Bab.5 Tamparan Galih

1078 Kata
  Bab-4   ###   Della lantas menghubungi seseorang untuk mengatur pertemuannya dengan guru pembimbing Marcello. Kebetulan rekan bisnis Della yang merekomendasikan guru pembimbing tersebut. Yang Della dengar jika guru pembimbing itu di kenal sangat cerdas dan handal. Maka dari itu Della langsung menyewanya untuk membimbing Marcello supaya mendapat nilai akhir yang memuaskan.   "Baiklah. Jangan lupa kau menghubunginya dan beritahu kalau saya akan menunggunya di sana." pungkas Della lalu memutus panggilan telfon setelah orang suruhannya mengiyakan perintahnya dengan patuh.   "Semoga guru itu bisa diandalkan," ucap Della yang syarat akan pengharapan penuh.   Kemudian ia melirik arloji mahal yang melingkar dipergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan hampir siang. Della gegas beranjak lalu menghubungi sang supir untuk menyiapkan mobil.   "Tolong siapkan mobil! Saya akan berangkat sekarang."   Tak berselang lama mobil sudah siap di halaman rumah. Sang supir turun lalu membukakan pintu dan dengan sopan mempersilakan Della untuk masuk. Memastikan sang majikan sudah duduk dengan nyaman, supir yang bernama Pak Soleh itu pun kembali masuk dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.   ***   Sementara itu Alya telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri lebih awal. Ia bangun lebih pagi dari biasanya sebab siang ini ia ada temu janji dengan wali murid bimbingannya yang baru.   Semalaman Alya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya carut marut setelah melihat tanda merah dileher suaminya. Alya bukan wanita bodoh yang tidak tahu apa arti tanda itu.   Lantas dalam benak Alya tersirat kecurigaan terhadap suaminya.   Mungkinkan selama ini Galih berselingkuh darinya?   Mungkinkah Galih sudah tega mengkhianati kepercayaan yang Alya berikan selama ini?   Mungkinkah sikap Galih yang berubah akhir-akhir ini disebabkan adanya orang ketiga?   Rasanya kepala Alya mau pecah. Otaknya di penuhi dengan pertanyaan-pertayaan konyol dan asumsi yang menurutnya terlalu berlebihan.   Di sisi lain Alya berharap semoga semua itu tidak benar. Semua kesimpulan negatif ia berusaha menyingkirkan. Tak ingin larut dalam pemikirannya sendiri. Alya memilih menanyakan langsung kepada suami arogannya itu. Kendati ada rasa cemas dan takut yang mendadak menghampiri tekadnya.   Mengingat sifat Galih yang temperamental dan mudah sekali marah. Bahkan tak segan melayangkan pukulan jika amarah menguasai dirinya. Nyali Alya seketika menciut bila mengingat hal itu.   "Apa yang harus kulakukan? Semoga Mas Galih tidak marah mendengar pertanyaanku nanti." gumamnya seraya berjalan menghampiri Galih di meja makan dengan secangkir kopi ditangannya.   "Kopinya, Mas." Alya meletakkan cangkir berisikan cairan dengan aroma khas tersebut di depan Galih. Asap yang mengepul menandakan bila kopi hitam tersebut masih sangat panas sebab Alya menyeduhnya dengan air yang benar-benar mendidih hingga menimbulkan aroma harum yang menyeruak ke seluruh penjuru ruangan.   "Hemm ..." Sedangkan Galih hanya menanggapi dengan deheman tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.   Pria berusia 34 tahun itu sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja dan jas berwana navy. Ia seakan tak perduli dengan keberadaan Alya di sampingnya yang terlihat menyendu. Malah lebih memilih sibuk membaca pesan dari kekasihnya—Lusi.   Ketegangan Alya kian bertambah kala bibirnya tidak lagi dapat menahan pertanyaan yang sejak tadi menari-nari di otaknya.   "Emm ... Mas, apa aku boleh mengatakan sesuatu?" tanyanya ragu-ragu. Susah payah ia mengumpulkan keberanian.   "Boleh. Kau mau mengatakan apa?" Galih masih belum melepas pandangannya dari layar ponsel.   Jari-jemari Alya saling tertaut satu sama lain di atas rok span berwarna tosca yang ia pakai. Meremasnya dengan kuat berharap bisa sedikit mengurangi ketegangan yang menderanya.   "Happy Anniversary, Mas," ucap Alya tiba-tiba. Ia sengaja mengucapkan selamat terlebih dulu. Sambil berpikir keras bagaimana caranya ia bisa menyampaikan pertanyaan terhadap Galih.   Mendengar ucapan sang istri, Galih terhenyak sejenak. Pandangannya langsung beralih menatap Alya.   "Selamat hari jadi pernikahan kita, Al. Semalam aku ketiduran jadi lupa mengatakan," ucapnya berdalih.   Sudut hati Alya sedikit menghangat mendengar penuturan Galih. Paling tidak suaminya masih mengingat. Itu saja sudah cukup bagi Alya.   "Tak apa, Mas. Ku pikir Mas Galih lupa. Tapi ternyata tidak." Seutas senyum Alya persembahkan untuk Galih. Senyuman penuh cinta yang hanya ia berikan kepada suaminya.   Netra Galih menatap dalam ke arah Alya. Ada sedikit rasa bersalah yang terselip dibenaknya.   "Tentu saja aku ingat, Al. Aku tidak akan lupa."   "Terima kasih, Mas. Mas Galih masih mau mengingat. Sudah lama sekali kita jarang mengobrol seperti ini. Aku merindukanmu, Mas." ungkap Alya dengan bibir bergetar dan itu sukses membuat jemari Galih terulur lalu mengusap wajah sendu Alya.   "Iya. Belakangan ini pekerjaanku sangat banyak. Aku juga sering lembur. Maaf ..."   Entah kena angin apa. Mendadak Galih menjadi lembut kepada Alya.   'Mas Galih minta maaf. Dia minta maaf kepadaku?' seru Alya dalam hati. Kegugupan yang sejak tadi menyelimuti seketika menguap begitu saja.   Alya membalas sentuhan jemari Galih dengan perasaan membuncah. "Tak masalah Mas. Asal Mas Galih tidak pernah berubah, Alya tidak pernah mempermasalahkan soal itu." Alya beranjak lalu terlintas dipikirannya untuk mencium bibir Galih.   Alya membungkukkan tubuhnya sedikit lalu...   'cup!' Kecupan singkat mendarat dibibir Galih.   "Maaf, Mas. Aku tidak bisa menahan keinginanku," ucapnya malu-malu. Wajahnya bersemu kemerahan lantaran menahan malu.   Galih tertegun, ia tak menyangka jika Alya akan menciumnya.   Nalurinya sebagai seorang lelaki mendadak muncul. Galih beranjak lalu menarik pinggang ramping Alya. Mendekap tubuh langsing istrinya dengan erat.   "Untuk apa kau meminta maaf. Aku ini, 'kan, suamimu. Jadi kau bebas mau berbuat apa saja kepadaku," Galih menyahut dengan kata-kata yang sangat manis hingga membuat Alya semakin melayang-layang.   Tatapan mereka saling beradu sangat dalam, Alya bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan nafas Galih menerpa permukaan kulit wajahnya.   Galih semakin mengikis jarak antara mereka. Sudah lama sekali ia tak menatap Alya dengan jarak sedekat ini. Istrinya semakin cantik dan menggoda. Kemana saja ia selama ini. Memiliki istri cantik tapi selalu ia sia-siakan.   Ketika bibir Galih hampir menyentuh bibirnya, Alya tiba-tiba terkesiap dan beringsut mundur kala mengingat niatnya untuk menanyakan tentang tanda merah yang tercetak dileher Galih.   "Tunggu Mas! Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin ku katakan,"   Kening Galih seketika mengernyit,   "Apa? Hal apa lagi?" tanyanya dengan tatapan bingung.   "Semalam ... aku tidak sengaja melihat tanda merah dileher Mas Galih," ucap Alya hati-hati. Rasa gugup kembali menyerbunya.   "Maksudmu? Kau menuduhku? Begitu?" Tatapan yang semula hangat seketika kembali berubah dingin. Dalam sekejap Galih kembali ke sifat aslinya.   Alya menggeleng, "Bu-bukan itu maksutku, Mas! A-aku tidak sedang menuduhmu. Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat. Itu saja. Tak ada maksud lain." sergah Alya cepat dengan sorot mata ketakutan.   Galih menatap tajam ke arah Alya yang semakin terlihat ketakutan. "Itu sama saja dengan kau menuduhku! Hah!?" sentak Galih dengan lantangnya.   "Ti-tidak Mas! Aku sama sekali tidak menuduhmu," Alya berusaha membela diri agar Galih mau mendengarkannya dan tidak salah mengartikan.   Namun, Galih seakan tak memperdulikan itu. Ia bersikap seperti itu hanya untuk menutupi kesalahannya sendiri.   Lalu tiba-tiba...   plak!   Sebuah tamparan keras mendarat dipipi Alya hingga membuat tubuh Alya tersungkur ke lantai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN