Angin malam berhembus lembut membelai wajah-wajah lelah. Menggoyahkan jiwa-jiwa tangguh untuk segera menyerah, pasrah dalam lelap. Hari berganti, bergerak meninggalkan jejak dan tak pernah kembali untuk mengulang. Dan, hari ini adalah bagian dari perjalanan yang kemarin.
Lendra memutuskan mengajukan perceraian pada pengadilan agama. Dena hanya bisa pasrah menerima keputusan suaminya. Walau bagaimanapun, ia telah membohogi lelaki itu. Tidak ada gunanya mempertahankan rumahtangganya, suaminya sudah tidak mau tidur sekamar. Jangankan menyentuh, makan bersama, atau sekadar bertegur sapa saja, Lendra sudah tidak mau. Lagi pula, ia ingin memberi kesempatan pada Lendra dan Nadira untuk merajut cinta kembali, jika rasa itu memang masih ada.
Dena mengemasi baju dan barang pribadinya, ia akan kembali ke rumah orangtuanya. Sejak menikah dengan Lendra dua tahun lalu, rumah itu kosong. Kedua orang tuanya sudah tiada sejak ia lulus SMA, untunglah ada peninggalan warisan yang cukup. Di sini, di rumah ini, ia ingin memulai hidup baru, menjalankan cita-citanya, dulu. Menjadi ibu bagi anak-anak yatim.
Di kantor, Lendra gelisah. Kedekatan Nadira dengan Bryan membuatnya cemburu. Menjelang makan siang, buru-buru, ia menemui sang mantan. Kali ini ia tidak ingin di dahului oleh Bryan. Diketuknya pintu ruangan Konsultan itu, kemudian masuk.
"Hai Nadira, ... Masih sibuk? Aku traktir makan siang, yuk!"
Nadira mendongak sembari mengernyitkan dahi. Sejak kapan lelaki itu mulai berani mendekat? Apa dia pikir wanita di depannya tidak punya uang untuk beli makan siang?
"Terimakasih, duluan saja, saya masih sibuk."
"Tak masalah, akan kutunggu."
Lendra duduk di depan meja Nadira, matanya liar menatap jemari yang lincah menari di atas keyboard.
Nadira berhenti, ia terganggu dengan kehadiran lelaki itu. Wajahnya kesal. Tanpa bicara, Nadira menutup laptopnya.
"Ajak saja istrimu, itu lebih bermartabat!" senggak Nadira sembari beranjak.
"Nadira! Tunggu! ... Aku dan Dena akan segera bercerai!"
Lendra menarik lengan gadis di depannya. Matanya sayu seolah memohon belas kasihan.
Sotak Nadira menepis, matanya membulat, kemudian berbalik.
"Plak!"
Jemari Nadira membekas di pipi lelaki bertubuh sekel itu.
"Jangan pernah berani menyentuhku!" telunjuk gadis itu teracung di hidung Lendra. Kemudian pergi.
Lendra Memegangi pipinya, perih. Sesaat ia menarik napas dalam, otaknya masih terus berpikir mencari cara mendekati konsultan itu.
Nadira berjalan cepat, menuju lift. Jantungnya berdentuman tak berirama. Lendra menggugat cerai Dena? Lalu bagaimana dengan Dena, Sedang apa dia sekarang?
Nadira keluar dari lift, ia tidak menyadari kehadiran Bryan, lelaki itu, sudah menunggu di lobi.
"Hai," sapanya manis.
Nadira menoleh, wajahnya yang tegang, seketika melemas. Ia menarik napas dalam.
"Hah, Pak Bryan, bikin kaget saja!"
"Ahahaa, sory, ... Mau makan siang, kan? Bareng, ya?"
Nadira mengangguk tanda setuju, seutas senyum terukir dipipinya. Bryan mengajaknya makan siang di sebuah kafe yang cukup romantis. Lampu temaram dan alunan musik slow, membuat pengunjung betah berlama lama di sana.
"Emm, boleh aku tanya sesuatu?"
Bryan melirik Nadira yang sibuk berbalas w******p dengan Dena.
Sesaat Nadira menoleh, "Emm, tanya apa?"
Bryan merapikan duduknya, mengatur napas, mencari kalimat pembuka yang tepat, agar tidak menyinggung gadis di sampingnya.
"Dua tahun lalu, aku pernah akan menghadiri pernikahan Lendra di Bandung, tapi sampai di sana, pernikahan dibatalkan ... Aku tidak terlalu memperhatikan siapa nama calon pengantin wanitanya ...."
Bryan diam, ia ragu melanjutkan kalimatnya. Ditolehnya Nadira, ia yakin wanita itulah yang gagal menikah dengan Lendra.
Nadira diam, wajahnya sedikit mengkerut. Ia tidak suka membahas tema itu, menyebalkan.
"Hari ini aku tahu, ternyata ada laki-laki yang lebih bodoh dari aku. Ahaha ...."
Kening Nadira berkerut mencoba mencerna ucapan Bryan, tapi tak mampu menebak jawabannya. Pelan, ia menoleh. Sesaat mata keduanya saling beradu.
Bryan mengulum senyum menahan tawa, sedangkan Nadira mengkerutkan dahi, bingung. Tapi masabodo, ia tidak akan bersusah payah mencari jawabannya, perduli setan! Jika itu menyangkut peristiwa dua tahun lalu.
"Ohya, Pak Bryan, besok saya izin sehari, ayah dirawat di rumah sakit, saya ingin melihatnya."
"Owh, oke, tidak masalah ... Sakit apa?"
"Dokter bilang gagal ginjal kronis. Saya juga belum tahu kondisinya sekarang. Tapi sudah beberapa bulan ini, ayah sering cuci darah ... Bunda bilang, ada hal penting yang ingin ia bicarakan."
"Owh, oke, silakan. Kantor juga sedang tidak sibuk."
"Makasih pak Bryan."
"Mas, atau Bryan saja, plisss!"
Nadira tertunduk, wajahnya merona.
"Terimakasih Mas Bryan."
"Sama-sama." Bryan mengangkat alisnya saat Nadira milirik.
Keduanya kemudian menyantap makan siang, sambil ngobrol santai.
Tanpa mereka sadari sepasang mata menatap lekat. Lelaki berkemeja putih itu, meminta seorang pelayan memberikan setangkai mawar merah pada Nadira. Kemudian pergi menghilang.
Baru saja, Bryan dan Nadira bersiap pergi, seorang pelayan, memberikan setangkai mawar pada Nadira.
"Untuk saya? Dari siapa, Mbak?"
"Dari ...." kalimat pramusaji itu terhenti, saat ingin menunjukkan lelaki yang menyuruhnya sudah tidak ada di sana.
"Maaf Mbak, orangnya sudah pergi."
"Owh, oke, nggak papa. Makasih, ya. Kalau begitu buat Mbaknya, saja."
Nadira mengembalikan bunga itu, kemudian berlalu. Bryan tersenyum puas, ia berharap pengirim bunga itu, melihatnya.
****
Bryan mondar mandir di ruangan, dinginnya ruangan tak mampu menyejukkan tubuh. Keringat merembes di keningnya. Bagaimana bisa hari ini Lendra izin pulang lebih awal karena harus ke Bandung. Ada urusan penting? Urusan apa? Kenapa bisa bertetapan waktunya sama dengan Nadira?
Bryan tak ingin kecolongan, bergegas ia menyelesaikan urusannya di kantor, kemudian segera melaju mobil melintasi tol Cipularang, menyusul Nadira dan Lendra.
Di rumah sakit, Nadira tertegun menatap sang ayah. Tawaran donor ginjal dari ayah Lendra membuatnya dilema. Walau tak ada syarat apapun yang diajukan keluarga itu, tetap saja menjadi beban moril untuknya. Tapi kesehatan ayahnya yang semakin menurun membuatnya gusar.
"Nadira, Bunda tahu, ini berat buat kamu, tapi ayahmu butuh ginjal itu untuk tetap hidup, Nak! ... Lagi pula, Om Kus, melakukan ini sebagai permintaan maafnya pada keluarga kita. Jadi bunda rasa tidak apa-apa kita terima. Agar keluarga besar kita kembali bersatu ... Sejak batalnya pernikahan kamu dan Lendra, keluarga kita jadi bersitegang. Semoga dengan Om Kus mendonorkan ginjalnya, hubungan keluarga kita bisa kembali seperti dulu."
Nadira menyimak kata demi kata yang diucapkan Bundanya. Apa yang dikatakan bundanya benar, tapi mengingat sikap Lendra yang berusaha mendekatinya kembali, ia jadi was-was.
Ayahnya menatap sendu, ia tahu kegundahan hati putrinya. Tapi kondisi tubuh yang semakin lemah, membuatnya berharap Nadira mengerti.
Di ruang adminisrasi, Lendra menandatangani suarat persetujuan donor ginjal ayahnya. Walau awalnya keberatan tapi karena Kuswoyo memaksa, ia pasrah. Tiga hari lagi akan dilakukan transplantasi ginjal.
Lendra duduk termenung di kursi tunggu. Andaikan tidak kabur saat itu, mungkin semua ini tak perlu terjadi.
Nadira keluar dari ruangan ayahnya. Matanya tertuju pada Lendra, sesaat mata keduanya saling bertaut. Wajah-wajah sesal tergurat nyata. Nadira duduk di samping lelaki itu, memandang kembang yang menari tertiup angin.
Keduanya terkesiap saat melihat Bryan sudah berdiri tepat di depan mereka. Reflek, Nadira berdiri, entah mengapa ia takut Bryan cemburu.
"Mas Bryan? Kok ada di sini?"
"Aku ingin melihat kondisi ayah kamu? Apa kata dokter?"
"Eehh, ..." Nadira tergagap, tak tahu harus bilang apa. Tangannya menari seolah ingin menjelaskan sesuatu. Wajahnya tampak gundah.
Lendra berdiri, membusung menatap Bryan.
Bryan balas melotot, mencari tahu apa yang terjadi.
"Masuk, Mas Bryan." ujar Nadira lembut.
Lendra bringsud masuk mendahului Bryan, ia merasa lebih berhak di perlakukan lembut sepertu itu.
Bryan mengernyitkan dahi, walau tidak suka pada sikap teman SMA nya itu, ia berusaha menampakkan wajah ramah, setidaknya di depan orang tua Nadira.
"Bunda, ini Mas Bryan, salah satu klien Dira saat ini."
Ramah, Bryan mengangguk, mengatupkan tangan. Wanita paruh baya itu tersenyum. Ada kagum dihatinya, tapi tidak berlangsung lama, moodnya rusak saat melihat Lendra mendekat dan mengulurkan tangan padanya.
Ada kebencian terselubung di hati. Lelaki di depannya itulah awal dari semua bencana di keluarganya. Sejak kejadian dua tahun lalu, tekanan darah suaminya naik. Bahkan kini sudah merusak ginjal. Tapi tak mungkin ia memasang wajah masam, karena sebentar lagi ginjal Kuswoyo, yang akan menolong suaminya.
Dengan senyum terpaksa, ia menyambut tangan Lendra tanpa bersentuhan.
Nadira mendekati ayahnya, kemudian mengenalkan Bryan. Didit tersenyum haru. Ini lelaki pertama yang dikenalkan Nadira setelah kejadian dua tahun silam.
"Sabtu ini, Ayah akan cangkok ginjal, Mas." ujar Nadira pada Bryan.
"Owh, sudah ada pendonornya?"
Nadira diam, wajahnya sedih. Pelan ia mengangguk.
"siapa?"
"Papanya Lendra." jawab Nadira sembari membelakangi ayahnya. Ia tidak ingin lelaki paruh baya itu tahu, dilema di hatinya.
Wajah Bryan menegang, ditatapnya Lendra yang diam membisu. Mata keduanya kembali berlaga.
Didit, ayah Nadira, menagkap persaingan itu. Diliriknya Nadira yang pura pura sibuk merapikan meja.
Setelah berbincang ringan, Nadira, Bryan dan Lendra pamit kembali ke Jakarta.
Lendra menawarkan jasa pada Nadira ikut di mobilnya. Tentu saja gadis itu menolak. Tawaran Bryan jauh lebih menarik. Walau kesal, Lendra tak bisa berbuat banyak, ia yakin, akan tiba saatnya Nadira kembali padanya.
Malam semakin larut, lamat-lamat kabut tipis turun menyelinap di antara pepohonan, sebagian tertangkap oleh cahaya lampu jalan.
Kedua insan yang terperangkap dalam getaran hati itu, diam membisu, hanyut dalam lamunan masing-masing. Mata Nadira lurus ke depan, menembus batas pandang. Bagaimana cara menepis rasa hutang budi, jika nanti cangkok ginjal itu terjadi? Nadira menarik napas nyilu. Sanggupkah ia menepis Lendra, setelah pengorbanan Om Kus? Ia tidak ingin menjauh dari Bryan, lelaki itu mampu mencairkan kebekuan hatinya.
Bryan melirik gadis bermata lentik disampingnya, bagai menelan buah simalakama, lelaki itu gundah. Ia mengerti posisi Nadira. Tapi sungguh ia tidak rela melepaskan gadis itu, dengan alasan apapun. Haruskah ia memaksakan diri? Membiarkan Nadira dalam posisi sulit? Ah, tidak, ia tidak mau menempatkan Nadira menjadi anak yang tidak berbakti pada orang tuanya.