Part - 14

1182 Kata
Siang ini Alena berjalan menuju ruang keluarga di lantai satu. Ruang yang menjadi tempat favorit papa sewaktu beliau masih hidup dulu. Di sofa putih kesayangannya ini papa selalu duduk sambil membaca buku atau bercengkerama bersama Alena. Tapi sekarang semua sudah berubah, ruang yang dulu selalu membuat senyuman Alena mengembang malah sekarang membuat dirinya menangis. Alena duduk di sofa putih itu. Dia terbawa suasana satu tahun yang lalu. Suara papa samar-sama terdengar di telinganya. Kerinduan di hati Alena terasa sesak di d**a. 'papa sedang apa kau sekarang? Apa papa rindu aku sama seperti aku yang selalu merindukan papa disini?' Air mata Alena membanjir di kedua pipinya. Pandangan Alena mengabur. Dan saat itulah dia melihat bayangan papa. "papa..." ucapnya dengan terus mengusap air mata yang membuat buram. Bayangan itu hanya diam. Membeku di tempatnya tanpa suara. Dan saat padangan Alena sudah jelas baru lah dia sadar bahwa yang dia panggil adalah Revan. "Sepertinya wajah gue nggak mirip deh sama papa lo," ucapnya lemah. "Jelas, wajah papa adalah wajah orang baik. Sedangkan wajah lo itu orang licik." pekik Alena berapi-api. Revan tampak kesal dengan komentar Alena barusan. Namun dengan cepat dia menutupinya dengan mengatakan, "Ayo latihan," "Lo nggak tau gue lagi badmood?" "Emang semua itu salah gue?Salah lo sendiri kenapa badmood setiap hari, pake acara nangis di siang bolong segala. Dasar cengeng. " jawab Revan yang membuat Alena marah. Ucapan Revan seolah meyudutkan Alena. "Kenapa sih gue harus melakukan hal konyol seperti ini," ucap Alena frustasi. "Lo tau kenapa hidup lo selalu suram? Karena lo nggak mau keluar dalam zona aman dalam hidup lo. Elo terlalu terpaku dengan semua hal yang lo takutin!" Dhamm, semua yang di ucapkan Revan seperti pukulan yang tepat mengenai kepala Alena. Revan seperti menyulut ujung rokok tepat pada wajah Alena. "Diam, lo nggak tau dengan semua yang gue rasakan! Pasti lo juga sama kesepiannya dengan gue. Lo pasti kangen kan sama mama lo," Wajah Revan merah padam,"Nggak. Dia udah mati!!!" "Iya karena dia udah meninggal. Mangkannya lo kangen kan," ucap Alena. Wajah Revan begitu marah. Tanpa kata dia pergi begitu saja di depan Alena. Entah dia mau kemana. 'kalau dia nggak kangen nggak perlu seperti itu lah reaksinya. Ngomongin mamamya kok pakai kata mati segala. Emang kucing' batin Alena heran. *** Sore ini Alena sedang berdiri di ambang pintu kamar mamanya. Dia memandang Laura yang sedang berkemas untuk keberangkatannya besok pagi. "Alena, papa mu sudah pulang?" tanyanya membelakangi anaknya. "Ma, aku benar-benar tidak ingin mendapat pengganti papa," ucap Alena dengan wajah lesunya. Laura berhenti dari kegiatannya. Pandangannya begitu nanar. Dia masih membelakangi anak semata wayangnya. "Aku tidak menginginkan pria itu beserta anaknya ada dalam hidup kita. Tolonglah, kali ini saja. Kuminta dengan segenap kerendahan hati ku, mama. Bisakah kau akhiri saja pernikahan ini," Alena melihat pandangan mamanya yang berubah menjadi nanar. Dia belum pernah melihat pandangan mamanya seperti itu seumur hidupnya. Mama duduk di pinggir ranjang. "Mama tahu, mama membuat banyak kesalahan kepada mu seumur hidup mama. Mama sadar itu adalah resiko terbesar yang harus mama terima sebagai wanita karir. Urusan kantor yang menumpuk di kepala selalu mama bawa pulang. Dan orang yang paling sering menjadi korban atas kesetresan mama adalah kamu dan papamu," Alena berdebar-debar mendengar apa yang di katakan mamanya. "Kali ini, mama ingin menebus semuanya. Dulu papa mu selalu bilang 'kau kesepian putri kecilku yang malang, dia selalu bergantung padaku' dia juga menyarankan agar mama berhenti dari kantor. Mama menolaknya." mata mama berkaca-kaca. Alena sampai sedih melihatnya. "Tak mama sangka, setelah dia mengucapkan kalimat itu. Beberapa hari kemudian Papamu kecelakaan." "Alena, apakah penilaian mu kepada mama seperti orang-orang di luar sana?" tanya mama pelan. "Mama wanita yang keras dan tak punya perasaan," jawab Alena mantap. Penuh dengan kebencian. Mama terdiam. "Papamu begitu percaya dengan siapa saja. Papamu berhati lembut dan polos. Mama tidak pernah menyalahkannya atas apa yang dia pilih. Mama mencintai semua yang ada dalam papamu. Kelembutannya, kasih sayangnya, perhatiannya, keramahannya." "Bohong! Omong kosong! Jika mama mencintai papa seperti aku mencintainya. Mama nggak akan pernah berpaling dengan laki-laki mana pun seumur hidup mama!" sambar Alena sengit. "Mama pembohong!" Mama diam. Alena tidak tahu apa yang sedang mamanya pikirkan sekarang. Apakah mama marah dengan yang baru saja Alena lontarkan kepadanya. Yang jelas dia harus mengahancurkan pernikahan mamanya. Menghancurkan kebahagiaan mama sama seperti mama menghancurkan kehidupannya. Dia benci mama. Satu kebencian yang dia pendam selama bertahun-tahun pada wanita keras dan tak punya hati itu. "Satu lagi!" dengus Alena buru-buru sebelum dia keluar kamar."mama tahu,aku dan Revan sangat dekat sekarang. Dan kami sudah berpacaran," Kali ini mama menengok, reaksi yang sudah di tunggu-tunggu oleh Alena sedari tadi. Mamanya kaget. "Dan walaupun mama nggak mau ngalah. Aku akan tetap berpacaran dengannya." ikrar Alena dan berlalu pergi. *** Jam 8 malam Alena di panggil ke ruang keluarga oleh bi Yanti atas perintah mama. Sudah jelas apa alasan Alena di panggil. Semua mengarah pada apa yang dia ucapkan sore tadi. Alena melihat Revan yang tengah duduk di single sofa di hadapan mama dan si om. Cowok itu nampak tenang dia asik bermain ponselnya. "Ada apa aku di panggil kemari?" tanya Alena sambil duduk di sofa lain. "Papa sudah dengar semua carita dari Revan," ucap si om membuka suara di tengah kesunyian. Alena melirik Revan sekilas berharap diberi bocoran tantang apa yang sudsh cowok itu adukan kepada kedua orangtua itu. Tapi Revan malah menaikan sebelah alisnya. Yang membuat hati Alena was-was. 'Semoga saja yang di ceritakan kutu busuk ini sama dengan ku' batin Alena. "Jadi gini, kalian kan saudara meskipun tidak sedarah tapi hubungan kalian berdua itu tidak di perbolehkan," ucap mama. "Tapi kita saling mencintai," sanggah Alena spontan. 'bagus Alena, sandiwara sudah di mulai' Revan berdecih mendengar apa yang baru saja Alena katakan. "Papa tau betul bagaimana sikap Revan selama ini. Dia tidak benar-benar menyukai gadis yang selama ini dia pacari." "Tunggu, tidak kah ada yang jangal, laura. Mereka ini saling membenci dan mereka juga tidak menginginkan adanya pernikahan kita. Bukannya aneh jika tiba-tiba saja mereka berpacaran?" ucap si om yang mulai mencium bau sandiwara kedua anaknya. "Iya, kau benar. Ini sangat aneh," "Hei jangan melupakan ketampanan ku yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta dalam pandangan pertama," bela Revan. Alena ingin muntah mendengar ucapan kutu busuk itu. Tapi dia harua fokus karna sekarang dirinya harus bersandiwara terlebih dahulu. "Revan jatuh tergila-gila pada ku sampai dia memohon untuk dapat berpacaran dengan ku, kalau nggak percaya tanya saja satu sekolah."sanggah Alena. Dua orang tua itu terdiam saling pandang. *** "Bagus, sandiwara berjalan lancar. Trus gimana selanjutnya?" tanya Alena di depan kamarnya. "Iya tetep sandiwara sampai masalah ini selesai," jawab Revan cuek. "Bukan itu. Gimana kalau mama beneran tanya ke teman-teman kita di sekolah tentang hubungan kita. Bisa gawat buat gue kalau sampai fans lo tau bisa di mutilasi gue." Alena menjerit tertahan. Revan tersenyum miring,"Yang di mutilasi kan elo bukan gue. Jadi ya pikirin aja sendiri. Dah ya gue mau tidur ngantuk. Bye Alenanya Revan." ucap Revan sambil memasuki kamarnya. Alena mencak-mencak di depan kamar cowok terkutuk itu. 'Memangnya aku jadi susah gini gara-gara siapa? Kalau lo nggak datang dalam hidup gue. Gue akan hidup tenang sampai sekarang' batin Alena sambil memasuki kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN