2. Rangkaian Prosesi

1715 Kata
"Berhentilah bertanya perihal hati. Kau tak akan sanggup untuk mendengarnya. Pun, aku tak juga sanggup untuk menjawabnya." ----- Pernikahan selalu menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh pasangan yang sudah yakin dan berkomitmen terhadap pasangannya. Dalam mempersiapkan pernikahan banyak sekali hal yang harus dipikirkan terutama adat pernikahan. Secara umum, pernikahan masyarakat keturunan Arab atau dikenal dengan panggilan 'Jaamah' secara syariat tentu sama dengan masyarakat muslim lainnya. Tetapi, ternyata adat istiadat pernikahan (atau dikenal dengan istilah “zuad” di kalangan jamaah) ternyata bukanlah proses yang pendek. Ada kekhasan yang tidak dijumpai pada adat istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Seperti malam ini, contohnya. Ashraf beserta keluarga besar Elhaq tengah berkunjung ke rumah Chava untuk melaksanakan prosesi Khitbah. Prosesi Khitbah sendiri adalah tahap paling awal dari ritual pernikahan masyarakat keturunan Arab. Khitbah biasanya dilakukan dengan kunjungan keluarga inti dari calon mempelai pria ke kediaman calon mempelai wanita. Dalam prosesi khitbah, calon mempelai pria diperkenankan untuk bertemu dengan calon mempelai wanita. Khitbah akan menghasilkan keputusan apakah pihak wanita menerima pinangan dari pihak pria atau tidak. Mengenakan kemeja putih dipasangkan dengan celana bahan berwarna hitam, Ashraf terlihat begitu tampan malam ini. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, Ashraf memang selalu tampan di setiap penampilannya. Pria itu sama saja seperti Azzam, selalu pintar memilih busana apa yang pantas ia kenakan. "Bagaimana perasaanmu, Sepupu?" bisik Azzam yang duduk tepat di samping Ashraf. Ia, Alissa, dan Rayhan memang kebagian tugas untuk ikut dalam prosesi Khitbah malam ini. "Biasa aja," sahut Ashraf pelan. Pandangan mata pria itu lurus ke depan. Tidak seperti Azzam yang sedari tadi sibuk menoleh kesana kemari. "Tapi aku dengar suara detak jantungmu berbunyi nggak karuan, Ash," goda Azzam. Ia memang suka mengejek sepupunya tersebut. Alih-alih mencairkan suasana agar tidak begitu tegang. Ashraf melirik sekilas ke arah Azzam lalu berdecak pelan. "Ck, sembarangan. Aku nggak gugup, Zam. Aku cuma nggak nyaman aja terlalu lama di sini." Azzam mengernyit heran mendengar ucapan sepupunya. "Nggak nyaman gimana? Ini emang keharusan sebelum ritual pertunangan, kan? Udah, santai aja, Ash. Ini baru ritual pertama. Masih banyak lagi deretan acara yang bakal kamu lalui." Sebagai pria yang sudah menikah, Azzam tentu tau bagaimana rasanya bila berada di posisi Ashraf. Terlahir sebagai keturunan Arab membuat mereka mau tidak mau, suka tidak suka menjalankan adat istiadat yang sudah turun temurun di lakukan. Masih ada begitu banyak lagi prosesi yang akan Ashraf lalui setelah khitbah hari ini mencapai kata sepakat. "Tuh, calon istrimu datang," Azzam mencondongkan dagunya ke arah depan. Setelah menunggu kurang lebih selama dua puluh menit. Chava hadir dengan di gandeng oleh ibu dan salah seorang kerabatnya. Gadis itu kemudian mengambil posisi duduk tepat di hadapan Ashraf. "Bee ... " bisik Alissa. Wanita itu memang duduk tepat di sebelah kiri Azzam. "Hmm ... kenapa?" Azzam sengaja mendekatkan tubuhnya pada Alissa. "Itu calonnya Ashraf cantik banget nggak, sih? Kayak boneka India. Tiba-tiba aku ngerasa insecure." Azzam mengangguk sambil tersenyum. "Muka perempuan Arab bukannya gitu semua?" "Tapi ini benar-benar cantik. Rugi banget kalau Ashraf nggak beneran jatuh cinta." Di posisi duduknya, Azzam terkekeh pelan lalu berbisik. "Cantik dan cakep itu bukan ukuran orang buat jatuh cinta, Cha. Lagian, Ashraf bukan tipe pria yang suka pandang fisik." Alissa mengangguk setuju. Seingatnya, Ashraf dulu juga pernah bercerita kalau tidak pernah menentukan kriteria khusus. Hanya seiman yang menjadi syarat utama untuk menjadi pendamping hidupnya. Kalau Alissa lihat sekilas, calon Ashraf saat ini di luar ekspektasi. Sangat cantik dan terlihat selalu melempar senyum kepada siapa saja yang memandangnya. Namun, berbeda dengan si calon wanita. Alissa melihat Ashraf bersikap biasa saja. Tidak ada senyum yang terukir di bibir pria itu. Ashraf bahkan terlihat beberapa kali tertunduk seperti enggan serius mengikuti tiap ritual yang sedang dilaksanakan. Setelah berbasa basi beberapa saat, seorang pria paruh baya yang di tunjuk keluarga mempelai wanita mulai membuka acara. Menjelaskan prosesi apa saja yang harus di lakukan. Menuntun Ashraf untuk mengucap Hamdalah terlebih dahulu. Menyebut pujian kepada Allah serta shalawat untuk Rasullullah, lalu setelahnya mulai meminta izin. "Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh." Ashraf menyampaikan salam, tanda memulai prosesi khitbah. "Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarika lah wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluh. Di malam yang penuh rahmat ini, izinkan saya, Ashraf Syafiq Elhaq Alaydrus, meminta izin kepada Bapak Ahmed Ibrahim Alqadrie untuk mempersunting ananda Chava Aleea Marwa Alqadrie. Menjadikannya seorang istri. Pendamping hidup, serta calon ibu dari anak-anak kami kelak." Di seberangnya, Ahmed tersenyum lalu meraih microphone kemudian menjawab permohonan dari Ashraf. "Walaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh, ananda Ashraf, saya Ahmed Ibrahim Alqadrie selaku ayah dan wali dari ananda Chava Aleea Marwa Alqadrie memberikan izin dan restu. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat serta memberkahi pernikahan dan rumah tangga kalian nantinya." Para tamu undangan serentak mengucapkan Hamdalah sebagai bentuk puji syukur atas diterimanya lamaran Ashraf atas Chava. Lalu tiba saatnya Ashraf meminta persetujuan langsung kepada Chava. "Bismillahirahmannirahmi, Chava. Qad la akun rafiq maw iduk al-awwal, qublatuka al-ula, aw ubbuka al awwal, ulakinni uridu an akun al-ahir. Laa adri kam yabqo lie minal umri al muhim, annal umro kulluhu abqo ma'aka. Hal tatazawajani?" *(Bismillahirahmannirahmi, Chava. Aku mungkin bukan kekasih pertamamu. Ciuman pertamamu, atau cinta pertamamu. Tetapi, aku ingin menjadi yang terakhir. Aku tidak tahu sisa umurku, tapi yang penting aku bersamamu sepanjang umur. Maukah menikah denganku?) Chava mengangkat wajahnya. Untuk beberapa saat ia terkesima dengan apa yang Ashraf ucapkan. Bukan karena fasihnya pria itu berbahasa Arab. Melainkan takjub dengan arti kata-kata yang meluncur dari bibir pria itu. Berusaha memantapkan hati, Chava tersenyum. Turut meraih microphone yang disodorkan kepadanya. Kemudian menjawab. "Bismillahirahmannirahim. Sebelumnya, Chava mau mengucapkan terima kasih terlebih dahulu atas kehadirat Allah SWT, kepada Abi dan Umi serta saudara lainnya. Setelah menimbang dan memikirkan dengan baik. Malam ini, saya Chava Aleea Marwa Alqadrie memutuskan untuk menerima lamaran saudara Ashraf. Semoga Allah senantiasa meridhai pernikahan dan rumah tangga kita, nantinya." Lagi, seluruh keluarga serentak mengucap syukur. Diikuti dengan pembacaan doa kemudian musyawarah penentuan tanggal pernikahan. Sementara para tetua sibuk berunding, Ashraf dan Chava diberikan waktu untuk saling berbicara dan berkenalan secara singkat. "Jadi kamu benar-benar siap menikah denganku?" tanya Ashraf tanpa basa-basi. Kini mereka sengaja ditinggal berdua di ruang keluarga untuk saling mengenal satu sama lain. Di posisi duduknya, Chava mengangguk lalu menjawab. "Siap nggak siap. Memang ada pilihan lain?" Sekarang giliran Ashraf yang mengangguk-angguk. "Di sini, aku juga mau memastikan sesuatu ... " Ashraf menggantung kalimatnya. Menarik napas sekali kemudian berbicara lagi. "Jangan terlalu berharap banyak dalam pernikahan ini. Kita sama-sama dijodohkan. Tanpa mengenal satu sama lain, dan yang pasti tanpa perasaan cinta sedikit pun. Dan satu lagi yang harus kamu tau, aku bukan tipe orang yang gampang suka dengan seseorang. Jadi ku harap kamu paham batasan-batasan dalam pernikahan kita nanti." Untuk sesaat, Chava terdiam. Mencerna satu per satu kata yang Ashraf lontarkan. Kemudian bergumam dalam hati, sialan sekali pria ini. Ia berkata seolah-olah Chava di kemudian hari akan mengemis cinta padanya. "Tenang saja, nggak perlu melibatkan perasaan dalam pernikahan kita," sahut Chava. Air wajahnya terlihat begitu tenang. "Kalau kamu mau, kita bisa buat perjanjian pra-nikah sebelum resmi menjadi suami istri." Ashraf seperti menimbang tawaran Chava. Ada benarnya apa yang wanita itu usulkan. Setidaknya, mereka bisa tahu batasan ketika menikah nanti. Apa yang harus dan tidak mereka lakukan agar bisa menjaga privasi masing-masing. "Sepertinya menarik, akan aku pertimbangkan---" "Sepupu ... " Azzam dari arah pintu menyela perbincangan Chava dan Ashraf. Membuat mereka berdua menoleh bersamaan. "Ku rasa sudah cukup kalian berkenalan. Sudah waktunya kita pamit untuk pulang. Ashraf dan Chava kemudian beranjak dari ruang keluarga menuju ruang tamu. Kembali duduk di kursi mereka sebelumnya. "Setelah bermusyawarah bersama, maka di putuskan pernikahan Chava dan Ashraf di langsungkan dua minggu dari sekarang." Ahmed mengumumkan hasil perundingan antar kedua belah keluarga. Sebelum acara benar-benar selesai, Azzam sebagai perwakilan dari keluarga besar Elhaq, ditunjuk memberikan salam perpisahan. "Maa ajmala an tajida qolban yuhibbuka duna an yutholibuka bi ayyi syaiin siwaa an yarooka bikhoirin." (Betapa indahnya jika engkau menemui hati yang tidak pernah menuntut apa apa darimu kecuali sebatas keinginan untuk melihatmu dalam keadaan baik.) **** Ashraf dan Azzam kini tengah berada di salah toko perhiasaan mewah yang terletak di salah satu mall ternama Jakarta. Sudah hampir satu jam mereka terihat pusing memilah dan memilih cincin mana yang pantas diberikan kepada Chava untuk acara Fatihah besok malam. Fatihah sendiri adalah tradisi wajib yang harus diselenggarakan calon mempelai wanita. Acara tersebut menjadi simbolis bahwa pinangan pihak pria terhadap pihak wanita telah diterima. Penyematan cincin pun tidak boleh dilakukan oleh calon mempelai pria, melainkan oleh ibu dari pihak pria. Dan lebih uniknya, di acara ini mempelai pria tidak diperkenankan untuk ikut menghadiri acara tersebut. "Ash, kamu beli banyak-banyak gini buat apa? Mau jadi juragan berlian?" Azzam geleng-geleng kepala ketika Ashraf menunjuk satu per satu perhiasaan yang menurutnya cocok. "Nggak semuanya, Zam. Itu aku pilih yang terbaik terus kita seleksi lagi," sahut pria itu. Azzam mengangguk, kemudian turut membantu sepupunya untuk memilih. Cukup lama hingga akhirnya pilihan mereka berdua jatuh pada cincin berlian solitaire. Sebuah cincin limited edition dari Tiffany & Co yang dibanderol dengan harga 145 juta. Bukan hanya itu, Ashraf juga membeli satu set perhiasaan dari kalung, gelang, anting dengan harga tak kalah fantastis. "Gila!" Azzam kembali berseru. "Untuk ukuran perempuan yang belum dikenal, kamu udah keluarkan uang sebanyak ini? Kamu yakin?" Ashraf meringis kemudian mengangguk untuk menjawab. "Nggak tiap hari juga belinya. Lagi pula, ini nggak seberapa, Zam. Aku juga nggak mau mempermalukan keluarga besar Elhaq dengan memberikan perhiasaan yang murah." "Oke ... oke, untuk ukuran sultan sekelas kamu, emang ini nggak ada harganya, Ash. Tapi, kalau aku beliin Icha perhiasan mahal begini, yang ada di tolak mentah-mentah sama dia. Tau sendiri Icha nggak suka pakai perhiasan." "Istrimu memang perempuan paling aneh yang pernah aku temui." Setelah membayar semua perhiasaan yang dibeli. Ashraf dan Azzam bergegas pergi. Mengingat ada banyak lagi hal lain yang harus di persiapkan. . . . ==== *Translate ==== 1.Qad la akun rafiq maw iduk al-awwal : Aku mungkin bukan kekasih pertamamu. 2.Qublatuka al-ula : Ciuman pertama 3.aw ubbuka al awwal : atau cinta pertama. 4.ulakinni uridu an akun al-ahir : tetapi aku ingin menjadi yang terakhir. 5.Laa adri kam yabqo lie minal umri al muhim : aku tidak tahu sisa umurku. 6.annal umro kulluhu abqo ma'aka : tapi yang penting aku bersamamu di sepanjang umurku. 7.Hal tatazawajani : Maukah menikah denganku? . . Btw, ini tuh bukan doa atau hadist tapi seperti kata mutiara dalam bahasa arab. . Judul n****+ : Unpredictable Marriage Link : https://m.dreame.com/n****+/mHnsVzirA7OStBdjNMPJHw==.html
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN