Part - 20

1205 Kata
"Jangan kau ganggu dia lagi. Dia sudah bahagia!" sentak om Hengki dengan wajah galak. "Tenang, sayang. Mama hanya ingin melihatmu sekali saja sebelum mama pergi." ucap wanita itu memandang Revan cukup lama. Revan mundur satu langkah saat wanita itu mencoba mengapainya. Wajah Revan benar-benar ketakutan. "Kau semakin tampan. Wajah tegas mu semakin terlihat. Mama kesini hanya ingin berpamitan dengan mu. Mama tidak akan menyakiti mu lagi. Kau harus bahagia anak laki-laki ku."ucapnya sebelum pergi. Semua orang disana hanya bisa diam saat wanita itu sudah memasuki mobil pajeronya. Alena memandang wajah Revan yang masih ketakutan. Lalu, tanpa berpamitan cowok itu pun pergi entah kemana. *** Alena keluar dari kamar vilanya saat jam menunjukan pukul 4 sore. Dia ingin berjalan-jalan di pinggir pantai sambil melihat matahari terbenam. Sejak kejadian tadi siang, Revan sama sekali tidak menunjukan dirinya. Saat makan siang pun, cowok itu juga tidak ikut. Alena berfikir bahwa cowok itu mungkin butuh waktu sendiri. Menenangkan batinnya akibat kejadian tadi. Alena terus menyisir putihnya pasir pantai. Saat tak sengaja pandangannya melihat seorang cowok yang tengah duduk di atas batu karang. "Revan?" gumam Alena dan segera menghampiri cowok itu. "Kenapa lo disini? lo bisa jatuh nanti." ucap Revan saat mengetahui Alena yang telah memanjat batu karang yang dia duduki. "Lo sendiri ngapain disini?mau nyari mati? kalau tiba-tiba air pasang gimana?" omel Alena tanpa henti. Revan tidak mendengarkan ocehan Alena yang sudah duduk di sebelahnya. Dia kembali memandang lurus kedapan. Memandang matahari yang sudah bersiap untuk terbenam. "Orang bilang suasana paling indah di dunia adalah saat kita bisa melihat matahari terbenam. Tapi buat gue, matahari terbenam hanya akan menimbulkan masalah besar. Matahari yang mulai terbenam menandakan dimana sebuah penyiksaan datang." Revan mengucapkan semua perkataanya dengan penuh luka. "Lo bilang mama lo udah meninggal. Tapi kenapa wanita tadi memanggil dirinya mama didepan lo." "Gue benci wanita itu." ucap Revan. Wajah tampannya terlihat begitu mengisyaratkan kebencian. "Kenapa?" Hanya kata itu yang bisa Alena lontarkan. "Saat umur gue 6 tahun orang tua gue bercerai. Wanita itu berselingkuh di depan mata gue sendiri. Setiap malam, setiap papa pergi keluar kota. Wanita itu dan selingkuhannya bermain api di depan mata gue sendiri. Menjijikan!" Revan mengatakannya dengan penuh amarah. Alena sampai kaget melihat perubahan raut wajah Revan yang kini memerah. "Setiap lelaki itu datang. Gue selalu di kurung di dalam gudang yang sunyi dan gelap. Hanya karena wanita itu takut jika gue lapor ke papa tentang perselingkuhannya. Lo udah lihat wajahnya tadi kan? dia selalu cantik kapan pun dan di mana pun meski telah berumur dia masih memikirkan penampilannya." "Umur 5 tahun gue pernah kabur dari rumah. Gue udah nggak tahan lagi dengan apa yang gue lihat dan rasain setiap hari. 10 hari gue hidup di jalanan, sebelum papa nemuin gue setelah pembantu di rumah cerita semuanya pada papa. Papa marah , sangat marah. Wanita itu di ceraikan oleh papa, dan papa memenangkan hak asuh karena bukti perselingkuhan itu sangat kuat." Revan bercerita begitu saja pada Alena. "Apakah itu alasan lo berpacaran dengan banyak cewek?" "Mereka semua penipu." Lagi, perkataan itu kembali Revan ucapkan. "Tapi semua wanita di dunia ini nggak seperti itu." Revan mengangguk, "Gue tau. Itu kenapa gue nyari lo selama ini." ucapnya dengan menoleh ke arah Alena. "Tapi sayangnya saat gue ketemu lo. Papa bawa kabar buruk karena dia akan menikah kembali. Dan anak dari wanita yang akan di nikahinya adalah elo. sontak gue benci, langsung benci. Karena gue takut kisah sedih itu terulang kembali. Lo dan mama lo begitu cantik dalam foto itu. Gue takut papa di tipu lagi."Jelas Revan. Kini Alena mengerti mengapa Revan bersikap seenaknya. Revan yang selalu bersikap menyebalkan di mata Alena. Itu semua karena Revan lakukan karena dia tidak ingin membuat luka baru lagi. Dia tidak ingin papanya tertipu kedua kalinya oleh kencantikan wanita manapun di dunia ini. *** "Masih kah kalian bersandiwara di depan kami?" tanya mama saat mereka semua makan malam di sebuah resto dekat dengan villa. "Kita nggak sandiwara kok. Kita memang sudah dekat." ucap Revan sambil menikmati kepiting lada hitamnya. "Tapi tidak pacaran kan?" imbuh om hengki. "Kalau itu mungkin bisa sambil berjalan." jawab Revan yang membuat Alena melotot. "Kami akan senang jika kalian akur. Tapi tetap saja kalian tidak boleh menjalin hubungan seperti itu." papa Revan menasehati. "Berarti kalau aku suka dia. Bolehkan." Revan tetap ngotot dengan pendirian. "Mentang-mentang kamu sudah bertemu dengan Alena. Kamu bisa seenaknya. Tetap tidak boleh." "Alena yang dulu aku temui berbeda dengan yang sekarang. Wajar jika aku menginginkan dia lebih." Alena dan mama hanya sanggup mendengarkan perdebatan antara Revan dan papanya. Suasana makan malam kali ini sudah berbeda. Mereka semua sudah seperti keluarga seutuhnya. Apakah perjanjian konyol itu masih akan di lanjutkan oleh Revan dan Alena???. *** Malam ini saat Alena ingin memejamkan matanya. Dia di kagetkan dengan suara ketukan di pintu kamarnya. Saat di buka ada Revan yang sudah berdiri disana. "Mau nemenin gue jalan-jalan nggak. Gue nggak bisa tidur." tawarnya pada Alena. Sontak Alena mengangguk. Mereka berdua menyusuri tepian pantai. Angin malan langsung menusuk di kulit mereka. "Kita mau kemana?" tanya Alena yang merasa sejak tadi dia terus berjalan. "Mau duduk dulu?" Alena mengangguk. Mereka duduk di atas pasir pantai beralaskan sandal jepit masing-masing. Revan memandang suasana lepas pantai di malam hari. Begitu tenang dan damai. Kerlipan bintang juga terlihat di atas langit sana. Membuat suasana semakin apik. "Ada masalah lagi sampai lo nggak bisa tidur?" tanya Alena. Revan menggeleng,"Gue lega sekarang." "Lega kenapa?" "Pertama gue udah berhasil bercerita ke orang lain tentang masa lalu gue. Dan yang kedua, gue udah berhasil menemukan lo." jawabnya dengan memandang wajah Alena. "Kenapa lo nggak jujur dari awal soal ini. Kalau lo udah mengenal gue." tanya Alena. "Gue terlalu gengsi dan benci. Sampai-sampai gue buat lo murung sejak pernikahan kedua orang tua kita. Rasa penasaran gue selama ini tertimbun dengan ketakutan yang luar biasa. Gue takut mama lo dan lo nyakitin papa," "Dulu gue sering ketemu sama om Adam. Dia selalu bilang gue anak baik. Di saat semua orang bilang gue anak nakal. Pernah di suatu acara saat usia gue 15 tahun gue ikut papa dan saat itu gue banyak di kelilingi gadis-gadis seusia kita. Dan respon om Adam sangat di luar dugaan. Gue bener-bener menyukai sikapnya. Bahkan setahun yang lalu saat kabar itu datang. Gue nangis. Gue merasa kehilangan orang baik dalam hidup gue." jelas Revan panjang lebar. "Itu kenapa gue bisa ngerain apa yang lo rasa selama ini." ucap Revan menatap mata Alena lekat. Semua yang di pikirkan Alena selama begitu di luar dugaannya. Revan sangat mengetahui hidupnya. Apa yang Alena alami dan rasakan pun Revan mengetahuinya. "Van,lo harus berhenti mainin hati para cewek-cewek itu. Lo boleh marah dengan apa yang di perlakukan mama lo dulu, tapi bukan berarti lo menjadikan masa lalu lo sebagai alasan untuk hal ini." Alena mencoba menyadarkan Revan dengan apa yang sudah cowok itu lakukan. Revan tersenyum memandang Alena, "Gue akan berhenti. Dan belajar mencintai perempuan dengan cara yang benar." Alena tersenyum mendengar jawaban Revan. Cowok itu menggenggam tangan Alena yang dingin. "Tangan lo dingin banget." ucap Revan suaranya begitu jelas terdengar di telinga Alena. Jarak mereka begitu dekat. Bau parfum khas Revan begitu menyengat hidung Alena. Entah otak Alena masih dalam keadaan sadar atau tidak. Saat bibir Revan mulai menyatu dengan bibirnya. Alena tidak menolak. Dia malah membalas ciuman itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN