencari.
Sementara Shella keluar, Chava kembali melanjutkan kegiatan menggambarnya. Menyelesaikan beberapa rancangan baju sebelum ia mengambil cuti untuk menikah beberapa hari lagi.
Ketika tengah asyik menggores pensil di atas kertas, terdengar pintu ruangan di buka. Chava meyakini kalau itu pasti Shella. Maka, masih dalam keadaan menggambar, ia bertanya.
"Gimana, Shel, udah kamu cek? Jadi siapa yang cari aku?"
Hening sejenak. Hingga tak berapa lama terdengar sahutan.
"Aku yang cari kamu."
Suara bariton khas pria dewasa menyentak kesadaran Chava. Menaruh pensil yang ia genggam, wanita itu melarikan pandangan matanya ke arah sumber suara.
"Ashraf ... " ucapnya pelan. "Kamu mau apa ke sini?" tanya Chava dengan raut wajah heran.
Berdiri tak jauh dari muara pintu, Ashraf menjawab pertanyaan Chava.
"Aku mau jemput calon istri," sahut Ashraf sekenanya. Tapi ucapannya tersebut malah membuat Shella dan Chava kompak tercengang. Lebih-lebih Shella. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekagumannya ketika bertemu Ashraf secara langsung. Selama ini, ia hanya bisa melihat wajah pria itu dari balik majalah bisnis atau laman berita online.
"Oh, ya?" sahut Chava. Ia berusaha menjaga air mukanya agar tetap terlihat tenang.
Ashraf mengangguk.
"Iya, aku emang mau jemput kamu. Sekarang cepat kemasi barangmu. Ada urusan yang harus kita selesaikan."
Tanpa banyak tanya, Chava menuruti perintah Ashraf. Merapikan meja gambarnya, meraih tas kemudian berpamitan pada Shella.
"Shell, aku pulang duluan. Kalau ada apa-apa, kabarin aja." Shella hanya mengangguk lalu membiarkan Chava mengekori langkah Ashraf untuk segera masuk ke dalam mobil.
Di sepanjang perjalanan, Chava yang sebenarnya tidak tahu menahu ke mana akan dibawa hanya pasrah dan diam. Tidak sedikit pun kata-kata atau pertanyaan keluar dari bibir wanita itu. Ia hanya ingin lihat, ke mana sebenarnya Ashraf akan membawanya pergi.
Lantas tak berapa lama, mobil Range Rover putih milik pria keturunan Arab itu memasuki daerah Jakarta Pusat. Kemudian berhenti dengan sempurna di salah satu firma hukum yang namanya tidak asing di mata Chava.
"Ayo turun," ajak Ashraf
"Sebenarnya kita mau ngapain?"
Ashraf tidak langsung menjawab. Pria itu memilih diam dan langsung keluar dari dalam mobil. Berjalan santai meninggalkan Chava di belakangnya.
Karena tidak ingin ketinggalan, Chava melebarkan langkahnya. Berjalan sedikit tergesa demi menyusuli Ashraf yang sudah lebih dulu masuk ke dalam gedung.
"Ash ... " panggil Chava saat ia berhasil mengimbangi langkah Ashraf. "Kita mau ngapain? Kalau nggak jelas begini. Mending aku pulang aja."
Ashraf berhenti melangkah. Memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Chava.
"Soal saranmu tempo hari tentang perjanjian pra-nikah. Setelah dipertimbangkan matang-matang, aku pikir, kita memang perlu membuat itu."
Chava berdecak pelan.
"Jadi kamu serius mau buat perjanjian pra-nikah?"
Ashraf hanya mengangguk, kemudian melanjutkan kembali langkahnya. Memasuki sebuah ruangan yang ada di lantai dua gedung. Di sana, sudah ada seorang pria yang memang menunggunya sedari tadi.
"Assalamualaikum ... " Ashraf berucap salam ketika melangkah masuk ke dalam ruangan.
"Walaikumsalam, Ash. Kaifa haluk?" Pria itu menghampiri Ashraf lalu memeluknya.
"Alhamdulilah, ana bikhoirin, Rey," jawab Ashraf seraya mengurai pelukan. Reyhan kemudian menuntun Ashraf dan Chava untuk segera duduk di kursi tamu.
Semenjak selesai membantu Azzam mengurusi legalitas di perusahaan induk milik Elhaq Company, Rayhan memutuskan untuk kembali ke perusahaannya sendiri. Sekarang, ia begitu sibuk mengurusi firma hukum miliknya. Menangani berbagai macam kasus hukum baik dari kalangan pebisnis kelas kakap hingga para artis sekali pun.
Beberapa hari yang lalu, Ashraf memang menghubunginya. Mengutarakan keinginan untuk membuat prenuptual agreement sebelum ia dan calon istrinya benar-benar melangsungkan pernikahan.
Rayhan tentu saja tidak terkejut. Mengingat ia tahu pasti kalau sepupunya itu dijodohkan dengan wanita yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Tentu saja membuat perjanjian pra-nikah adalah keputusan yang bijaksana. Ini penting dimiliki untuk melindungi kedua belah pihak dari risiko pernikahan yang mungkin terjadi di kemudian hari. Entah soal pisah harta, hutang piutang, hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan hingga mengatur penghasilan masing-masing.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" tanya Rayhan. Pria itu menatap Ashraf dan Chava secara bergantian.
"Aku mau kamu catat semua syarat dan kewajiban yang aku ajukan."
Rayhan mengangguk, meraih laptop miliknya lalu bersiap untuk mengetik.
"Take your time, Ash. Aku ketik semua ucapanmu," ucap Rayhan to the point.
Ashraf menghela napasnya. Mencoba menimbang kembali apa yang ingin ia ajukan.
"Pertama, dilarang mencampuri urusan pribadi atau privasi masing-masing."
Rayhan mulai mengetik apa-apa yang diucapkan oleh sepupunya.
"Kedua, pihak pria akan memberikan nafkah secara full setiap bulan. Namun, tidak membatasi ketika pihak wanita ingin terus bekerja. Hanya saja, pihak wanita tidak boleh mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Ketiga, wajib menjaga nama baik suami dan keluarga. Dan yang terakhir, bila salah satu pihak memutuskan untuk berpisah karena tidak adanya kecocokan, pihak lainnya tidak boleh melarang apalagi menghalangi keputusan tersebut."
Rayhan menghentikan gerakan jarinya yang menari-nari di atas keyboard. Mengangkat wajah lalu menatap tidak percaya kepada sepupunya.
"Ini nggak salah?" tanyanya penuh heran.
"Yang mana?"
"Soal pisah, Ash. Nikah aja belum, kamu udah mikirin cerai? Yang benar aja." Rayhan terang-terangan melayangkan protes kepada sepupunya tersebut.
"Antisipasi, Ray. Kita kan nggak tau kejadian di kemudian hari bagaimana. Lagi pula, untuk apa terus-terusan mempertahankan pernikahan kalau nggak ada kecocokan diantara kedua belah pihak?"
Rayhan mengangguk. Tatapan matanya kemudian beralih pada Chava.
"Terus, untuk pihak kedua, mau ajukan persyaratan apa?"
Chava menarik napas pelan. Mengulas senyum kemudian berkata-kata.
"Di dalam pernikahan nanti, sebenarnya aku nggak perduli dia mau memberikan nafkah atau nggak." Chava berucap sembari melirik sekilas ke arah Ashraf. "Yang terpenting, saat menjadi suami, bersikaplah yang baik. Terakhir, nggak ada perselingkuhan apalagi orang ketiga. Alih-alih berhubungan dengan wanita lain, sebaiknya ceraikan aku dulu dari pada berbuat zina di belakangku."
"Hanya itu?" Entah memang kebetulan atau reaksi dari keterkejutan. Pertanyaan itu nyatanya keluar bersamaan dari bibir Ashraf dan Rayhan.
Ashraf sendiri bahkan dibuat benar-benar tercengang atas permintaan yang Chava ucapkan. Dari begitu banyaknya hal yang bisa diajukan, wanita itu hanya meminta sesuatu yang Ashraf anggap begitu sepele.
"Yakin cuma itu?" Rayhan sekali lagi memastikan. "Kalau soal sikap, kamu tenang aja. Anak-anak Elhaq dididik untuk menghargai kaum hawa. Kami juga nggak membenarkan tindak kekerasan pada wanita. Pun masalah perselingkuhan apalagi poligami---"
"Jadi aku rasa, permintaanmu itu terlalu gampang," potong Ashraf.
"Gampang?" ulang Chava. "Belum nikah aja sikap kamu udah menyebalkan," protes wanita itu.
Ashraf menatap tajam ke arah Chava. Bersikap seolah-olah tidak terima dikatakan demikian.
"Sudah dari awal aku bilang, aku memang nggak gampang dekat sama orang baru. Harusnya kamu ngerti." Ashraf mencoba untuk membela diri.
"Tapi kamu santai aja dong. Nggak usah jutek gitu sama aku." debat Chava tidak ingin kalah.
Melihat dua kliennya malah bersitegang, Rayhan berinisiatif untuk melerai.
"Astagfirullahhaladzim, kalian udah kayak anak kecil." Rayhan menatap Chava dan Ashraf bergantian. "Perjanjiannya udah aku ketik, intinya Ashraf harus melakukan apa yang dituntukan oleh pihak wanita. Dan Chava, kamu tenang aja, kalau Ashraf melanggar perjanjian, kamu berhak menggugat cerai atau melaporkan tindakannya ke polisi."
"Ok, kita buktikan kedepannya bagaimana." Chava menanggapi dengan santai.
"Kamu nggak mau bahas soal pembagian harta atau aset?" tanya Ashraf mengulangi. "Jujur, aku nggak masalah selama menikah, semua aset mau ditulis atas nama kamu," tawar pria itu. Karena sebenarnya ia memang tidak perduli untuk masalah harta.
"Aku nggak matre," sahut Chava singkat.
"Sekali kali aku pastikan, kamu sudah fix sama permintaanmu?
Chava mengangguk tanpa berucap. Memastikan kalau keputusannya sudah final.
"Oke ... " sekarang giliran Reyhan yang menyahut. "Semua perjanjian hak dan kewajiban di antara kalian berdua sudah aku catat dengan baik. Salinan suratnya aku akan kirim segera. Tapi dari itu semua, aku sangat berharap kalau pernikahan kalian bisa berjalan normal seperti pasangan-pasangan pada umumnya." Rayhan mengucapkan kalimat panjang lebar itu dengan tulus.
.
.
====Note====
*Prenuptual Agreement/Perjanjian Pra Nikah : Perjanjian yang dibuat oleh kedua calon mempelai sebelum mengadakan ritual pernikahan. Yang berisi masalah pembagian harta kekayaan masing-masing atau berkaitan dengan harta pribadi kedua belah pihak sehingga bisa dibedakan jika suatu hari terjadi perceraian atau keduanya dipisahkan oleh kematian.
.
Yang baru gabung, bisa add akun sss/ig aku ya @NOVAFHE
semua spoiller, viasual, jadwal, dll aku share di media sosial
.
Samarinda, 11 maret 2021
.
Judul : Unpredictable Marriage
Link : https://m.dreame.com/n****+/mHnsVzirA7OStBdjNMPJHw==.html