Bab.3 Tanda Merah dileher Galih

907 Kata
  ~Bab-2   Ting tong~~   ting tong~~   Alya tersentak sampai terperanjat kaget kala bunyi bel mengusik indera pendengarannya.   "Astaga! Aku ketiduran," gumamnya seraya mengerjapkan netranya yang masih terasa berat lantaran kantuk yang menyergap. Kemudian Alya mendongak dan sedikit menyipitkan matanya guna menatap jam dinding. "Ternyata sudah pukul dua belas malam. Apa jangan-jangan itu Mas Galih, ya?" Alya pun gegas beranjak sembari merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Ia menyisir rambut dengan jari-jarinya lalu berlari kecil menuju pintu.   Menunggu kepulangan suaminya sampai selarut ini adalah hal biasa bagi Alya. Tak hanya sekali dua kali Galih pulang malam, laki-laki itu bahkan sering tidak pulang.   Sebelum membuka pintu, Alya menarik nafas dalam-dalam terlebih dulu. Sebisa mungkin ia menyembunyikan perasaan kecewa lantaran Galih tak mengindahkan keinginannya yang meminta untuk pulang lebih awal.   ceklek~   "Mas ..." seru Alya dengan seutas senyum di bibirnya yang ranum. Netranya berbinar ketika sosok yang di tunggu sejak tadi telah kembali. "Sini Mas ... aku bantu!" Seperti biasa Alya mengambil tas kerja dari tangan Galih lalu membawanya.   Tetapi, sikap Galih lagi-lagi hanya tak acuh bahkan terkesan sangat dingin. Penampilan Alya yang berbeda sungguh tak menarik perhatiannya sama sekali. Dengan santainya Galih malah melangkah masuk ke dalam tanpa basa-basi. Jangankan mencium atau menyapa Alya. Galih bahkan tidak mengucapkan maaf atau sekedar memberi penjelasan mengapa ia pulang terlambat.   Alya segera menutup pintu lalu menguncinya. Mendesah berat karena hanya mendapatkan perlakuan seperti biasa. Acuh dan dingin.   Kemudian Alya berjalan mengikuti Galih yang hampir mendekati tangga.   "Makan malam dulu, Mas! Aku sudah masak makanan kesukaan, Mas," ucap Alya yang seketika menghentikan kaki Galih yang akan menaiki anak tangga.   Galih menoleh sekilas tanpa membalikkan tubuh. Ia lalu menyahut dengan nada dingin, "Aku sudah makan malam tadi di kantor. Aku lelah. Aku hanya ingin langsung tidur saja." Ia pun kembali melanjutkan langkahnya menapaki anak tangga satu persatu tanpa memperdulikan perasaan Alya sedikit pun.   "I--iya, Mas ..." lirih Alya dengan perasaan yang tidak perlu di jabarkan lagi.   Tentu saja sebagai seorang istri ia merasa kecewa lantaran sikap Galih yang terkesan tidak pernah menghargainya.   Alya juga sudah berusaha untuk menyenangkan hati Galih dengan semua yang ia bisa. Contohnya; memasak makanan kesukaan lelaki itu dan selalu berusaha bersabar dan bertahan. Kendati balasan yang ia terima tak sepadan dengan semua usahanya selama ini.   Alya pikir, keputusannya memilih Galih ketimbang keluarganya adalah suatu keputusan yang tepat. Sebab, rasa cinta yang ia miliki untuk Galih sangat besar begitu sebaliknya dengan lelaki itu.   Namun, tiga tahun menjalani biduk rumah tangga bersama Galih. Kebahagiaan seakan lari menjauhinya. Hanya rasa sakit yang sering Alya rasakan, baik lahir mau pun batin.   Tak pelak Alya selalu merasa jika semua yang ia alami di dalam rumah tangganya adalah suatu hukuman dari Tuhan. Hukuman karena ia sudah membangkang terhadap Ayah dan Ibunya.   Kaki jenjangnya melangkah gontai menuju ruang makan setelah Galih sudah jauh dari pandangan. Tatapannya berpendar nanar memandang semua masakan dan cake yang masih utuh di meja makan.   "Harus ku apakan semua makanan ini? Mas Galih bahkan tak berminat barang sebentar saja. Padahal aku sudah susah payah membuatnya," gumamnya dengan lelehan air mata yang tak dapat ia bendung lagi. Hasil jeri payahnya tak di hargai sama sekali oleh sang suami. Makanan yang tadinya terlihat sangat menggugah selera kini hanya teronggok tanpa dilirik mau pun dicicip oleh Galih.   Mulut lelaki itu memang sangat pandai berkilah. Sebenarnya Galih sudah makan malam di apartemen bersama Lusi, setelah mereka melebur raga di kubangan hasrat terlarang. Galih dan Lusi bahkan melakukan aktifitas menjijikkan itu berulang, hingga membuat Galih lupa waktu dan terlambat pulang.   Niatnya yang tak ingin pulang pun ia urungkan sebab Lusi terus saja mendesaknya supaya mau pulang dan merayakan hari jadi pernikahannya bersama Alya.   Tetapi, sesampainya di rumah justru Galih tidak mengucapkan selamat kepada Alya. Ia hanya menorehkan luka dan menambah kepedihan wanita itu dengan sikap tak acuhnya.   Alya menarik kursi perlahan lalu mendaratkan tubuhnya di atas kursi berbahan kayu jati tersebut. Tas kerja Galih yang masih di genggaman ia letakkan di atas meja.   "Mas Galih bahkan tidak mengucapkan selamat hari jadi pernikahan kami," gumamnya lagi yang di akhiri satu helaan nafas berat. "Kenapa kamu berubah Mas? Kamu seperti bukan Mas Galih yang aku kenal dulu. Yang hangat dan penuh perhatian padaku." Alya tersenyum getir ketika membandingkan sikap Galih yang dulu dengan yang sekarang. Ada begitu banyak perbedaan.   "Sudahlah, lebih baik aku tidur saja." Alya mencoba untuk berhenti memikirkan semua masalah yang menimpa rumah tangganya. Ia juga sudah tak berselera makan karena Galih sudah membuat nafsu makannya enyah hingga tak bersisa.   ###   Setelah memutuskan untuk naik ke kamar atas, Alya mendapati Galih sudah terlelap dengan tenangnya di peraduan. Lelaki itu tampaknya kelelahan lantaran pergumulan panas yang menguras banyak energinya beberapa jam yang lalu bersama Lusi.   Kemudian Alya berjalan mendekat lalu duduk di samping ranjang tidur. Menatap Galih yang sudah terbuai ke alam mimpi dengan tatapan memuja. Jemarinya yang lentik terulur mengusap rahang Galih yang di tumbuhi bulu-bulu halus.   "Aku merindukanmu, Mas. Aku rindu sentuhanmu. Aku rindu Mas Galih yang dulu. Aku rindu kehangatanmu," Alya berucap lirih sembari menyusuri rahang kokoh milik Galih dengan penuh damba.   Yah... Memang hampir tiga bulan ini Galih sudah jarang menyentuhnya. Jangankan menyentuh, memeluk saja Galih sudah tidak pernah melakukannya. Sebagai wanita normal tentu Alya menginginkan hal itu. Tetapi, Galih sama sekali tak ingin mengerti. Mengacuhkan Alya dan mengabaikan kewajibannya.   Netra Alya seketika memicing saat secara tak sengaja ia melihat sebuah tanda merah yang tercetak di leher sang suami.   "I--ini?" Alya terkesiap kala ia menajamkan penglihatannya setelah kerah piyama tidur Galih ia singkap sedikit.   _   _   Tbc...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN