Bab.10 Kedatangan Kakek Irawan

1043 Kata
  *Happy Reading genk's semoga suka!!*   Bab-9   Alya memutuskan mampir sebentar ke pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa bahan masakan dan juga kebutuhan pribadinya. Kebetulan stok di rumah hampir menipis dan juga ia ingin membeli sesuatu untuk Galih.   Pada saat Alya masuk ke dalam mall tanpa sengaja ia melihat seseorang yang sangat ia kenali.   "Itu, 'kan Lusi?" gumamnya seraya mempercepat langkah kakinya guna mengejar Lusi yang berada tak jauh dari pandangannya.   "Lusi! Lusi!" teriak Alya.   Seketika yang merasa dipanggil pun menoleh.   "Alya? Kau kenapa?" tanya Lusi begitu Alya sudah mendekat dengan nafas yang terengah-engah.   "Hah ... hah ... Aku dari tadi memanggilmu tapi kau tidak dengar, ya, sudah aku lari untuk mengejarmu." sahut Alya dengan tarikan nafas panjang seraya menyeka bulir keringat yang muncul di pelipisnya.   Lusi menggeleng heran, "Astaga! Kenapa kau harus berlarian? Kau, 'kan bisa menelfon ku."   Alya lantas tertawa, "Iya-ya. Kenapa aku tidak kepikiran sama sekali tentang itu. Bodohnya aku," Alya menepuk keningnya, sadar akan kebodohannya sendiri.   "Kau ini, selalu saja ceroboh," celetuk Lusi seraya mencubit lengan Alya dengan gemas.   Sosok Alya dimata Lusi begitu polos dan suka sekali melakukan hal-hal ceroboh. Baginya Alya seperti adiknya sendiri. Persahabatan diantara keduanya sudah terjalin sejak mereka kuliah. Sebab itulah Lusi tahu semua tentang hubungan Alya dan Galih.   Namun, Lusi tak pernah menyangka jika dirinya akan terjerat hubungan terlarang dengan suami sahabatnya sendiri. Karena kedekatan Galih dan Lusi seperti halnya dengan kedekatan ia dan Alya. Pesona Galih mampu meruntuhkan dinding pembatas yang sengaja di bangun oleh Lusi agar ia tak sampai hati bermain-main dengan lelaki itu. Tetapi pada kenyataannya, Lusi terlalu lemah untuk menolak semua perhatian yang diberikan oleh Galih.   Pada dasarnya Galih sangat lah lihai dalam urusan menaklukkan seorang wanita. Tidak sulit baginya membuat seorang Lusi bertekuk lutut dan menjadi bagian dari salah satu penghangat ranjangnya.   Bertemu dengan Alya membuat Lusi jadi teringat dengan perkataan Galih beberapa jam yang lalu.   'Semalam Alya melihat tanda kissmark dileherku.'   Seketika perasaan Lusi jadi tidak tenang. Ia termangu sambil membayangkan Alya yang merasa kecewa lantaran dirinya yang sudah dengan teganya bermain gila dengan Galih.   "Lusi, hei! Lusi?" Alya mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Lusi yang entah kenapa tampak begitu pucat. "Dia kenapa? Bisa-bisanya dia melamun di tempat seramai ini. Hei, Lusi!" Alya mencubit gemas pipi Lusi agar sahabatnya itu segera sadar dari lamunannya.   "Auw!" Lusi memekik ketika cubitan Alya mendarat dipipinya. "Al, sakit!" Lusi mengelus pipinya yang terasa memanas.   Alya tergelak puas, "Siapa suruh kau melamun. Dari tadi kau membuatku seperti orang gila karena bicara sendiri." sungut Alya.   Wajah Lusi seketika berubah pias, "Ah, itu ..." Merasa bingung hendak menjawab apa, Lusi lantas mengalihkan perhatian. "Oh, iya, Al. Bagaimana kalau kita minum kopi di tempat biasa?" usulnya dan langsung diangguki oleh Alya.   "Boleh-boleh. Cukup lama kita tidak pernah minum kopi bersama." seru Alya sambil mengamit lengan Lusi dengan antusias.   'Maafin aku, Al.' ujar Lusi dalam hati.   Keduanya lantas menuju kedai kopi terdekat, memanfaatkan waktu yang ada guna menghabiskan waktu bersama setelah sekilan lama tak bersua.   Tanpa Alya sadari, sejak tadi ada sepasang mata yang mengintainya dari jauh. Memperhatikan semua aktivitas yang dilakukan Alya sejak keluar dari cafe sampai menuju mall.   "Menarik." Pria itu menyeringai seraya pergi dari sana setelah Alya sudah jauh dari pandangannya.   ###   "Kau baru pulang?" tanya seorang laki-laki paruh baya sekitar 68 tahun kepada Marcello yang baru saja masuk ke dalam rumah.   "Kakek?" Marcello terkejut sekaligus bahagia melihat sosok yang selama ini menjadi pelindungnya tengah duduk bersantai di ruang tamu. Ia pun segera menghambur ke pelukan hangat sang kakek yang sangat ia rindukan.   "Kakek kenapa tidak memberitahu Marcell kalau mau ke Indonesia? Kan, Marcell bisa jemput," Marcello mengurai pelukan lalu duduk di sampingnya.   Kakek Marcello yang bernama Irawan Saylendra itu tersenyum hangat, "Kakek sengaja tidak memberi kabar terlebih dulu, biar jadi kejutan." Beliau lantas mengusap puncak kepala Marcello. "Cucu kakek sudah besar ternyata."   Marcello mengulum senyum menanggapi ucapan kakeknya, "Usia Marcell sudah 22 tahun, tentu saja sudah besar."   Kakek Irawan tergelak, "Jadi kau sudah siap menggantikan mamamu dan meneruskan perusahaanku?" tanya Beliau.   "Siap tidak siap tentu Marcell harus siap. Bagaimanapun Marcell ingin membalas semua kebaikan kakek. Dan, hanya itu yang Marcell dapat lakukan," Marcello menjawab pertanyaan Tn. Irawan dengan mantap dan tegas. Kerena memang ia tidak memiliki pilihan lain.   Sejak dulu kakek Irawan sangat perduli padanya dan juga pada sang mama. Menopang kehidupan keduanya dengan tangan terbuka. Memberi segala yang ia punya kepada cucu satu-satunya itu.   Kakek Irawan selama ini tinggal di Kanada, dalam setahun Beliau bolak-balik ke Indonesia tiga sampai empat kali. Kendati sudah berusia senja, namun performa Beliau dalam bekerja dan mengurus bisnis tidak perlu diragukan lagi.   Perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor produk Indonesia ke berbagai manca negara sudah Beliau geluti sejak usia muda, dengan anak cabang di mana-mana. Salah satunya S.G group yang berada di kota Jakarta, yang kebetulan di jalankan oleh mama Della—yaitu orang tua tunggal dari Marcello.   "Kapan kau lulus?" tanya Beliau setelah menyesap teh camomile favoritnya sejak dulu.   "Masih sekitar enam bulan lagi." sahut Marcello dengan nada bicara sedikit tak bersemangat.   Tn. Irawan dapat membaca dan merasakan apa yang tengah dirasakan Marcello hanya dari raut wajah sang cucu.   "Kenapa lagi dengan mamamu? Apa dia berbuat sesuatu lagi?" tanya Tn. Irawan to the point.   Sontak Marcello mengangkat wajahnya yang semula tertunduk lesu menjadi terheran-heran.   "Kenapa kakek bisa tahu kalau Marcello sedang kesal dengan mama." tanyanya dengan kedua alis yang saling tertaut dan kening yang mengerut dalam.   Tn. Irawan menarik sudut bibirnya ke atas,   "Kakekmu ini punya banyak mata di mana-mana. Apa kau lupa itu?" serunya dengan penuh percaya diri.   Ah, iya! Marcello hampir melupakan satu hal itu. Soal kakeknya yang memiliki mata-mata hampir di seluruh ibu kota.   Ia lantas menyandarkan punggung di sofa dengan helaan nafas panjang. "Sepertinya Marcell tidak dapat menyembunyikan apa pun dari kakek. Semua yang kami lakukan tak luput dari pengawasan kakek," ujarnya sembari mengusap tengkuknya.   Mendengar penuturan sang cucu Tn. Irawan sontak kembali tergelak. "Jika tidak seperti itu, mana bisa kakek tahu tentang kalian. Sedang kalian jauh dari jangkauan kakek. Kakek hanya khawatir jika ada seseorang yang memiliki niat buruk pada kalian." Tn. Irawan menepuk-nepuk pundak Marcello, lalu kembali berucap, "Kau harus ingat ini, kalau hanya kalian lah yang kakek miliki di dunia ini. Apa pun akan kakek lakukan untuk membuat kalian bahagia." pungkasnya dan diakhiri dengan rangkulan hangat di pundak Marcello.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN