"Doa itu romantis. Walaupun terkadang diwarnai dengan tangis. Tapi, percayalah pada akhirnya akan berakhir manis."
-----
"Astri, biasanya Ashraf suka sarapan apa aja?"
Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, Chava sudah berkutat di dapur. Walaupun sampai detik ini Ashraf masih bersikap menyebalkan, Chava sadar diri. Kewajibannya sebagai seorang istri harus tetap ia jalankan.
"Sir Ashraf itu tipe orang yang suka makan apa aja, Nyonya. Dia nggak pernah protes kalau dimasakin ini dan itu."
Chava mengangguk paham. Artinya, ia tidak perlu pusing menentukan menu apa yang harus di masak. Karena, ada juga beberapa orang yang tidak suka atau alergi makanan tertentu.
Chava sendiri, misalnya. Ia alergi apa pun makanan yang mengandung k@cang. Sekali saja termakan tanpa sengaja, saat itu juga ia pasti akan merasa sesak napas. Jadi, dari pada salah-salah, ada baiknya Chava bertanya lebih dahulu.
Ketika semua masakan sudah terhidang dengan rapi, Chava memutuskan untuk meninggalkan dapur. Dengan langkah yang besar, wanita itu berjalan menuju kamar. Bersiap diri lalu berangkat kerja.
Namun, ketika Chava sampai dan berniat untuk masuk ke kamar mandi, ia dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Seketika, wanita itu memekik kaget.
"ASHRAF!" teriaknya sembari menutup mata dengan kedua tangan. "Kenapa pintunya nggak dikunci!"
"Ngapain dikunci? Aku cuma ambil cincin kawin yang ketinggalan di wastafel." Ashraf berlalu dengan santai. Bersikap begitu biasa saja. Lagi pula, mengambil cincin yang cuma hitungan detik memang tidak perlu mengunci pintu segala, kan?
Berbeda jauh dengan Chava. Takut-takut wanita itu mengintip dari balik jari jemari yang menutupi wajahnya.
"Iya! tapi kamu shirtless gitu. Bisa nggak, sih, pake baju dulu."
Bukannya menuruti, Ashraf malah memutar badan. Melangkah maju, lantas mendekati Chava sembari melayangkan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Masih dari celah jarinya, Chava mengintip. Menyadari kalau Ashraf semakin lama semakin mendekat. Membuatnya tanpa sadar mundur teratur.
"Ka ... kamu mau ngapain, Ash?" Chava sudah tidak bisa mundur lagi. Ada dinding kamar yang menahan punggungnya untuk bergerak. Ia merasa terjebak sekarang.
Sementara Ashraf terus maju. Menghapus jarak di antara mereka berdua. Maka hal selanjutnya yang dilakukan pria itu adalah meraih dagu Chava, lalu mengangkatnya pelan.
"Singkirkan tanganmu." Suara berat itu terdengar memaksa.
Untuk sesaat, Chava merasa ngeri. Lebih-lebih ketika indra penciumannya menangkap aroma maskulin bercampur blackmusk dari sabun yang Ashraf pakai.
"Chava Aleea Marwa!" Kali ini mau tidak mau Chava menurut. Menurunkan dengan perlahan kedua tangan yang menutupi wajahnya. "Kamu ngapain tutup muka segala?" Ashraf keheranan.
"Kamu telanjang gitu."
"Aku pake celana, Chava," jawabnya. "Nih, coba kamu lihat." Ashraf dengan serta merta menarik handuk yang semula melilit di pinggangnya. Membuktikan kalau ia memang sudah memakai boxer untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
"Tapi, aku nggak biasa liat orang telanjang dadaa gitu." Chava membela diri. Mau bagaimana lagi. Seumur hidup ia memang tidak pernah melihat pria tanpa mengenakan pakaian seperti apa yang Ashraf lakukan sekarang. Matanya masih terlalu polos untuk melihat hal-hal ganjil seperti ini.
"Ya, udah," sahut Ashraf.
"Hah? Apanya yang udah?" Chava menarik wajahnya bingung.
"Ya, udah. Mulai sekarang biasakan untuk melihat suami mu tanpa pakaian. Mana tau, besok-besok kamu bisa lihat lebih dari ini."
Mata Chava membola sempurna. "ASHRAF!"
Yang di sebut namanya terlihat cuek saja. Bahkan sudah lebih dulu berbalik badan. Meninggalkan Chava yang wajahnya sudah memerah karena malu.
****
"Ingat! Nanti sore aku jemput. Malam ini Amma undang kita berdua makan malam di rumahnya."
Ashraf mengingatkan kembali Chava ketika ia mengantarkan wanita itu pergi ke butik.
"Iya ... aku nggak bakal lupa."
Setelah berpamitan, cepat-cepat Chava turun dari mobil. Buru-buru sekali ia memasuki butik. Mengambil langkah besar untuk segera sampai ke ruangannya.
"Tumben, telat." Shella yang sudah sibuk dengan setumpuk kertas-kertas gambar menegur partner kerjanya yang baru masuk ke ruangan.
"Bisa kamu tebak aku telat karena siapa."
Shella meringis.
"Ya, aku bisa maklum," jawabnya. "Eh, tapi...Suamimu nggak nyuruh kamu berhenti kerja, kan?"
"Nggak, tenang aja." Chava menyahut tanpa menoleh sedikit pun, ia begitu fokus memeriksa gambar-gambar yang sudah disusun rapi oleh Shella. "Enak aja dia nyuruh-nyuruh berhenti. Aku bangun butik ini dari nol. Mana bisa ditinggalkan begitu aja."
"Kalo jadi kamu, mending aku di rumah aja. Rugi banget punya suami kaya raya tapi masih cape-cape kerja." Shella terlihat memprovokasi Chava. Tapi yang wanita itu dapatkan hanya gelengan kepala dari lawan bicaranya.
Chava terus berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya. Membubuhkan tanda tangan di beberapa surat kontrak kerja sama yang akan ia ajukan dengan berbagai macam brand ternama. Ia memang memiliki ambisi agar baju rancangannya masuk industri fashion hingga luar negeri.
Asyik berkutat dengan pekerjaan. Dering handphone Chava mengalihkan konsentrasinya. Gegas, ia menyambar benda pintar itu dari dalam shopper bag yang ia bawa. Lalu mengangkatnya dengan segera.
"Halo Assala---"
"Mba Chava, bisa ke rumah sakit sekarang?" Nada panik terdengar begitu kentara di telinga Chava. Tanpa menyahut, wanita itu langsung meraih shopper bag miliknya. Memberi isyarat tangan pada Shella kalau ia harus pergi sekarang.
Menaiki taksi online, Chava akhirnya sampai di tempat tujuan. Sedikit berlari, ia membawa dirinya agar segera sampai di sebuah ruang rawat inap.
"Assalamualaikum, Suster. Apa yang sudah terjadi?" Masih dengan napas terengah-engah Chava mencoba untuk bertanya.
"Mba Chava mending ketemu dokter Ferdy aja. Sementara itu, biar pasien beristirahat. Baru banget berhasil di tangani setelah sebelumnya sempat mengamuk."
Chava mengangguk. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah pergi ke ruang praktik dokter Ferdy. Di sana, dokter paruh baya itu sudah menunggunya.
"Dok, maaf saya terlambat datang. Tadi sempat terjebak macet di jalan."
Dokter Ferdy mempersilahkan Chava untuk duduk.
"Nggak apa-apa mba Chava. Pasien sudah tenang. Tadi dosis obatnya saya tinggikan."
Chava menautkan kedua belah alisnya penuh tanya.
"Kali ini, apalagi yang terjadi, dok?"
Dokter Ferdy tersenyum. Mencoba mengusir rasa khawatir yang terlihat jelas di wajah Chava. Ini memang bukan kali pertama wanita itu khawatir dan cemas.
"Saya juga kurang paham, apa pemicu emosinya kali ini. Pasien sempat histeris lalu menarik selang infus hingga tangannya terluka," kata dokter Ferdy. "Tapi beruntung tim perawat akhirnya bisa menenangkan. Ya, walaupun saya tetap harus menyuntikkan obat penenang."
Chava menghela napas pelan. Ada perasaan lega karena tidak terjadi hal-hal yang membahayakan, Tapi ia tidak bisa membohongi diri sendiri. Rasa cemas itu tetap saja menyelimuti hatinya.
"Dok, apa ada kemungkinan untuk sembuh atau kembali normal?"
"Kemungkinan itu pasti ada, mba Chava. Hanya presentasenya saja yang tidak bisa dipastikan. Tapi, saya tetap optimis suatu saat pasien bisa kembali normal kejiwaannya."
Sekali lagi Chava menghela napas pelan. Mencoba untuk menguatkan hati kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Apa boleh saya menjenguk?"
Dokter Ferdy mengangguk.
"Boleh, silahkan. Tapi jangan dibangunkan. Biar pasien beristirahat."
Chava kemudian kembali ke ruang perawatan. Tapi kali ini ia tidak masuk. Memilih untuk melihat dan memerhatikan dari balik jendela kamar saja. Hingga tak berapa lama, handphone miliknya kembali berdering. Shella memintanya untuk segera kembali ke butik.
****
Tepat pukul lima sore, Jeep Rubicon hitam milik Ahsraf sudah terparkir rapi di depan butik. Alih-alih turun, pria itu memilih untuk menelpon istrinya agar segera keluar. Enak saja kalau dirinya harus bersusah payah menjemput sampai ke dalam ruangan.
Ashraf begitu beruntung. Sore ini jalanan Jakarta tidak begitu padat seperti biasa. Buktinya, ia bisa tiba di rumah kedua orang tuanya dalam kurun waktu 15 menit saja.
Turun dari mobil, sudah ada seorang wanita cantik yang menyambut kedatangan mereka. Bahkan tanpa canggung langsung mendaratkan pelukan yang begitu erat kepada Ashraf.
"Nggak usah peluk-peluk."
Chava sedikit terkejut melihat respon yang Ashraf tunjukkan. Ia bahkan bisa melihat bagaimana suaminya itu secara terang-terangan menunjukkan raut kesal.
"Duh, udah nikah aja masih ngabekkan. Ingat umur, Ash!"
Cuek, Ashraf memilih tidak memperdulikan. Ia dengan santainya masuk. Meninggalkan Chava begitu saja di belakangnya.
Sementara wanita yang sebelumnya memeluk Ashraf menghampiri. Kemudian mendaratkan pelukan tiba-tiba pada Chava.
"Selamat menempuh hidup baru. Adik ipar," ucapnya seraya mengurai pelukan. "Kenalkan, aku Airin. Kakak kandung Ashraf. Suamimu itu pasti sedang kesal karena saat pernikahan kalian kemarin, aku nggak bisa datang."
Chava mengangguk canggung. Paham apa yang menyebabkan suaminya itu kesal. Tidak ingin berlarut-larut, Chava memilih turut masuk. Sudah ada kedua orang tua Ashraf yang menunggu kehadirannya.
"Menantu kesayangan Amma," sapa Elma. Wanita itu sengaja bangkit dari duduknya. Menghampiri lalu memeluk dengan Erat. "Apa kabar sayang? Sehat?"
Chava mengulas senyum lalu mengangguk.
"Sehat, Amma."
"Alhamdulilah ... " binar bahagia terpancar di wajah Elma. "Ashraf gimana? Dia baik sama kamu? Kalau macam-macam, kasih tau Amma, ya!"
"Udah, nanti lagi ngobrolnya." Yazied, ayah Ashraf turut berbicara. "Sekarang kita sholat magrib berjamaah dulu. Setelah itu makan malam bersama."
Mereka semua serempak bangkit. Mengikuti langkah Yazid menuju musholla yang terletak di belakang rumah. Malam ini, pria berumur 60 tahun itu yang secara langsung memimpin sholat magrib berjamaah. Dilanjutkan makan malam dan berbincang bersama.
Sempat terlintas di kepala Chava bagaimana solidnya keluarga Elhaq. Hubungan antara kedua orang tua dan anak terjalin dengan hangat dan baik. Berbeda 180 derajat dengan keluarganya.
Jika memikirkan keluarga Al-Qadrie, seketika Chava meringis. Kadang, ia menyesali takdir kenapa harus lahir dari keluarga yang berantakan.
Kurang kasih sayang, kurang perhatian. Ayah kandungnya sendiri bahkan secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Menjadikan Chava sebagai alat untuk mewujudkan segala ambisi yang ia pendam. Belum lagi tingkah laku ibu dan saudari tirinya yang kadang begitu menyebalkan.
Ah, bolehkan Chava meminta untuk dilahirkan kembali?
Asyik bergulat batin sendiri, Chava tidak menyadari kalau ibu mertuanya sedari tadi memanggil.
"Chava!"
Chava hapal benar suara siapa yang memanggil namanya kali ini.
"Eh?" Wanita itu mengangkat wajahnya. Lalu mengerjapkan mata berkali-kali. "I-iya?"
"Amma panggil kamu. Lagian, lagi ngelamunin apa, sih?"
Bukan Chava, tapi malah Yazied yang menyahut.
"Ashraf ... siapa yang ajarin kamu ketus begitu?" Pria tua itu menatap tajam anak bungsunya.
Karena pada hakikatnya, keluarga Elhaq tidak pernah membenarkan seorang pria bersikap kasar lebih-lebih kepada seorang wanita. Dari kecil, mereka sudah diajarkan untuk selalu mengalah, melindungi bahkan menghormati tanpa terkecuali.
"Astagfirullahhaladzim." Ashraf beristighfar. "Nggak ketus, Bi. Ini tuh biasa aja." Pria itu berusaha membela diri. "Ya, kan, Sayang?" Bahkan tiba-tiba merangkul dan bersikap manis kepada Chava.
Tentu saja Chava hanya bisa bengong. Kalau Ashraf kira sikapnya itu bisa mengelabui Yazied, pria itu salah besar. Buktinya, setelah makan malam, ia langsung mengajak Ashraf untuk masuk ke ruang kerjanya.
"Ada yang mau Abi sampaikan?"
"Duduk." perintah Yazied. "Abi nggak suka kalau kamu kasar sama perempuan. Abi nggak pernah ngajarin kamu bersikap seperti tadi." Raut kecewa jelas-jelas Yazied tunjukkan saat ini.
Ashraf tertunduk. Mana bisa ia membela diri apalagi melawan. Di sini, memang dirinya yang salah. Ah, memang sudah salah dari awal. Terlalu ketus bahkan bersikap menyebalkan kepada Chava.
"Bi, bukan maksud Ashraf bersikap kasar seperti tadi. Ashraf cuma ---"
"Ash!" Yazied menyela. "Abi tanya, kamu rela kalau Airin diperlakukan tidak baik oleh suaminya? Atau kamu rela, kalau Abi berbuat kasar dengan Amma?"
Hening.
Ashraf sekali lagi tidak bisa menjawab. Ia seperti mendapatkan tamparan keras malam ini.
"Jadilah imam yang bertanggung jawab, Ash. Sebaik-baiknya suami, adalah yang bersikap baik pada istrinya." Yazied masih terus memberondong Ashraf dengan kalimat yang menohok hati. "Setelah ini, Abi nggak mau lagi liat kamu memperlakukan Chava dengan kasar. Apa pun alasannya."
"Iya, Bi."
Sepulang dari rumah kedua orang tuanya. Ashraf tiba-tiba membisu. Sepatah kata pun tidak keluar dari bibirnya. Pria itu mendadak puasa bicara. Bahkan sampai mereka naik ke atas tempat tidur.
Chava sendiri tidak ambil pusing. Justru ia merasa senang karena tidak perlu sakit hati mendengarkan ocehan Ashraf yang sering membuatnya naik darah.
****
Chava terjaga dari tidurnya ketika waktu menunjukkan pukul tiga subuh. Pelan-pelan ia beringsut turun dari ranjang. Memutar tuas pintu kamar mandi bermaksud untuk mengambil air wudhu.
Setelah menyelesaikam sholat tahajud. Dengan mengendap-endap, wanita itu keluar kamar. Membawa kakinya untuk segera pergi ke dapur.
Membuka lemari pendingin, mencoba untuk menimbang, menu apa yang akan ia makan untuk sahur subuh ini. Sebenarnya, untuk urusan sahur, Chava biasanya cukup minum s**u. Tapi entah kenapa subuh ini ia tiba-tiba ingin makan sesuatu.
Setelah berpikir panjang, Chava memutuskan untuk memasak capcai dan udang goreng tepung. Beruntungnya semua bahan tersedia dengan lengkap di dapur Ashraf.
Satu persatu bahan masakan Chava racik dan olah. Seluruh konsentrasinya terpusat pada masakan yang ada di hadapannya. Sampai-sampai ia tidak menyadari kalau sedari tadi ada seseorang yang memerhatikan. Bahkan mulai berjalan mendekati.
"Masak apa?" Bisik Ashraf tepat di telinga Chava.
Tentu saja wanita itu terkejut bukan main. Kalau Ashraf tidak sigap, mungkin kepalanya sudah terkena pukulan dari spatula yang Chava genggam. Tapi sebenarnya, pria itu memang pantas mendapatkan pelajaran.
"Ash! Kenapa sih suka banget ngagetin." Chava melayangkan protes. Tapi tak berapa lama, ia mengernyit heran. "Kamu ngapain subuh-subuh main ke dapur?"
"Mau sahur. Aku juga mau puasa hari ini."
Ashraf kemudian meraih sendok yang tersusun rapi di drawer partition. Mengarahkan tangannya untuk mencicipi rasa capcai yang sedari tadi sedang Chava masak.
"Kurang gurih, nih." Ashraf melayangkan protes.
"Masa, sih?"
Ashraf mengangguk. "Iya, beneran." Wajahnya benar-benar serius.
"Kalau manisnya gimana?" Chava malah meminta pendapat. "Apa perlu aku tambahin gula?"
Ashraf menggelengkan kepalanya.
"Nggak perlu." Pria itu diam sejenak. "Kan manisnya udah di kamu semua."
"Hah? Kamu ngomong apa?" Chava yakin kalau telinganya tidak salah dengar barusan.
"Nggak ada siaran ulang."
Seperti yang sudah-sudah Ashraf berlalu begitu saja. Membawa kakinya untuk pergi menuju meja makan.
Dasar cowok aneh!
.
,
(bersambung)
.
.
.
=== CARA MEMBELI KOIN UNTUK MEMBUKA BAB SELANJUTNYA ===
Cara membeli koin via aplikasi DANA.
Kenapa saya pilih DANA? Karena aplikasi DANA jarang sekali mengalami eror/gangguan. (Tidak seperti melakukan pembelian lewat pulsa/ovo/gopay yang sering mengalami eror hingga koin tidak masuk ke dompet pembaca)
.
1. Login Aplikasi (WAJIB)
2. Klik tanda TOKO
3. Pilih jumlah koin yang ingin di beli
4. Pilih motede p********n. (Karena ingin membeli pakai DANA , pilih 'DANA' - Jangan lupa, pastikan APLIKASI DANA ANDA SUDAH TERISI SALDO SEBELUMNYA (tidak kosong)
5. Tekan bayar
6. Tekan lanjut
7. Masukkan nomor handphone/nomor Dana anda
8. Klik lanjutkan
9. Masukkan kode pin DANA
10. Masukkan kode yang di kirim via SMS
11. Tunggu beberapa detik sampai tulisan layar di handphone berubah 'BERHASIL'
12. Cek dompet yang ada di aplikasi Dreame/Innovel. Jika koin sudah bertambah, bisa langsung di gunakan.
.
Selamat Mencoba.
Semoga informasi yang saya berikan bermanfaat.
.
INGATTTTT, KALAU PEMBELIAN KOIN GAGAL, BISA LAKUKAN PELAPORAN KE CS MERCHANT (APLIKASI DANA) BUKAN PROTES KE PENULIS YAHH. KARENA YANG JUALAN KOIN ITU PIHAK APLIKASI BUKAN PENULIS.
.
THANKISS PERHATIANNYA