Part 6

1706 Kata
Nadira melangkah cepat meninggalkan Bryan yang masih terus menatap punggungnya, hingga hilang di balik dinding. Tak ada yang diinginkannya selain cepat tiba di kamar, menumpahkan air mata. Nadira menghempas ke kasur, telungkup memeluk bantal. Air mata kembali merembes. Diliriknya jam dinding, pukul satu siang. Pelan, ia menyeka air mata, kemudian berwudhu. Saat membasuh wajah, ada kesejukan yang terasa damai di hati, sesaat kemudian Nadira menunaikan kewajibannya sebagai hamba. Ayat ayat suci melantun berbisik dari bibirnya. Saat hati begitu perih, tak ada tempat mengadu selain kepadaNya. Di luar, Bryan termenung di dalam mobil. Ia masih enggan beranjak dari sana. Ada keingin tahuan yang teramat sangat tentang Nadira dan Lendra. Bryan menghubungi Lendra, berharap kali ini ada jawaban. "Halo, ...." sahut Lendra disebrang sana. "Hem, tadi pagi aku menghubungimu, kenapa tidak diangkat?" "Sory Bry, aku ketiduran, semalaman begadang." suara Lendra terdengar parau. "Aku ingin bertemu!" "Oke, Aku sedang di kafe, aku share lokasi." Bergegas Bryan melaju mobilnya menemui Lendra. Seribu pertanyaan sudah dia siapkan. "Lendra! Aku tidak suka diacuhkan! Kalau kamu masih mau memegang proyek ini, tunjukkan loyalitasmu!" "Bry, kumohon mengertilah, aku sedang ada masalah. Kau sudah lihat, betapa loyalnya aku pada perusahaan. Sebelumnya aku tidak pernah beini." "Oke, ini yang pertama dan terakhir! Aku tidak mau terulang lagi." Lendra meremas rambut, menunduk. Wajahnya kusut seperti hatinya yang kacau balau. Otaknya tak bisa berhenti memikirkan Nadira. Entah dimana harus menyembunyikan wajahnya saat bertemu Nadira, besok. Bryan memandang tajam, menelusuri wajah Lendra. Pertanyaan yang sudah disiapkan, urung ia lontarkan. Rasanya ini bukan saat yang tepat. Saat purnama menampakkan wajahnya, Lendra memutuskan kembali ke rumah, besok ia harus kembali bekerja. Peringatan Bryan, cukup membuatnya berpikir sekali lagi untuk mangkir atau terlambat masuk kantor. Dena memyambut di depan pintu, bersiap menyapa. Tapi apa yang terjadi, Suaminya itu, acuh saja melewatinya. Dena mematung dengan tangan menggantung. Pelan, ditolehnya lelaki itu, lalu berjalan mengikuti dari belakang. "Mas, ..." Hening. Dena tidak menyerah, walau beberapa kali ia memanggil, tetap saja di acuhkan Lendra. Dena terbelalak saat Lendra memindahkan baju dan barang pribadinya ke kamar tamu. "Mas apa apaan ini? Jangan seperti anak kecil! Kita bisa bicara baik-baik, selesaikan masalah yang ada." Lendra diam seribu bahasa, wajahnya sangat tidak bersahabat. "Mulai malam ini, kita pisah kamar!" ujar Lendra mengangkat jari telunjuknya menunjuk hidung Dena. Dena tergagap. Tidak percaya dengan apa yang dilakukan Lendra. Begitu cepatkah cinta itu pudar? Kemana hilangnya tawa dan canda selama ini? Tidak berbekaskah cium dan pelukan hangat yang selama ini dinikmati bersama? Dena terduduk seorang diri ditepi kasur. Air mata perlahan mengalir di pipi, diiringi isak tangis. *** Nadira buru-buru menepikan mobilnya mendengar suara letusan, stir oleng. Seprtinya sesuatu telah memecahkan ban mobil. Buru-buru ia keluar untuk mengecek. Benar saja, ban belakang sebelah kiri kempes. Bagaimana ini? Dia harus apa? Nadira menghubungi bengkel langganannya, tapi percuma, tidak ada yang menjawab, mungkin belum buka. Saat mulai panik, sebuah mobil putih menepi, dari dalam keluar sosok yang paling dia hindari, Lendra. "Nadira .... Kenapa mobil kamu?" Sesaat Nadira buang muka, sebel. Tapi Lendra tak peduli, ia mencari tahu sendiri. "Bannya kempes? ... Sini, biar aku bantu." Tanpa menunggu persetujuan Nadira, Lendra menuju mobilnya, lalu mengeluarkan dongkrak dan perkakas lain. "Lendra! Tidak usah repot-repot. Aku sudah menghubingi montirku." "Ini masih terlalu pagi, kamu akan menunggu lama." Lendra menyingsing lengan bajunya, kemudian mulai bekerja. Tak dihiraukannya Nadira yang keberatan menerima jasanya. Lelaki itu berjongkok, mendongkrak mobil, lalu sigap mempreteli satu demi satu ring ban. Kemudian mengganti ban yang kempes dengan ban cadangan. Punggungnya basah. Aroma farfum yang bercampur keringat memberi aroma khas tersendiri. "Selesai..." ujar Lendra sembari menenteng dongkrak dan peralatan miliknya. Nadira melirik ban mobilnya, walau masih cemberut tapi ada rasa senang di hati. Jika Lendra tidak membantu mungkin ia akan memanggil mobil derek. "Tanks ...." ujarmya sedikit membungkuk. "Santai saja, yuk, jalan!" jawab Lendra tersenyum. Nadira mengangguk, kemudian masuk ke mobil. Ia meninggalkan Lendra yang masih sibuk merapikan peralatannya. Lendra tersenyum, melepas mobil Nadira. Ada kepuasan luar biasa di hati, berkesempatan memberi bantuan pada gadis yang telah ia sia-siakan. Sesampainya di Kantor, Nadira buru-buru menuju ruangan. Matanya membulat mendapati Bryan sudah menunggu di sana. "Assalammualaikum ...." sapa Nadira melirik Bryan sesaat. "Waalaikum salam, Hai, baru sampai?" "He em,..." Nadira mengangung dan melempar senyum tipis, lalu meletakkan laptop dan tas tangannya di meja, kemudian melirik jam tangan. Ia terlambat satu jam. Nadira diam, haruskah ia memberitahu pecah ban yang dialaminya? Pasti Lendra juga terlambat tiba di kantor, dan ia tidak ingin Lendra juga mendapat teguran. "Sory Pak Bryan, saya terlambat lagi. Tadi ban mobil saya pecah." Bryan terkesiap, matanya melirik tajam. "Terus, sekarang mobil kamu di mana? Kenapa tidak menghubungiku?" Nadira tertunduk sesaat, sekedar membuang gundah, kemudian menarik napas dalam. "Tadi kebetulan Pak Lendra lewat, dia yang membantu mengganti ban." Mata Bryan membulat, kemudian tatapan itu berubah teduh. "Emm, oh syukurlah ... Kamu sudah sarapan? Ini ada titipan dari mama, buat kamu." Sesaat Nadira tertegun memandang goodie bag hijau didepannya. Sedetik kemudian melirik Bryan. Bryan tersenyum, dan mengangguk. "Mama titip salam," ujarnya sambil lalu, meninggalkan ruangan Nadira. "Pak Bryan, ..." panggil Nadira. Bryan menoleh, "Tanks...." ujar Nadira sendu, senyum manis terukir di wajahnya. Bryan mengangguk, menaikkan alis memberi senyuman untuk Nadira, lalu kembali ke ruangannya. Nadira memandangi goodie bag di depannya. Salad buah dengan irisan stroberi membentuk hati, membuat Nadira tersipu. "Benarkah ini buatan mamanya?" tanyanya dalam hati. "Tok... tok...tok" Nadira terkesiap mendengar suara pintu diketuk, buru-buru ia menutup kembali kotak makanan itu. Tubuhnya sedikit menegang melihat Lendra muncul dari balik pintu. "Nadira, aku cuma ingin mengingatkan, nanti jam sepuluh, kita kembali ke proyek, hari ini ada pertemuan dengan camat dan beberapa warga sekitar." "Oke, nanti saya ke bawah." Lendra menatap Nadira lekat, debaran jantung yang dulu pernah ia rasakan, kembali muncul. "Harusnya dia yang jadi istriku." gumamnya dalam hati. Nadira risih ditatap seperti itu oleh Lendra, wajahnyan berubah galak. "Masih ada lagi yang ingin Anda katakan?" "Itu saja." Lendra tersenyum sembari menggeleng. "Bisa tinggalkan saya? Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan!" Lendra memasukkan dua tangamnya ke saku celana, sesaat ia mematung, seperti ada sesuatu yang ingin ia utarakan. Diliriknya Nadira sayu, lalu gontai melangkah pergi. Tubuh Nadira melemas, bersandar ke kursi. Sikap Lendra yang terlihat simpati, membuatnya tidak nyaman. Ia berharap, semoga rumah tangga Lendra dan Dena, baik-baik saja. Nadira memulai pekerjaannya ditemani salad pemberian Bryan. Tepat pukul sepuluh, ia turun ke lobi, di sana Lendra sudah menunggu. Nadira segera Naik ke kursi belakang. Baru saja mobil akan bergerak, Bryan datang menghampiri, lalu duduk di kursi depan. "Bryan, kami mau ke proyek,... Ada pertemuan yang harus dihadiri." "Ikut, sudah lama aku tidak meninjau lapangan." jawab Bryan sembari memasang seatbelt. Wajah Lendra mendadak bete. Padahal ia berencana mulai mendekati Nadira. Nadira terkesiap melihat kehadiran Bryan, wajahnya berseri. Mungkinkah Bryan ikut karena ingin melindungi, seperti saat Dave mendekatinya? Nadira menunduk memyembunyikan rona pipi. Jantungnya berdegup tak beraturan. Lendra Melaju mobil meninggalkan kantor. Sesekali matanya melirik Nadira dari spion tengah. Mengetahui hal itu, Gadis itu bergeser, kini posisi duduknya tepat di belakabg Bryan. Lendra semakin bete, wajahnya cemberut. Bryan terlihat santai. Ia hanya berdehem setiap Lendra tidak fokus menyetir. Tapi deheman itu sudah cukup memberi sentilan pada Lendra agar konsentrasi melihat ke depan. "Ohya Lend, gimana, jadi kamu dan Dena konsultasi ke dokter kandungan?" tanya Bryan memecah kesunyian. Sontak saja Lendra terbelalak, tidak menduga pertanyaan Bryan, emosinya tersulut, seketika kepalanya berdenyut. Untuk apa lelaki sok manis ini menanyakan yang bukan urusannya? Menjengkelkan! Wajah Lendra memerah. Andai bisa, pasti sudah dihajarnya lelaki itu. Kening Bryan mengkerut melihat Lendra tampak tersinggung. Apa yang salah, bukankah dia sendiri yang cerita kalau ingin mengajak Dena ke dokter kandungan? Bryan melirik Nadira dari spion disampingnya, wajah gadis itu ketat. Ada apa, sih, dengan dua orang ini? "Apa pertanyaanku salah? Bukannya sebulan lalu kau yang cerita, kalau ingin membawa Dana konsultasi ke dokter?" tanyanya lagi, Menurutnya pertanyaan itu biasa saja. Apa yang salah? Kenapa keberatan menjawab? Apa karena ada Nadira? Bukankah Nadira sudah tahu ia sudah beristri? Apa jangan-jangan, ia ingin selingkuh? Segudang pertanyaan berputar di kepalanya. Nanti, saat tidak ada Nadira, pasti akan ia tanya. Setelah dua jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di tujuan. Ketiganya berjalan beriringan, tentu saja Nadira mengambil posisi disamping Bryan. Ketiganya disambut hangat oleh beberapa petugas penyelenggara, Begitupun Pak Camat, mereka mengobrol santai sebelum bertemu warga yang lahannya ingin dibeli oleh Perusahaan mereka. Pertemuan berlangsung damai, Bryan dan Nadira hanya duduk melihat Lendra presentasi didepan warga. Warga menyambut hangat rencana proyek mereka, berharap bisa mendongkrak perekonomian penduduk sekitar. Setelah berpamitan, ketiganya kembali ke kantor pusat, di perjalanan, Bryan mengajak istirahat, sekalian mencari cemilan khas daerah setempat. Mereka berhenti di sebuah warung pinggir jalan yang menjajakan berbagai jajanan. Nadira sengaja duduk belakangan, menunggu dua laki-laki itu mengambil posisi. Nadira mendekat ke samping Bryan, lalu duduk dengan manis. Bryan meliriknya, Nadira hanya menunduk. Bryan berganti melirik Lendra, Lelaki itu, sedang gundah menatap Nadira. Kembali Bryan berdehem. Ia tidak suka ada lelaki lain menatap Nadira seperti itu, menyakitkan. Ia menggeser duduknya merapat ke Nadira, gadis itu diam saja, bahkan ia senang. Nadira sedikit membungkuk. Sempurna, tubuh Bryan menghalangi pandangan Lendra. Nadira menarik napas lega, Bryan membantunya bersembunyi. Wajah Lendra bertekuk. Kesal, ia sangat kesal pada Bryan, apa hak lelaki itu mencampuri urusan pribadinya? Menjadi CEO, bukan berarti berhak atas hidup anak buahnya. Tak lama menungu, bakso ikan dan emping tersaji, aromanya menggugah selera. Wajah ketiga orang itu, berubah semeringah. Bryan menuangkan cabe ke mangkuk Nadira, lalu menawarkan kecep, saat Nadira menganguk, Bryan menuangnya. Nadira tersanjung, ada kepuasan dihatinya mendapat perlakuan istimewa dari Bryan, di depan Lendra. Apalagi saat Bryan menggoda menawarkan jasa. "Aku suapin, ya?" ujar Bryan sembari membelah bakso menjadi dua, sepotong ia suapkan ke mulut Nadira. Awalnya Nadira menolak, melihat raut Lendra memerah, ia membuka mulut. Sigap, Bryan memasukkan satu suap bakso. Nadira mengulum senyum, saat mata keduanya berlaga, ada rasa yang membuncah di d**a. Mata Nadira berkabut. Wajah Bryan menegang, melihat Nadira menahan tangis. Ia panik, berusaha menenangkan Nadira. Tapi semakin ia menunjukkan simpati, semakin berat napas gadis itu. Bryan milih diam, membiarkan Nadira menetralisir hatinya. Lendra menunduk, ia yakin, air mata itu untuknya. Ingin ia bersimpuh di kaki gadis berbaju biru itu, tapi tak mungkin, ada Bryan di sampingnya. Statusnya saat ini sangat menyulitkan mendekati Nadira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN