GENDHIS
Saat aku pulang ke rumah nggak menemukan Bintang di manapun. Mungkin dia belum pulang atau sibuk ngelayap nggak tahu ke mana bukan urusanku. Padahal aku mau buat perhitungan atas perbuatan semena-menanya tadi pagi di kampus. Aku akan melanjutkan protesku untuk mengurangi tugas konyol yang tadi pagi diberikannya padaku. Namun hingga pukul sepuluh malam Bintang belum menunjukkan tanda-tanda pulang. Akhirnya aku mengantuk dan memutuskan untuk tidur.
Mataku terbuka saat mencium aroma lezat yang mengganggu tidur nyenyakku. Aku belum mendengar suara alarm dari ponselku, artinya jam belum menunjukkan waktu bangun yang sudah aku tentukan semalam. Namun ketika aku mencoba terlelap kembali aroma lezat itu justru membuat mataku semakin terbuka lebar. Arrghh…dengan berat hati aku menyeret tubuh meninggalkan ranjang. Kulihat sofa bed sudah kosong dan rapi. Artinya Bintang sudah bangun. Kulirik jam dinding, jarum pendeknya belum menyentuh angka lima dan jarum panjangnya berada di angka sembilan. Pantas saja alarm ponselku nggak berbunyi, ternyata belum jam lima tepat.
Siapa yang masak pagi buta seperti ini ya? Bibi Erna baru datang pukul tujuh pagi nanti. Dan aroma masakannya juga bukan khas masakan Bibi Erna. Aku lantas bergegas keluar kamar untuk mencari tahu di dapur. Ternyata Bintang sedang berdiri menghadap ke arah kompor dan otomatis memunggungiku. Mencari tahu lebih jauh apa yang sedang dikerjakan Bintang di sana, aku mempercepat langkahku menuju dapur.
“Ommo, Mas Dosen lagi masak. Keajaiban dunia dari mana ini, kulkas empat pintu ternyata bisa masak, gaes!” seruku dalam hati. Punggung lebarnya itu seolah sedang memanggilku agar datang mendekat padanya. Namun aku akan jual mahal untuk tidak melakukan hal-hal bodoh seperti memeluknya dari belakang.
Aku lalu memutuskan untuk nggak menunjukkan tanda-tanda kehadiranku di dapur karena ingin melihat semua hal yang dikerjakan Bintang dari jarak dekat. Namun tiba-tiba perutku menimbulkan suara aneh dan memalukan. Hal itu membuat Bintang tiba-tiba menoleh ke belakang. Aku bergegas membuang muka dan berbalik badan. Selain karena malu aku juga masih sebal pada kelakuannya semalam.
“Eh, Chik! Mau ke mana?” tegur Bintang.
“Mau ke WC. Ada panggilan alam,” jawabku lalu bergegas meninggalkan dapur.
Aku menghabiskan waktu di kamar mandi sekitar setengah jam. Saat kembali ke kamar, Bintang nggak ada di kamar itu. Aku nggak peduli dia sedang ada di mana sekarang. Aku segera bersiap untuk ke kampus. Dua puluh kemudian aku sudah siap dan keluar dari kamar. Saat melintas di ruang tengah terdengar suara Bintang memanggil namaku. Namun aku pura-pura nggak dengar dan melanjutkan langkah keluar rumah.
“Chika!” panggil Bintang dan sepertinya dia menghampiriku. “Kamu nggak dengar aku panggil-panggil?”
“Dua kali doang udah kayak manggil belasan kali,” responku.
“Kamu masih marah soal kemarin?”
“Ada apa manggil aku?” balasku tanpa menjawab pertanyaannya.
“Aku bikin sarapan buat kamu. Makan dulu ya, sebelum berangkat.”
Aku mencebikkan bibir bawahku. “Nyogok nih ye?”
“Ya udah kalau nggak mau,” balas Bintang tak acuh.
“Ya, deh, kalo kamu maksa.”
“Nggak ada ya, aku maksa kamu,” balas Bintang nggak terima pada asumsiku.
“Terserah,” jawabku lalu berbalik badan dan berjalan ke arah ruang makan.
Di atas meja makan sudah tersaji sebuah mangkuk berukuran besar berisi nasi goreng yang masih mengepul asapnya, lengkap dengan udang yang menggugah selera bertabur di atasnya. Di piring lain ada lauk lain seperti sosis dan nugget. Pendirianku yang ingin menolak tawaran Bintang sebagai bentuk protesku atas sikap menyebalkannya semalam detik itu juga lenyap terbawa angin.
“Makasih ya, Mas Dosen. Makan bareng yok!” ajakku setelah duduk manis di kursi makan.
“Nggak, aku nanti saja kalau udah lapar.”
“Ayolah, temani aku makan. Pliiisss…” mohonku. Tak ketinggalan menunjukkan mimik wajah penuh harap.
Tak lagi protes Bintang menarik salah satu kursi makan yang berhadapan langsung denganku lalu ikut gabung menikmati sarapan buatannya denganku. Enak banget nasi goreng buatan Bintang. Nggak sia-sia aku melunturkan segala keangkuhan dalam diri ini untuk melupakan kekesalanku semalam. Ternyata aku semurah ini. Disogok nasi goreng doang udah luluh. Udah ya, Bintang. Cukup sekian dan terima kasih. Jangan bikin aku jatuh luluh lebih dalam lagi.
~
Selesai kuliah jam ke nol, aku mengajak Abil makan seblak di kantin kampus. Sambil makan aku mengutarakan niatku untuk pindah kos pada Abil.
“Pindah ke mana lo? Kosan ortu gue kenapa? Ada masalah lo sama penghuni kosan yang lain? Bilang gue biar gue tegur anak itu,” ujar Abil menggebu-gebu. Reaksi yang sudah aku prediksi jauh-jauh hari.
“Almarhum Bokap gue beliin gue rumah. Lokasinya agak jauh dari kampus. Gue diminta nempatin rumah itu sama Nyokap.”
“Serius lo? Di daerah mana rumah lo?”
“Sorry, Bil. Kali ini gue nggak bisa bilang ke lo. Tapi nanti gue bakal bilang. Gue di rumah itu tinggal sama kakak sepupu Bokap gue. Nah, dia yang minta gue buat ngerahasiain tempat tinggal kami dari siapapun.”
Kemudian aku menjelaskan bahwa selama beberapa hari ini tidak pulang ke kosan bukan karena sedang menemani Mama tinggal di rumah kerabatnya, melainkan karena sudah tinggal di rumah pemberian Papa bersama kakak sepupu abal-abalku. Abil lantas memicingkan mata menatapku penuh selidik. Sepertinya dia tidak bisa percaya begitu saja pada ceritaku.
“Kakak sepupu lo intel? Apaan banget maen rahasia-rahasiaan gitu?” ujar Abil sambil cemberut.
“Emang yang boleh maen rahasia-rahasiaan cuma intel doang?” balasku sambil menahan tawa.
“Lo seriusan mau pindah?” Wajah Abil kini berubah sedih.
“Iya serius.”
“Trus gue nanti maen sama siapa kalo nggak ada lo, Dhis?”
“Ya, tetap sama gue. Gue cuma pindah kosan, anjir. Bukan pindah kota apalagi negara.”
“Tetap aja. Pasti akan ada yang kurang kalo di kosan nggak ada lo.”
“Dah, ah. Nggak usah berlebihan lo. Mending lo bantu gue packing soalnya gue kudu pindah dalam tiga hari ini sebelum jatuh tempo bayar kos.”
Abil masih manyun, seolah sedang menunjukkan ketidaksetujuan aku pindah kos ditamah aku merahasiakan tempat tinggal baruku. “Maafkan kawanmu ini yang belum bisa membagi rahasia terbesar dalam hidupnya, Nabila.” Kemudian aku segera menarik tangan Abil bangkit dari kursi kantin dan mengajaknya kembali ke kosan.
Selang sepuluh menit kemudian aku dan Abil mulai membereskan barang-barang yang ada di dalam kamar kosanku. Kami kerja bakti sambil mengobrol dan bercanda hingga tak terasa sudah dua jam sudah terlalui oleh aktivitas menyenangkan ini. Aku mengajak Abil beristirahat menikmati pizza dan cola pesanan kami sambil membuka media sosial masing-masing.
“Gendhiiis! Omegod! Ya, Tuhan… Potek hati gue, Dhis. Demi apa ini Pak Bintang udah punya awewek. Mana geulis pisan eta si aweweknya,” seru Abil membuat detak jantungku berhenti seketika.
Waduh kok bisa foto aku dan Bintang beredar di media sosial??? Perasaan aku dan Bintang nggak pernah menunjukkan kebersamaan kami di tempat umum selama beberapa hari terakhir setelah kami menikah. Ya, ampun… gimana cara jelasinnya sama Abil ya?
~~~
^vee^