6. Ngajak War

1639 Kata
BINTANG Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Gendhis sebelum gadis itu pergi ke kamar membuatku teringat lagi pada momen ketika papanya Sachika yang sedang koma beberapa jam tiba-tiba sadar. Momen itu menjadi awal mula terciptanya pernikahan terpaksa yang dimaksud oleh Sachika tadi. Hari itu saya sedang tidak ada jadwal mengajar pagi dan juga tidak memiliki kepentingan yang mengharuskan saya berada di kampus pagi-pagi. Namun pintu kamar saya digedor oleh Ibu yang meminta saya untuk segera bangun. Mengintip pada jam dinding ternyata masih menunjukkan pukul enam pagi. “Ada apa, Bu?” “Kamu kenapa ada di rumah? Bukannya sedang ada di Jakarta nemenin Gendhis?” “Ibu cuma minta tolong supaya aku ngantar cewek itu. Udah kemarin. Tugasku udah selesai ya, aku pulang. Mau ngapain lagi?” “Kamu pasti nggak tahu kalau papanya Gendhis tadi pagi sadar?” “Ya mana aku tahu, Bu.” Ibu berdecak keras. “Sekarang mendingan kamu siap-siap. Antar Ibu ke Jakarta.” “Ke Jakarta lagi? Bu, Jakarta Bandung itu jauh loh. Yang bener aja aku disuruh bolak balik Jakarta Bandung untuk mengurusi hal yang bukan kepentinganku.” “Udah jangan banyak cingcong. Buruan mandi trus sarapan. Jangan bikin alasan mau ke kampus. Ibu tahu kamu hari ini free,” ujar Ibu lalu pergi begitu saja dari hadapan saya. Akhirnya dengan langkah malas dan tak ingin dicap sebagai anak durhaka saya menyeret langkah malas menuju kamar mandi. Kalau Ibu yang membuat titah, bahkan pimpinan di rumah ini pun tidak akan bisa menolak. Sekitar pukul sembilan pagi saya dan Ibu sudah tiba di Jakarta. Setelah berputar-putar mengikuti petunjuk Map di ponsel akhirnya sampai juga di rumah sakit yang menjadi tujuan kami. Rute yang saya lewati waktu mengantar Sachika ke rumah sakit berbeda dengan yang kini sedang saya lalui saat ini. Waktu itu juga saya tidak perlu repot-repot melihat Map karena ada Sachika sebagai navigasinya. Sebelum mesin mobil dimatikan Ibu terlihat sibuk menghubungi seseorang. Nggak tahu siapa. Saya hanya menjadi pendengar saja. “Makasih banyak ya, Jeng. Ini saya sama Bintang mau jalan dari parkiran,” ujar Ibu kemudian memintaku untuk bergegas keluar dari mobil. “Ibu aja. Aku tunggu di mobil.” “Ikut atau Ibu seret kamu!” “Duh, Gusti…” keluh saya tapi pada akhirnya tetap keluar juga dari mobil. Dengan sok tahunya ibu terus melangkah cepat entah ke mana. Sebenarnya saya juga tidak terlalu mengingat jalan-jalan menuju ruang ICU karena waktu itu kondisinya malam hari dan diantar oleh security. Jadi saya berusaha mengikuti langkah cepat Ibu yang sudah seperti sedang mengejar produk diskon besar-besaran di mall. Di tempat pos penjagaan saya lihat cewek itu sedang menunggu. Ibu bergegas melangkah dan mendekat ke arahnya. Setelah dekat Ibu menolak disalami tangannya tapi sebagai gantinya Ibu memeluk dan mencium kedua pipi cewek itu. Sementara pada saya dia hanya menundukkan kepala lalu memberi jalan pada Ibu setelah melaporkan pada petugas yang sedang berjaga kalau saya dan Ibu adalah keluarga pasien. Dia lalu menyerahkan kartu khusus penjaga pasien pada petugas penjagaan. Kemudian saya mengikuti langkah mereka dari belakang. “Gimana keadaan papanya, Neng Geulis?” tanya Ibu saat berjalan bersisian dengan Sachika lengkap sambil mengamit lengan cewek itu. “Tadi pagi tiba-tiba sadar, Tante. Tapi Gendhis bingung nggak tahu mesti seneng atau sedih.” “Loh, kenapa gitu?” Sachika cuma mengedikkan kedua bahunya pelan. Saya lihat Ibu melepas tangan yang sedang mengamit lengan Sachika, kemudian menukarnya dengan membelai kepala cewek itu. “Tetap doakan papanya, ya, Neng. Insyaallah, Papa akan segera pulih dan bisa berkumpul lagi sama keluarga,” kata Ibu dengan penuh kelembutan. Saya benar-benar speechless. Ternyata Ibu bisa bicara lembut seperti itu. Kalau cerita pada Ayah kira-kira Ayah bakal percaya nggak ya? Istrinya yang kalau bicara bisa bikin kerumunan semut buyar, tiba-tiba jadi lemah lembut seperti ini. Saat sedang membayangkan reaksi Ayah kalau tahu kenyataan baru soal Ibu, eh, tiba-tiba Ibu berjalan cepat menuju ke tempat mamanya Sachika. Meninggalkan Sachika berjalan sendirian setelah menepuk pelan bahu cewek itu. Kemudian dua wanita itu asyik mengobrol di deretan kursi tunggu sebelah kanan pintu ruang ICU. Sementara saya mengikuti jejak Sachika yang sudah lebih dulu duduk di kursi tunggu sebelah kiri ruang ICU. Saya dan Sachika sama sekali tidak terlibat dalam obrolan apa pun. Yang dia lakukan hanyalah bermain ponsel dan tidak peduli sekitarnya. Apa saya keberatan? Tentu saja tidak. Terserah dia mau berbuat apa juga saya tidak peduli. Merasa Ibu akan lama di tempat ini saya memutuskan untuk pergi saja setelah menyapa mamanya Sachika. ~~ GENDHIS Satu minggu sudah berlalu sejak pernikahanku dengan Bintang. Selama itu juga aku sama sekali nggak pernah nongol di kampus. Bahkan di kelas Zayyan, dosen muda lain yang kelasnya juga diikuti olehku. “Kemana aja lo nggak nongol di kampus udah seminggu ini?” tanya Abil begitu menyambut kehadiranku di depan kelas. “Gue nggak tega ninggalin Nyokap sendirian,” kilahku. “Oya, gimana keadaan Nyokap lo?” “Masih sedih banget. Bokap nggak sadar lagi seminggu setelah tiba-tiba sadar. Itu yang bikin Bokap nggak bisa keluar dari ICU. Trus tiba-tiba Bokap meninggal dalam keadaan koma.” “Trus sekarang gimana?” “Ada tante sama Om gue gantian nemenin Nyokap. Gue nggak enak absen mulu udah berapa hari ini. Nyokap juga maksa gue supaya balik ngampus. Lo bawa apa itu?” tanyaku melihat kotak bekal di tangannya. “Oh, ini. Nyokap tadi bikin kue cubit. Mau gue kasih buat Pak Bintang,” jawab Abil sambil tersenyum manis. Tak berselang lama orang yang namanya baru saja disebut oleh Abil berjalan di koridor menuju kelas ini. Mahasiswa yang tadinya berada di koridor dan di depan kelas buru-buru masuk dan mencari kursi strategis. Tak terkecuali aku dan Abil. Penasaran rasi bintang si Bintang itu apa, sih. Bisa-bisanya dia memiliki kekuatan kosmic yang begitu kuat sehingga membuat para mahasiswanya itu menjadi patuh tanpa dia perlu repot-repot menunjukkan kuasanya sebagai seorang dosen. “Ngeri amat tatapan Yang Mulya Bapak Bintang?” tanyaku pada Abil dengan nada bercanda. “Yaelah. Emang begitu kali tatapannya dari dulu. Lo itu yang kemana aja selama ini?” “Gue nggak kemana-mana. Betewe ada berita apa selama seminggu gue nggak masuk?” “Nggak usah ngarep berita apa-apa. Lo bukan selebgram.” “Sialan lo,” jawabku sambil tertawa kecil. Bintang sudah berdiri di depan meja menghadap ke arah mahasiswa. Dia menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Sempat berhenti sebentar saat beradu tatap denganku, tapi kemudian dia membuang muka dan melanjutkan aktivitasnya. “Selamat pagi,” sapa Bintang. Kemudian dibalas seluruh mahasiswa yang hadir di kelas ini termasuk aku. “Selamat pagi, Pak Bintang.” “Kelas ini lengkap pagi ini?” tanya Bintang seraya mengenakan kacamatanya. “Lengkap, Pak. Neng Sachika yang paling geulis udah masuk,” jawab Astana kemudian senyum usil padaku. Otomatis membuat kelas menjadi riuh gara-gara ulah cowok itu dan seluruh pasang mata juga kini tertuju padaku. Bintang tampak tidak peduli. Dia bahkan tidak ada niatan untuk membuat kelasnya yang mendadak gaduh menjadi tenang. Dia malah mengambil sebuah buku tebal lalu hanya dengan sekali dehaman kelas yang tadinya ricuh kini menjadi hening hanya dalam hitungan detik. “Sachika!” Aku refleks mengangkat tanganku ketika nama depanku disebut. Awalnya aku santai karena mengira Bintang mungkin sedang mengabsen mahasiswanya. Namun kedua mataku melotot ketika tangannya terangkat dan memberi kode agar aku datang padanya. “Dhis! Dipanggil Pak Bintang,” ujar Abil sambil menyikut lenganku. Buru-buru aku bangkit dari bangku dan mendatangi Bintang. “Ya, Pak?” tanyaku setelah berdiri di hadapan laki-laki tanpa senyum sedikitpun itu. “Kamu sudah melewatkan kelas saya selama seminggu ini tanpa kabar. Mau minta nilai D atau E untuk mata kuliah saya?” “Ma, maaf, Pak. Saya ada kepentingan keluarga.” Sumpah ya! Pengen gue hujat si Bintang ini. Gue nggak masuk juga karena sibuk nikah sama lo! “Apa kamu sudah berkeluarga?” tanya Bintang dengan tampak tak berdosa. Wah! Ngajak war beneran dia! “Maksud saya bukan gitu, Pak.” “Lalu?” Duh, Bintang. Gue tandain lo ya. Jelas-jelas dia tahu kalau aku sibuk apa selama seminggu ini. Pakai nanya aku kemana aja. Bukannya menjawab pertanyaan Bintang, aku terus mengomel dalam hati. Dia benar-benar sukses mempermalukan aku di kelas karena saat ini kelas mendadak riuh oleh suara tawa dari semua mahasiswa yang sedang menertawakanku. “Maaf, Pak.” “Kamu menyepelekan mata kuliah saya, makanya tidak memberi kabar kenapa tidak masuk kelas saya selama seminggu ini?” “Saya sibuk, Pak. Jadi nggak sempat mengabari Pak Bintang,” jawabku mulai ketakutan. “Oke, kamu ngulang mata kuliah saya di semester berikutnya.” “Yach, kok gitu? Jangan dong, Pak. Semester ini aja masih ada dua bulan lagi. Masa udah diputusin begitu aja saya harus ngulang? Lagipula mata kuliah yang ini adanya cuma di semester genap. Kalau ngulang artinya masih semester genap tahun depan, Pak.” “Itu urusan kamu. Tidak ada urusan dengan saya. Lagian itu konsekuensi dari mahasiswa yang terlalu santai seperti kamu. Ini berlaku juga untuk yang lain,” ujar Bintang. Dan detik itu juga kelas kembali hening tanpa suara sedikitpun. “Pak, kasih keringanan, please. Ganti dengan tugas juga nggak apa-apa.” Aku berusaha merayu Bintang. Aku meletakkan sejenak rasa gengsiku demi bisa lolos dari hukuman berat ini. “Baiklah. Kalau itu mau kamu,” jawab Bintang santai tapi aku justru merasakan firasat buruk dari sikapnya yang terlalu tenang itu. Dan benar saja, Bintang membuat coretan-coretan di kertas lalu menyerahkan buku tebal yang tadi dipegangnya kepadaku. Dia lalu berkata, “Buat rangkuman materi yang saya tulis di kertas itu. Pakai tulisan tangan dan serahkan pada saya tiga hari lagi.” “Pak! Nggak salah ini? Banyak banget bab yang harus dirangkum. Mana nulis tangan tiga hari doang? Nggak nutut, Pak.” “Kita mulai kelas hari ini,” balas Bintang tanpa memedulikan rengekanku. Dia melanjutkan acara mengajarnya sementara aku terdiam berdiri seperti kambing congek menatap penuh harap dia mengurangi sedikit hukumannya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN