3. Memilah dan Memilih

2146 Kata
"Aku dan kamu adalah sepasang luka yang berdamai pada semesta. Aku dan kamu adalah sepasang luka yang harus menerima takdir meski berderai air mata." ---- Dua hari setelah acara Khitbah mencapai kata sepakat, nyonya Elma kembali berkunjung ke rumah Chava. Malam ini, kembali digelar acara Fatihah sebagai simbolis bahwa pinangan terhadap pihak wanita telah diterima. Fatihah sendiri merupakan acara pembacaan doa al-fatihah dan hanya dihadiri oleh keluarga inti dari kedua belah pihak saja. Uniknya di dalam acara ini calon mempelai pria tidak diperkenankan untuk menghadiri acara tersebut. Kegiatannya akan diisi dengan pembacaan doa. Dilanjutkan dengan penyampaian lamaran sekali lagi dalam bahasa Arab oleh keluarga dari pihak calon mempelai pria. Kemudian pihak wanita menerima lamaran tersebut. Setelah acara lamaran selesai, Ibu dari calon mempelai pria akan menyematkan cincin kepada calon mempelai wanita. Hal ini menandakan bahwa si wanita telah diikat dan siap menjadi istri dalam waktu dekat. Selesai acara penyematan cincin, Chava menerima secara simbolis seserahan yang sudah Ashraf siapkan. Dari satu set perhiasan, tas dan sepatu branded, gaun tidur satin, perlengkapan make up. Dan tak kalah penting, seperangkat alat sholat yang sudah di bungkus rapi dalam box mika transparan. "Amma sudah nggak sabar liat Chava dan Ashraf menikah minggu depan," ucap Elma. Ia tengah duduk bersisian dengan Chava di ruang tamu. "Besok, kalian berdua harus fitting baju pernikahan. Nanti, Amma minta Ashraf untuk jemput kamu saat jam istirahat kerja," ucap wanita itu lagi. Chava tersenyum sembari mengangguk hormat. "Nggak usah, Auntie---" "Amma, Sayang." Wanita paruh baya itu menginterupsi. "Hitungan beberapa hari lagi kamu jadi anak Amma. Jadi jangan panggil auntie lagi." Chava mengangguk sekali lagi. "I-iya, Amma," jawab Chava dengan gugup. "Tapi Ashraf nggak perlu repot-repot jemput Chava. Biar kita langsung ketemuan aja di butik." Elma tampak menimbang saran dari calon menantunya. Lalu tak berapa lama ia menyahut. "Ok, nanti Amma suruh Ashraf untuk langsung susul kamu ke butik. Tapi, ingat! Pulangnya jangan sendiri-sendiri. Biar Ashraf yang antar." Tidak ingin pembahasan semakin panjang, Chava menuruti perintah Elma. Toh bukan masalah kalau pulangnya harus ikut dengan Ashraf. Sepulangnya keluarga besar Elhaq dari kediaman Ahmed, para saudari Chava sibuk memerhatikan satu per satu barang yang ada di dalam box seserahan. Dari tatapannya, mereka terlihat takjud dan terpukau dengan segala barang yang ada di dalamnya. Berbeda dengan Chava yang terlihat biasa saja. Bahkan tidak perduli dengan segala macam isinya. "Umi ... kenapa nggak aku aja yang dijodohkan sama dokter Ashraf?" rengek Alanna, salah satu anak dari Ahmed dan Karina. "Enak banget si Chava dapat calon suami ganteng trus kaya raya begini." Alanna menatap sinis ke arah Chava. Ia benar-benar merasa iri dengan nasib mujur yang di terima saudaranya. "Mau gimana lagi. Umi juga udah pujuk Abi untuk menyodorkan kamu ke keluarga Elhaq. Tapi orang tua Ashraf maunya Chava, anak si Maryam sialan, itu!" Karin bersungut-sungut. Dari wajahnya terlihat jelas ia tidak menyukai rencana pernikahan ini. "Umi ... " cicit Chava. Giliran wanita itu sekarang yang angkat bicara. Membuat pandangan Karina beralih padanya. "Umi boleh nggak suka sama Chava. Tapi tolong jangan hina ibu Chava seperti tadi. Lagi pula, Chava nggak pernah maksa untuk dijodohkan dengan anak keluarga Elhaq. Kalau Alana mau, silahkan ganti posisi Chava." Karin dan Alana serempak menggeram, Alana bahkan sudah menyiapkan kata-kata untuk menyahut. "Kamu ---" "Mungkin udah rezekinya Chava dapat suami yang hampir sempurna." Alinna, yang merupakan saudara kembar Alanna langsung memotong percakapan. Ia bahkan terdengar membela. "Bisa aja, ini semua hadiah dari Allah atas kesabaran Chava yang selalu diam ketika di jahati kakak dan Umi." Alinna berucap santai. Gadis itu terlihat tidak perduli apa yang ia katakan bisa menimbulkan emosi dari saudara atau mungkin ibunya sendiri. "Alinna!" geram Alanna. "Nggak usah mulai. Aku suka heran, kenapa kamu sering banget bela Chava. Kakak kamu itu aku, bukan dia!" Alanna terang-terangan mengarahkan telunjuknya ke arah Chava. Di posisi duduknya, Alinna tertawa sinis. "Aku nggak bela Chava. Aku ngomong sesuai fakta, Kak. Lagi pula, kenapa kakak sama Umi suka banget jahatin Chava? Emang dia salah apa? Nggak puas apa dulu Umi udah rebut Abi dari Umi nya kak Chava?" Alinna jelas heran. Dari mereka lahir hingga dewasa, entah kenapa Karin begitu membenci Chava. Padahal Alinna tahu, kalau ibunya lah yang menjadi duri dalam daging. Harusnya, Chava yang membenci Karin dan anak keturunannya, bukan malah sebaliknya. "Diam, Alinna!" pekik Karin. "Kamu nggak berhak banyak tanya di sini." Merasa kesal, Alinna lantas bangkit dari tempat duduknya. Menarik lengan Chava untuk ikut beranjak pergi. Berlama-lama di ruang keluarga mendengarkan ocehan ibu dan saudaranya yang ada akan mengundang emosi. Di kamar Chava, Alina melihat kakaknya itu menangis. Chava memang selalu menangis bila mendengar ibunya dihina oleh siapa pun. Ia teramat menyayangi Maryam. Tidak rela bila seorang pun berkata macam-macam kepada wanita yang telah melahirkannya. "Sudahlah, Kak. Nggak perlu nangis. Umi sama Lana memang begitu. Bukannya kamu sudah janji nggak akan nangis lagi karena mereka?" Alinna menyeka air mata yang terus membasahi pipi Chava. Meraih tubuh wanita itu lalu memeluknya. "Kakak mau tau sesuatu?" bisik Alinna tepat di telinga Chava. "Aku sedikit lega kakak akan segera menikah. Paling nggak, kakak bisa keluar dari rumah yang seperti neraka ini." Chava mengurai pelukan Alinna lalu tersenyum tipis "Tapi kakak nggak tau, di rumah baru nanti hidup kakak bisa lebih baik atau sebaliknya jadi lebih buruk." "Tapi kalau dilihat-lihat calon mertua kakak baik. Apalagi Auntie Elma. Dari matanya keliatan kalau beliau tulus sayang sama kakak." Chava kembali tersenyum. Dalam hati mengaminkan ucapan Alina kalau-kalau Elma memang benar akan menyayanginya nanti. "Semoga aja calon mertua dan calon suami kakak baik seperti yang kita harapkan." "Dokter Ashraf keliatannya pria yang baik, Kak. Aku harap kakak benar-benar bahagia setelah menikah dengannya." Alinna berucap dengan tulus. "Aamiinn ... " sahut Chava. Kamu nggak tau aja, belum resmi menikah, pria itu udah kasih peringatan segala macam ke kakak. **** Ashraf baru saja menyelesaikan sholat Dzuhur di mushola rumah sakit. Melirik jam yang melingkar di tangannya, menunjukkan pukul satu siang. Ia lantas bergegas pergi menuju ruang kerja untuk mengambil kunci mobil. Teringat jelas kalau hari ini sudah memiliki janji dengan ibunya untuk melakukan fitting baju pengantin di salah satu butik milik desaigner kenamaan. "Ash, mau ke mana? Buru-buru banget?" Ashraf yang baru saja mengambil kunci mobil tanpa sengaja berpapasan dengan Alissa di lobby rumah sakit. "Aku izin keluar dulu, Cha. Mau fitting baju untuk nikah. Kayaknya setelah itu langsung pulang. Hari ini nggak ada agenda apa-apa, kan?" tanya Ashraf memastikan. Alissa menggelengkan kepalanya. "Hari ini emang kosong. Jadi nggak masalah kalau kamu mau langsung pulang." Setelah menyapa dan berpamitan dengan Alissa, Ashraf langsung memacu mobilnya membelah jalanan menuju butik yang di maksud. Tidak butuh waktu lama untuk Ashraf sampai karena lokasinya memang tidak jauh dari rumah sakit. Saat menuruni mobil, dari luar butik ia sudah bisa menangkap keberadaan ibu dan calon istrinya yang terlihat sedang memilih gaun. Karena tidak ingin membuang waktu, Ashraf langsung menghampiri. "Amma, maaf kalau Ashraf sedikit terlambat." Chava dan Elma yang tengah sibuk memilih gaun langsung menoleh ke sumber suara. "Kamu nggak telat, Ash. Amma sama Chava juga baru sampai. Sekarang kamu ke bagian ujung kanan. Sudah ada penjaga butik yang nunggu kamu." Elma mengarahkan tangan kanannya, menunjuk ke sisi kanan butik yang memang ditempati oleh deretan pakaian pria. Sementara Ashraf sibuk dengan pakaiannya, Chava pun demikian. Ia terlihat tidak begitu antusias memilih jenis gaun yang ada di album koleksi. Berbanding terbalik dengan Elma yang seperti lapar mata menunjuk semua koleksi gaun premium yang ada di sana. "Kayaknya ini bagus, ini juga, eh ini lebih lucu." tunjuk Elma ke deretan foto yang ia lihat. "Gimana kalau kamu coba aja semuanya," saran Elma. Sedangkan Chava hanya bisa mendesah pelan. Tapi tidak sedikit pun membantah apa yang calon mertuanya perintahkan. Tidak sopan, kan? Kalau menolak perintah calon mertua. "Iya, Amma. Chava coba semuanya." Dengan dibantu pelayan butik, Chava mencoba satu persatu deretan gaun yang Elma pilihkan. Dari model ballgown, brukat, lace bunga ia coba. Hampir enam puluh menit mereka sibuk dan bingung memilih gaun mana yang pantas, hingga tak berapa lama Ashraf yang sudah lebih dulu selesai datang menghampiri. "Gimana? Udah dapat gaunnya?" Ashraf bertanya pada ibunya. Elma menggeleng pelan. "Belum, Ash. Amma bingung sendiri. Semuanya bagus-bagus." Wanita paruh baya itu memang terlihat sedikit frustrasi. "Terus, Chava nya mana?" tanya Ashraf karena tidak mendapati calon istrinya ada didekat Elma. Elma mengarahkan dagunya ke ruang ganti yang ada di sisi kirinya. "Lagi di dalam. Coba gaun yang ke tujuh. Bentar lagi juga keluar." Tidak lama setelah Elma mengucapkan kalimat itu, Chava keluar dengan tubuh berbalut gaun model siluet A-line yang klasik. Ashraf sendiri membawa matanya, memerhatikan penampilan Chava dari ujung rambut hingga kaki. Elma yang berada di samping anak lelakinya turut bertanya. "Gimana, Ash? Bagus nggak, menurut kamu?" Ashraf tidak langsung menjawab. Pria itu masih memerhatikan dengan seksama. Manik cokelat miliknya menjelajah tiap sudut yang ditampilkan oleh Chava. Lantas tak berapa lama ia menggelengkan kepala berkali-kali. "Aku nggak suka," jawabnya dingin. Mungkin es di antartika kalah dingin dengan sikap yang ditampilkan oleh Ashraf. "Bagian dadanya terlalu menonjol. Kamu mau semua orang fokus ke sana?" Ia benar-benar terlihat tidak suka. Elma mengembuskan napas panjang. Bingung memilih gaun mana lagi yang cocok untuk di kenakan oleh calon menantunya. "Kayaknya banyak yang nggak cocok. Apa kita pindah butik aja?" tanya Elma. Ashraf masih bergeming. Matanya sibuk memindai ke seluruh lemari kaca yang menampilkan deretan gaun koleksi butik tersebut. "Bisa tolong ambilkan gaun putih yang tergantung di lemari nomor tiga?" pinta Ashraf kepada penjaga butik. "Itu koleksi limited edition." tiba-tiba Chava buka suara. Ashraf mengerutkan kening, lalu mengalihkan pandangan menatap Chava dengan sinis. "Emangnya kenapa kalau limited? Nggak di jual?" tanyanya heran. "Harganya pasti mahal," cicit Chava. Ia seperti anak kucing yang baru saja kena marah oleh majikan. Tatapan Ashraf beralih kepada penjaga butik. "Tolong ambilkan gaun yang saya tunjuk tadi. Biar calon istri saya langsung mencobanya." Penjaga butik itu menurut lantas dengan sigap mengeluarkan gaun putih model A-line namun ada tambahan ruffle dan tule di sisi kanan kirinya. Memberikan gaun tersebut kepada Chava untuk segera dicoba. Tidak butuh waktu lama untuk Chava mencoba, ketika ia keluar dari bilik ruang ganti, Elma adalah orang pertama yang berdecak kagum. "Masya Allah, cantiknya menantu Amma. Kenapa nggak kepikiran buat coba gaun ini aja dari tadi." Elma tidak membual. Chava memang terlihat cantik dengan gaun yang ia kenakan sekarang. Begitu pas di tubuhnya yang mungil. Sepertinya, Ashraf bisa membaca model apa yang cocok untuk wanita itu kenakan. Mendengar dirinya dipuji, sontak Chava tersipu malu. Tapi cepat-cepat ia kembali menginterupsi. "Ini pasti mahal sekali harganya. Chava liat, bahannya dari satin import." Entah kalimat ini sebenarnya ia tujukan untuk siapa. Tapi yang jelas-jelas menanggapi adalah Ashraf. "Ambil yang ini aja," perintah pria itu kepada penjaga butik. Ia benar-benar tidak memperdulikan ucapan Chava. Setelah gaun dikemas dengan baik, Ashraf langsung membayar tagihan yang berikan. Ketika semua urusan di butik sudah selesai, Elma bergegas meminta Ashraf mengantarkan calon istrinya pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka berdua habiskan dengan saling berdiam diri. Ashraf nampak sibuk berkonsentrasi dengan jalanan yang ada di hadapannya. Sedang Chava sendiri memilih untuk menyibukkan diri berselancar di dunia maya. Namun, ketika mereka hampir sampai, entah keberanian dari mana, tiba-tiba Chava mengajak Ashraf untuk berbicara. "Terima kasih atas gaunnya. Sebenarnya nggak perlu buang-buang uang untuk beli gaun yang sekali pakai seperti tadi." Masih dalam posisi mengemudi, Ashraf menyahut. "Mau harganya mahal atau murah, kenapa harus pusing?" Pria itu berbicara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Chava. "Toh aku yang bayar, bukan kamu." Singkat, padat, jelas namun begitu menohok. Membuat siapa pun yang mendengar pasti turut kesal. Pun begitu yang dirasakan Chava. Sialan! Tau gini aku nggak bakal ngajak ngomong. Punya masalah hidup apa, sih, dia? Jutek banget. "Lagi pula ... " Ashraf menoleh sekilas. "dari pada kamu banyak protes, mending nikmati aja nasibmu yang sekarang berubah jadi Cinderella." ucapan itu terlontar tepat saat mobil yang mereka kendarai berhenti dengan sempurna di depan rumah Chava. Chava menarik napas berulang kali. Mencoba untuk tidak tersulut emosi atas kalimat yang Ashraf tujukan kepadanya. Pria itu sedari tadi memang menguji kesabarannya. Sabar Chava, kamu harus sabar. Ingat! Semua ini dilakukan untuk orang yang kamu sayang. "Terima kasih atas tumpangannya. Kamu mau singgah? Ketemu Abi dan Umi?" Alih-alih menanggapi ucapan Ashraf sebelumnya, Chava memilih untuk berbasa-basi. "Nggak, lain kali aja. Udah mau magrib. Aku harus cepat pulang." Chava mengangguk kemudian bersiap untuk turun. Sebelum membuka pintu mobil, ia memutar tubuh. Lalu menyodorkan tangan kanannya ke arah Ashraf. "Kenapa lagi?" tanya pria itu heran. "Salim." "Hah?" Chava mengangguk. "Iya, salim. Kamu ngerti salim nggak, sih? Bukannya itu lumrah dilakukan pasangan suami istri?" Ashraf memasang wajah heran. "Kita kan belum suami istri." "Anggap aja latihan," seloroh Chava. Dengan perasaan sedikit canggung, Ashraf menyambut uluran tangan Chava. Membiarkan wanita itu menempelkan keningnya pada punggung tangan milik Ashraf. "Assalamualaikum," ucap Chava lalu beranjak turun dari mobil. Sementara Ashraf terdiam cukup lama. Memperhatikan wanita itu melangkah masuk hingga bayangannya hilang dari pandangan. . . (Bersambung) . Judul : Unpredictable Marriage Link : https://m.dreame.com/n****+/mHnsVzirA7OStBdjNMPJHw==.html
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN