"Pada hatimu yang masih ragu. Aku adalah kumpulan rindu yang menggebu-gebu, sebelum akhirnya hilang menjadi debu."
-----
Ashraf tertegun lama. Matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah tersenyum di dalam lembaran foto yang sedang ia pegang. Masih sulit diterima oleh akal sehatnya kalau dalam hitungan beberapa hari lagi ia akan bertunangan. Ah, tidak. Bahkan dalam kurun waktu dua puluh hari kedepan, ia harus segera menikah. Apakah ia siap? Atau adakah pilihan lain agar ia bisa mundur?
"Permisi, dokter Ashraf. Ada bapak Azzam yang sedang menunggu anda di depan." Ketukan pintu, serta panggilan salah seorang perawat menarik Ashraf untuk kembali tersadar.
"Suruh langsung masuk saja," perintah Ashraf. Pria itu kemudian bangkit. Berpindah duduk dari kursi kerja menuju sofa yang letaknya berada di sisi kanan ruangan.
"Assalamualaikum, Sepupu."
"Walaikumsalam. Ku pikir kamu nggak jadi singgah."
"Aku rasa ada hal penting yang mau kamu ceritakan. Jadi, alih-alih kembali ke kantor, selesai rapat, aku putuskan untuk segera mampir. Hitung-hitung sambil menunggu Alissa pulang kerja seperti biasa."
Seketika itu pula sudut bibir Ashraf terangkat tinggi, membentuk senyuman yang penuh arti. Saat ini, ia memang butuh teman untuk bercerita. Entah kenapa, dari dulu Ashraf memang paling suka bercerita dengan Azzam, pun sebaliknya. Mereka seperti mengerti keadaan satu sama lain.
"Kamu udah baca undanganku?"
Azzam mengangguk pelan. "Undangan pertunangan dan lamaran? Sudah aku baca. Jadi kamu benar-benar mau menikah? Sama orang yang nggak kamu kenal?"
Ashraf menarik napasnya dalam-dalam. Seperti ada beban berat yang kini tengah menyelimuti dirinya. Masih belum yakin dengan keputusan untuk menerima pertunangan yang sudah di atur kedua orang tuanya.
"Aku emang nggak kenal siapa wanita itu. Liat wajahnya aja cuma dari foto. Yang aku tau namanya Chava. Amma bilang dia anak dari sahabatnya yang udah lama meninggal."
Azzam turut terkesiap mendengar penjelasan Ashraf. Ini artinya pria itu benar-benar tidak kenal dengan calon istrinya sendiri.
"Jadi kamu nggak pernah ketemu sama sekali?"
Ashraf menggelengkan kepalanya.
"Jangankan ketemu, dengar suaranya aja nggak pernah."
"Astagfirullah, Ash." Mata Azzam refleks membola. "Terus kamu yakin mau nikah sama wanita ini? Tinggal serumah bahkan tidur seranjang sama orang yang nggak kamu kenal?" Azzam merasa tidak yakin dengan keputusan sepupunya. Takut-takut usia pernikahan mereka hanya berlangsung sekejap mata.
Di posisi duduknya, Ashraf menarik napas panjang hingga kedua bahunya terangkat.
"Memang aku bisa nolak? Bukannya keluarga Arab sudah terbiasa dengan yang namanya perjodohan? Lagi pula, wanita pilihan Amma ini punya golden ticket, Zam."
"Maksudnya?"
"Darah keturunan Arab yang ada di tubuh Chava itu masih kental. Kamu tau sendiri, Amma mau anak-anaknya menikah dengan sesama Sayyid atau Syarifah."
Azzam terkekeh sembari menggeleng tidak percaya. Seketika ia merasa beruntung. Walaupun sama-sama lahir di keluarga Arab Alawiyyin atau Ba'alawi, Umi dan Abi-nya tidak mempermasalahkan calon pendamping anak-anaknya berasal dari suku atau ras apa. Hanya keyakinan yang diwajibkan untuk seiman.
Budaya patrilineal atau menjaga alur keturunan dari pihak ayah memang sangat melekat di keluarga keturunan Arab. Itu sebabnya beberapa dari mereka masih menjaga keberlangsungan garis keturunan atau nasab. Caranya yaitu tadi, menikahkan anak-anak mereka dengan fam yang sama.
"Kamu ingat Tsania?" tanya Ashraf tiba-tiba.
Azzam mengangguk yakin. Nama wanita yang barusan disebutkan sepupunya itu masih terpatri jelas di otaknya. "Tentu saja aku ingat. Cinta matimu, kan?" Pria itu kemudian tertawa mengejek. "Memangnya kenapa dengan Tsania? Jangan bilang kamu nekat mau nikah sama wanita itu."
Ashraf menggelengkan kepala cepat-cepat. Membantah apa yang dituduhkan oleh sepupunya.
"Bukan begitu. Kamu tau sendiri, Tsania itu mendekati sempurna. Seorang dokter, berpendidikan. Dari keluarga terpandang. Tapi Amma tetap saja menolaknya dengan keras."
Tsania sendiri adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertama bagi Ashraf. Mereka pertama kali menjalin hubungan saat sama-sama berkuliah di Amerika. Tapi, karena Tsania bukan berasal dari keturunan Arab Ba'alawi, wanita itu tidak masuk kriteria nyonya Elma. Mau tidak mau, Ashraf merelakan Tsania untuk pergi dari sisinya.
"Ya Allah, padahal kamu kan Sayyid. Mau menikah dengan non Ba'alawi sekali pun, harusnya bukan masalah."
Ashraf mengangguk lalu mendesah.
"Itu dia. Aku sampai berpikir, ini akal-akalan Amma aja buat desak aku untuk segera nikah."
"Tapi bentar dulu ... " Azzam menginterupsi. "Setelah kamu lihat foto calon istrimu, kesannya bagaimana? Maksud aku, sesuai selera, nggak?"
Ashraf mengedikkan kedua bahunya.
"Kalau menurut foto sih cantik. Tapi cantik aja nggak cukup, Zam. Gimana caranya aku mau cinta sama orang yang belum pernah aku kenal. Tapi mau menolak juga nggak bisa. Amma sempat kasih pilihan, boleh menolak asal aku bisa bawa calon istri sendiri. Masalahnya, ke mana aku cari calon istri dalam waktu singkat?"
Azzam manggut-manggut mendengar cerita sepupunya. Memilih diam karena ia yakin pria di sampingnya ini masih ingin melanjutkan ucapannya.
"Maunya nikah sama Alissa. Tapi, kamu rebut, kan?"
Azzam langsung terkekeh lalu meninju pelan lengan Ashraf. Teringat beberapa waktu silam saat mereka yang tanpa sadar mencintai satu wanita yang sama. Beruntung, tidak sempat terjadi perselisihan di antara keduanya. Tuhan lebih memilih Azzam yang berhak mendampingi Alissa hingga sekarang.
"Sorry, Alissa itu emang takdir aku dari dulu. Jadi mau kamu pepet dia sekuat apa pun, kata Tuhan dia milikku, ya tetap aja dia kembalinya sama aku."
"Kalau aja kemarin kamu beneran terima ajakan Rachel untuk jadikan dia istri kedua, aku sudah punya rencana besar. Berpikir untuk menghasut Icha agar segera menceraikanmu lalu menikah denganku."
"Dasar gila! Sampai mati, aku nggak akan biarkan itu terjadi." Mereka berdua kemudian sama-sama tertawa lepas.
"Tapi, Ash ... " Azzam kembali berbicara. "Waktumu nggak banyak, cuma hitungan hari kalian bertunangan. Lalu nggak butuh waktu lama melangsungkan pernikahan. Sekali lagi aku tanya, kamu yakin?" Sebersit rasa iba menelusup hati Azzam. Tiba-tiba rasa tidak tega menghampiri dirinya.
"Aku nggak punya pilihan lain, Zam. Anggap aja ini baktiku untuk Amma. Semoga Allah kasih ganjaran surga untukku karena nggak membantah permintaan Amma."
Azzam kemudian bergerak maju, meraih tubuh Ashraf lalu memeluknya erat. Bersikap seolah-olah memberikan support agar sepupunya itu kuat dan tabah menerima keputusan yang ia yakini begitu berat untuk dijalankan. "Aku yakin kamu bisa."
****
Sudah tidak terhitung berapa kali Chava merobek kertas yang sedari tadi ia gambar. Entah kenapa, hari ini mendadak idenya buntu. Apa yang ia coret, seakan selalu salah di matanya.
Ini semua terjadi karena sebagian otaknya sedang berpikir perihal pertunangan yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia bahkan belum bisa percaya kalau dalam waktu dekat akan bertunangan bahkan menjadi istri seorang keturunan Elhaq.
"Lagi lamunin apa, sih? Gitu banget mukanya?"
Shella, sahabat sekaligus asisten Chava datang menghampiri. Ia cukup penasaran dengan apa yang sedang wanita itu pikirkan, hingga beberapa kali dipanggil tidak satu pun jawaban yang ia dengar.
"Lagi mikirin prosesi pertunangan yang tinggal hitungan hari," sahut Chava tanpa minat. Bahkan terdengar wanita itu menarik napas berulang kali.
"Kamu itu aneh, ya? Harusnya senang dong dijodohkan sama keturunan Elhaq. Apalagi kamu Arab. Pasti nanti anak-anak kalian udah kayak boneka," cerocos Shella.
Chava menatap malas ke arah asistennya.
"Kamu mau? Kamu aja gih, yang nikah sama dia. Aku bahkan nggak kenal sedikit pun siapa calon tunangan dan suamiku, Shell."
Shella mengubah posisi duduknya. Meraih laptop yang ada di meja lalu membukanya.
"Coba sebutkan nama calon suamimu?"
Chava memutar bola matanya. Berpikir sejenak, mencoba untuk mengingat-ingat siapa nama pria yang akan dijodohkan padanya.
"Bentar... aku juga lupa-lupa ingat. Kalau nggak salah, Ashraf Syafiq Elhaq."
Shella kemudian mengangguk. Membawa jari-jarinya bermain di atas keyboard. Membuka laman google lalu menuliskan nama pria itu di sana. Hingga tak berapa lama, muncul begitu banyak hasil foto dan pencarian mengenai pria yang mereka cari.
"Dokter Ashraf Syafiq Elhaq sp-BTKV, anak kedua Yazid Elhaq Alaydrus pemilik Elhaq Company." Shella membawa matanya demi menatap takjub ke arah Chava. "Ya ampun, Chava. Calon suamimu dokter spesialis, loh. Beliau ini yang punya rumah sakit Medika, loh!"
Chava mengedikkan kedua bahunya cuek.
"Mana aku tau siapa yang punya rumah sakit Medika. Lagian, aku tau keluarga Elhaq memang berpengaruh dan kaya raya. Tapi siapa-siapa anak keturunan mereka, aku nggak ngikutin sama sekali."
"Chava, coba kamu lihat." Shella memiringkan laptopnya demi menunjukkan apa yang ia lihat. "Di telisik dari fotonya aja, dokter Ashraf udah cakep banget. Gimana aslinya nanti. Harusnya kamu bersyukur."
"Bersyukur?" Chava mengulangi perkataan Shella.
"Iya ... " wanita itu mengangguk. "Kaya raya, profesinya dokter, cakep pula. Ini, sih, rezeki nomplok."
Chava mengerucutkan bibirnya sebal. Salah sasaran jika bercerita dengan Shella. Wanita itu memang selalu menganggap fisik adalah segala-galanya. Berbanding terbalik dengan Chava. Selama ini ia tidak pernah memusingkan yang namanya penampilan apalagi strata sosial. Toh baginya, mereka semua sama di hadapan Tuhan.
"Kalau suka, kamu aja yang nikah sama dia," seloroh Chava.
"Mau ... mau banget malah. Tapi, aku kan bukan keturunan Arab. Jadi nggak masuk kriteria."
Kali ini Chava tertawa. Sebenarnya, bukan maunya juga terlahir sebagai keturunan seorang Ba'alawi. Ketika orang menganggap itu sebuah anugerah. Maka Chava menganggap ini adalah masalah. Dulu, bahkan ia beberapa kali mendapatkan tindakan diskriminasi oleh beberapa teman sekolah. Mereka menganggap kecantikan yang Chava punya membahayakan posisi murid perempuan lainnya.
"Kalau kamu nggak suka atau nggak setuju, kenapa nggak nolak aja?" tanya Shella penasaran.
Chava menarik napas panjang. Seperti ada beban tersendiri yang tengah ia tanggung sekarang.
"Aku nggak punya pilihan lain, Shel. Ada alasan yang mengharuskan aku patuh sama perintah Abi. Kalau aku membantah, ada seseorang yang akan disakiti."
Sekarang giliran Shela yang menghela napas. Bertahun-tahun menjalin persahabatan, buktinya tidak semua cerita Chava bagi kepadanya. Ada sesuatu hal besar yang dari dulu sengaja wanita itu simpan dengan rapat.
"Kalau masalahnya sudah begini, aku angkat tangan. Hal yang bisa aku lakukan sekarang cuma satu, mendoakanmu. Mendoakan agar Allah senantiasa memberikan kebahagiaan untukmu."
Chava tersenyum. Berusaha meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk pasrah menerima perjodohan ini akan berbuah manis. Lagi pula, ini semua ia lakukan demi membahagiakan satu-satunya orang yang ia sayang. Jadi, tidak masalah kalau harus berkorban.
.
.
======
Keterangan :
*Arab Ba'alawi/Alawiyyin : Sebutan bagi kaum atau sekelompok orang memiliki pertalian darah secara langsung dengan Nabi Muhammad.
*Di Indonesia sendiri marga/fam Arab
terbagi menjadi 2 :
*Ba'alawi >> Alaydrus, Alatas, Alhabsyi, Shahab, Alqadrie, Aljufrie, bin Yahya dll.
*Non Ba'alawi >> Bahmid, Basalamah, Baswedan dll.
*Sayyid/Syarif/Syarifah/Sayyidah : Gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
.
Dokter Spesialis Bedah Toraks dan Kardiovaskular (sering disebut juga dokter bedah jantung) : Dokter spesialis yang menangani kasus penyakit di organ dalam rongga dadaa, terutama jantung dan paru-paru. Tugas dokter spesialis ini mulai dari melakukan diagnosis, memberikan obat-obatan, hingga penanganan dengan cara operasi.
.
(Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan. Sangat-sangat menerima koreksi. Tapi, please, gausah nulis yang jelek-jelek di kolom komentar. Kritik dan saran bisa langsung kalian sampaikan lewat inbox/dm di sss/ig @novafhe)
***
2 maret 2021.