Part 5
Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Setelah mendengarkan keluh kesa Dena, Nadira pergi ke salon, mungkin ceambath dan facial, bisa membuat rileks. Gadis itu tidak ingin berlarut-larut memikirkan masalah yang ada, dipikirkan pun, tidak akan merubah apa-apa. Bukankah masalah akan selalu ada selagi roda kehidupan terus berjalan?
Dena duduk di teras rumahnya, menanti Lendra kembali. Tapi hingga matahari tenggelam, Lendra tak juga datang.
Di sana, di sebuah kafe, Lendra duduk termenung memikirkan satu kesalahan fatal yang telah ia lakukan. Badannya panas dingin, entah setan apa yang merasuki hingga berbuat senekad itu, melompat dari jendala, pergi meninggalkan Nadira.
Perasaan bersalah yang selama ini ia acuhkan, kini meledak dasyat dalam d**a. Bagaimana bisa dia melakukan itu, hanya karena takut kalah pamor dengan Nadira, ia nekad kabur? Memalukan!
'Aku memang b******n! ...bajingan!' pekiknya dalam hati sembari menghentak meja melampiaskan marah.
Tiba tiba ia merasa menjadi lelaki paling bodoh di dunia. Bagaimana jika Nadira tahu kondisi Dena, habislah dia jadi bahan tertawaan. Lelaki itu, malu, kesal, sedih, dan marah pada diri sendiri. Bagaimana bisa ini terjadi?
Jam hampir menunjuk angka sepuluh malam. Para pelayan mulai berbenah. Gontai Lendra menuju mobil. Dipakainya seatbelt, kemudian diam mematung, tak tahu harus kemana. Pulang? Rasanya masih enggan bertemu Dena. Pelan, mobilnya melaju, malam ini, mungkin ia akan menginap di hotel.
Dena terus terjaga, bolak balik ia mengintip ke luar, berharap Lendra pulang. Tapi suaminya itu, tak kunjung tiba. Diliriknya jam dinding, sudah pukul dua malam. Dena terus terjaga hingga pagi tiba.
Pagi ini, matahari bersinar terang, gumpalan awan putih terukir indah dilangit biru.
Bryan gelisah di rumahnya, Lendra tidak bisa dihubungi. Pukul delapan ini, ada pertemuan mendadak yang harus mereka hadiri bersama para investor.
Putus asa, Bryan memutuskan pergi sendiri. Diperjalanan, ia kembali gundah. Dicobanya sekali lagi menghubungi Lendra, tetap saja tidak ada jawaban. Akhirnya Bryan memutuskan menghubungi Nadira.
Di tempatnya, Nadira bersiap pergi ke pesta pernikahan seorang teman. Ia sengaja datang lebih awal, ingin menyaksiakan ijab kabul. Baru saja mobilnya akan bergerak keluar parkiran, dering telphon memanggilnya.
"Pak Bryan?" pekiknya pelan.
Buru-buru ia menyambungkan ke speker mobil.
"Assalammualaikum."
"Waalaikum salam, maaf, apa saya menggangu?"
"Em, nggak, ada apa Pak Bryan?"
"Saya menghubungi Lendra tapi nggak bisa. Padahal sebentar lagi ada pertemuan dengan beberapa investor. Kamu bisa temani saya? Hanya ngobrol santai saja, saya malas jalan sendiri."
"Sekarang?"
"Iya. Kamu ada acara?"
"Saya mau jalan ke pernikahan teman,"
"Owh, yaudah, nggak papa, silakan. Saya sendiri saja."
"Sampai jam berapa pertemuannya?"
"Sebentar kok, paling jam sepuluh sudah selesai."
"Mm, oke saya temani."
"Alhamdulillah, aku jemput sekarang, shareloc, ya."
"Oke."
Segera Nadira menshare lokasi. Kemudian menunggu di lobi. Sepuluh menit kemudian, Bryan datang.
"Sory, ganggu waktu libur kamu."
"Santai saja, Pak!"
"Kenapa tidak ajak Nyonya?"
"Nyonya siapa?" kening Bryan mengkerut sambil menoleh, mendengar pertanyaan Nadira.
"Nyonya Pak Bryan lah, masak Nyonya Bang Peter." celetuk Nadira.
Spontan Bryan terbahak.
"Ngapain juga ngajak Nyonya Pak Peter. Gila kali!"
"Lagian, pake nanya Nyonya siapa!"
"Aku nggak punya Nyonya. Adanya mama, masak aku bawa mama?"
Reflek keduanya saling menoleh, lalu tertawa bersama. Tapi kening Nadira berkerut, otaknya berpikir keras. Nggak punya Nyonya, lalu yang dipanggil Elsya bunda itu, siapa?
"Pernah punya," Ujar Bryan sembari menoleh.
"Maksudnya?"
Bryan mengusap hidungnya, "Harus detil, ya?"
Nadira tersenyum kecut, tak enak hati.
"Tenang saja, nggak bakalan ada yang ngelabrak kamu, aku jomblo sejati, tapi sudah punya anak." Bryan mengulum senyum menahan tawa.
Nadira menarik napas lega, cinta yang hampir layu, kini mekar kembali.
Hari minggu begini, jalanan ibu kota cukup lenggang. Perjalanan menuju lokasi hanya butuh waku sepuluh menit.
Sesampainya di tujuan, mereka disambut oleh beberpa investor yang sudah hadir. Bryan mengenalkan Nadira sebagai konsultan hukum yang ia ajak bekerja sama.
Nadira duduk dengan anggun disamping Bryan, beberapa pasang mata menatapnya kagum.
Selesai ngobrol sekedar membicarakan hal hal yang ingin mereka diskusikan, pertemuan pun di tutup.
Saat Bryan menjauh dari Nadira untuk menyapa rekan lainnya, salah satu investor mendekat.
"Hai, aku Dave. Senang bertemu denganmu." ujarnya sembari menyerahkan setangkai mawar merah.
Nadira terkesiap, bukan tak ingin menerima, tapi ia sungkan. Khawatir Bryan tersinggung, walau bagaimanapun, ia datang bersamanya. Nadira gelisah, diliriknya Bryan berharap lelaki itu segera menghampiri.
Bryan berdehem, ia datang tepat waktu. Nadira menarik napas lega. Ia mundur selangkah, seakan bersembunyi di belakang Bryan.
"Maaf, gadis ini datang bersama saya, ada yang bisa saya bantu?"
Dave melirik Nadira yang menunduk. Sedetik kemudian menatap Bryan tajam. Dua lelaki itu membusung saling padang.
Dave mengangkat tangan dengan ekspresi kecewa lalu menjauh.
Bryan menoleh Nadira yang terlihat kikuk.
"Jangan jauh-jauh dariku." bisiknya.
Nadira mengangguk. Saat itu juga, Nadira terus disamping Bryan, hingga acara usai.
"Huff, menenganggakan sekali berkumpul bersama para Bos besar." ujar Nadira saat perjalanan pulang.
Bryan tersenyum,
"Sepertinya Dave suka sama kamu. Kamu harus hati-hati dia itu berbahaya." ujar Bryan menakut-nakuti, entah mengapa ia tidak suka cara pria bule itu menatap Nadira.
"Berbahaya? Maksudnya?"
Nadira memiringkan duduknya demi menunggu jawaban. Tentu saja Bryan kebingungan harus jawab apa. Sebab dia tahu, Dave pria baik-baik.
"Eee entahlah, tapi menurutku laki laki sukses seperti dia dan belum pernah menikah, itukan aneh?"
Nadira mengernyitkan dahi, tiba tiba ia geli membayangkan yang bukan-bukan. Apalagi pola hidup bebas pria bule, membuatnya cepat menafsirkan hal negatif pada Dave.
Bryan tersenyum tipis, melihat Nadira menelan Mentah-mentah ucapannya. 'Sory Dave, Wanita ini milikku.' batinnya.
Sesuai perjanjian, kali ini gantian Bryan yang menemani Nadira menghadiri undangan pernikahan. Saat memasuki aula gedung, beberapa mata menatap keduanya takjub.
"Cieee, akhirnya dapat juga penggantinya. Kenalin dooonk ...."
Seru salah seorang teman Nadira dan disambut deheman yang lain.
Wajah Nadira merona, bibir mengerucut, mengedip-ngedipkan mata, seolah meminta teman-temanya tidak menggoda.
"Alaaah, malu-maluuu... Nggak papa kali, Nad, udah waktunya lo move on dari Lendra." celetuk Citra, lagi.
Bryan terkesiap, apa yang barusan dia dengar? Move on dari Lendra?
Nadira membelakangi Bryan, wajahnya mengkerut. Teman-temannya saling lirik, menyadari ada yang salah. Satu persatu melenggangkan pergi, meninggalkan Nadira yang resah.
Bryan berdehem, buru-buru Nadira berjalan melewati meja prasmanan. Bryan mengikutinya dari belakang.
Setelah memberi selamat pada pengantin, keduanya mengambil makanan, Nadira dan Bryan berdiri menghabiskan isi piringnya. Tidak ada kursi di sana, semua tamu makan dan minum berdiri. Kecuali tamu VIP, ada kursi dan meja khusus untuk mereka.
Nadira tidak ingin berlama lama ditempat itu, mata teman temannya seolah selalu mengawasi gerak-geriknya. Ia memberi kode pada Bryan untuk pulang.
Keduanya berjalan ke parkiran beriringan. Nadira grogi, tubuhnya seperti melayang berjalanan bersama Bryan, lelaki yang menjadi pusat perhatian para tamu. Bagai mana tidak, tunbuhnya tinggi dan atletis, sorot mata tajam, wajah bersinar cerah dan bahasa tubuhnya berwibawa.
Saat Bryan membukakan pintu, wajah Nadira memerah. Tapi bukan Nadira namanya jika tak bisa tetap bersikap tenang.
"Sekarang kita kemana?"
Nadira berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Bryan.
"Mm, terserah Pak Bryan saja."
Bryan menoleh, menatapnya lekat. Jantung Nadira berdetak kencang. Ia balas menoleh dan tersenyum tipis,
"Bisa nggak sih, panggil 'Mas' atau 'Bryan' saja?"
Nadira mengulum senyum, seolah bimbang.
"Ohya, Tadi sepertinya aku mendengar nama Lendra disebut?"
Bryan menyandar ke pintu mobil memiringkan duduknya. Tangan kanannya bertumpu di pintu.
Sontak, Nadira tergagap. Ah, bagaimana ia menjelaskan semua ini. Mengakui, pernah ditinggal menjelang detik-detik akad nikah? Memalukan. Itu membuatnya tampak bodoh di mata Bryan.
"Mantan?" tanya Bryan tak sabar.
Nadira semakin gelisah, haruskah menjelaskan dengan detil? Oh, tidak, bukankah itu memalukan?
"Mmm ... Begitulah ..." jawabnya dengan tersenyum kaku, tangannya meremas jok mobil, mencari pegangan. Ada luka yang kembali terkuak. Luka yang selama ini ia acuhkan, ternyata luka itu masih menganga lebar. Air mata yang tak pernah tumpah menagisi Lendra, detik itu membuncah menghantam kebekuan hati gadis itu. Terkoyak lapis demi lapis, menggetarkan seluruh tubuhnya. Hantaman itu begitu sakit hingga menyesakkan d**a, meremas hati dan jantungnaya. Air matanya tumpah tak terbendung. Nadira sesenggukan dalam kebingungan. Ia tidak mengerti mengapa air mata itu tumpah sekarang. Mengapa luka itu terasa sakit sekarang?
Tubuh Nadira terguncang menahan isak. d**a terasa sesak hingga sulit bernapas.
Bryan panik, ia tidak menduga reaksi Nadira. Ada apa? Apa yang salah dengan pertanyaannya?
"Nadira... Apa aku menyakitimu? Aku minta maaf, aku tidak bermaksud ... Ah, lupakan saja... Kamu tidak perlu menjawab apapun ... Lupakan saja!"
Tangan Bryan melayang layang dikepala dan pundak Nadira tanpa berani menyentuhnya. Ingin sekali ia mendekap gadis itu memberikan bahunya untuk bersandar. Jantungnya berdegup kencang, ada kecemasan dihatinya, walau tidak menungu jawaban dari Nadira, tapi pertanyaan demi pertanyaan liar berkelebatan di kepalanya. Ada apa? Mengapa sehisteris ini? Benarkah ini Nadira, konsultan hukum yang dingin itu?
Nadira terus berusaha mengatur napas, menetralkan perasaannya. Mengapa air mata itu tumpah ditempat itu, dihadapan Bryan, lelaki yang menarik perhatiannya beberapa hari ini.
Bryan turun dari mobil, Nadira tertegun. Mau kemana lelaki itu?
Tak lama berselang, Bryan kembali membawa satu gelas air mineral. Ia menusukan sedotannya. Lalu menyerahkannya pada Nadira.
"Minum, biar tenang..." bisiknya lembut.
Sesaat Nadira diam, ia membuang wajahnya ke jendela, mencoba mengeringkan air mata yang kembali tumpah. Pelan, ia menoleh Bryan, ragu, tangannya meraih air mineral itu.
"Terimakasih," jawabnya pelan semari mengangguk kecil.
Bryan tersenyum tipis, menatap Nadira sendu. Ia bisa merasakan perih di hati wanita di sampingnya.
"Saya ingin pulang, boleh?" tanya Nadira dengan suara parau.
"Boleh!" jawab Bryan mengangguk angguk. Meyakinkan gadis itu, ia tidak keberatan.
Sepanjang perjalanan Nadira diam membisu. Sesekali suara getaran napasnya terdengar menahan luka di hati.
Pilu, Bryan sangat pilu mendengar tarikan napas itu. Hanya saja, lelaki itu tak tahu berbuat apa.
"Terimakasih, eehh ..." kalimat Nadira tertahan, ia tak tahu harus panggil apa.
"Tidak apa-apa, sama-sama. Kalau kamu butuh teman, jangan sungkan menghubungiku. Aku selalu ada untukmu." ujar Bryan berbisik, melepas langkah Nadira.
Bersambung.
Terimakasih like, komen, dan sharenya kakak.