BINTANG
Papa Sachika memberi kado pernikahan untuk Sachika berupa rumah bergaya mediterania dengan dua lantai supaya kami bisa belajar hidup mandiri. Rumah itu dibeli di Bandung lewat orang tua saya. Ternyata orang tua kami sudah mempersiapkan perjodohan ini jauh hari sebelum mereka membuat kamu saling berkenalan satu sama lain.
Saya merasa senang bukan karena diberi rumah oleh mendiang papa Sachika. Tetapi saya merasa senang karena akhirnya tidak perlu tinggal di rumah orang tua saya. Sebenarnya saya punya unit apartemen, tapi saya belum siap unit itu ditinggali oleh orang asing selain saya sendiri. Terlalu banyak rahasia pribadi saya di dalam sana yang tidak ingin saya bagi pada siapapun. Saya akan menjadikan unit itu sebagai tempat singgah saja ketika saya sedang enggan berada di dalam ruangan yang sama dengan gadis itu. Kalau dipikir-pikir kondisi seperti ini masih jauh lebih baik daripada harus tinggal bersama orang tua saya. Akhirnya saya tidak punya pilihan selain menerima rumah itu sebagai tempat tinggal saya dan Sachika.
~~
GENDHIS
Papa kenapa kasih kado pernikahan berupa rumah sih? Tabungan kek, atau deposito jangka panjang gitu. Kalau rumah kan artinya aku harus harus tinggal serumah dengan orang baru dalam hidupku. Karena sifatku yang mudah overthinking, aku merasa khawatir Bintang bukanlah orang baik seperti penilaian orang tuaku. Jadi aku meminta diberikan seorang pembantu rumah tangga dan seorang penjaga rumah yang bisa merawat sekaligus melindungiku pada Mama.
Hidup serumah bukan berarti tanpa masalah. Sebenarnya aku nggak merasa keberatan kami berbagi kamar tidur, lemari pakaian, kamar mandi bahkan tidur seranjang, selama Bintang nggak ikut campur urusanku. Namun tanpa memberi alasan yang jelas Bintang memutuskan untuk meminta adanya pemisahan wilayah teritorial di dalam rumah. Kami lalu sepakat untuk membagi rumah itu menjadi dua zona yakni zona publik dan zona privasi. Di mana zona publik artinya bisa digunakan oleh kami berdua dan ditandai dengan pita warna hijau yang ditempel di beberapa tempat. Sementara zona privasi artinya boleh digunakan oleh pemiliknya saja, ditandai dengan dua warna pita yakni biru adalah zona privasi Bintang, dan merah muda zona privasiku. Namun salah satu kamar masih belum ada perabotan di dalamnya karena itu yang akan menjadi kamarku dan aku belum sempat pindahan dari kosan karena masih cari alasan yang tepat pada Abil, akhirnya untuk sementara aku terpaksa tidur sekamar dengan Bintang.
“Malam ini aku boleh tidur di kasur nggak? Lagi nggak enak badan takut sulit tidur kalau di sofa bed, besok ada kelas pagi,” pintaku malam ini.
“Oke,” jawab Bintang singkat tanpa penolakan sedikit pun.
Aku mulai pusing menghadapi Bintang dan sifat pendiamnya itu. Mana nggak ketebak lagi emosinya. Seperti malam ini, aku kira dia akan keberatan lalu tetap ngotot nyuruh aku tidur di sofa bed seperti beberapa malam sebelumnya. Kenyataannya nggak gitu. Bingung banget, Gusti. Kenapa Papa mesti secepat ini ninggalin aku dan menyiapkan pernikahan dengan cowok modelan kulkas empat pintu itu.
“Mas Bintang?” panggilku. Saat ini kami sedang menonton acara televisi di ruang tengah. Aku yang nonton, Bintang sedang sibuk dengan laptopnya.
“Apa lagi, Chik?”
“Kok, Chik?”
“Ya, nama kamu Sachika, kan? Kepanjangan kalau dipanggil Sachika. Jadi mulai sekarang aku panggil Chika,” jawab Bintang tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari laptop. Apa aku tidak lebih cantik dari laptop itu Bapak Bintang?
“Tapi aku lebih suka dipanggil Gendhis.”
“Aku nggak akan menyukai hal-hal yang kamu sukai. Begitu juga sebaliknya.”
“Astaga…Apa yang sedang kamu katakan padaku itu kejam, Mas. Teganya kamu!” ujarku dengan nada bicara ala-ala sinetron.
Mau tahu reaksinya Bintang? Cowok itu cuma noleh lalu melirik sekilas dan kembali fokus lagi. Ya, bener dia sekarang lebih fleksibel gaya bicaranya. Lebih santai daripada sebelum-sebelumnya. Tapi sikap dingin dan acuh tak acuhnya itu belum berubah. Mang boleh sediam ini?
“Mas Bintang?” panggilku lagi selang beberapa menit kemudian.
“Hemm?” jawabnya dalam gumaman.
“Aku itu orangnya emang nggak cerewet-cerewet banget. Tapi kalo ada orang di samping aku dan aku kenal orang itu trus nggak ngobrol sama sekali itu juga nggak enak,” ujarku.
“Trus?”
“Bisa nggak kalau lagi berduaan gini meski nggak skinship apalagi mesra-mesraan layaknya pasangan suami istri pada umumnya tapi kita masih tetap ngobrol. Nggak usah ngobrolin hal-hal yang berat kayak perekonomian dan politik negara ini. Obrolan receh aja. Ngobrol-ngobrol santai gitu, loh. Aku juga nggak minta Mas Bintang jadi suami-suami romantis kayak di n****+-n****+. Kita temenan aja bisa, kan? Biar nggak terlalu canggung gitu,” orasiku.
Bintang cuma manggut-manggut. “Bisa-bisa aja,” jawabnya.
“Aku sebenarnya juga nggak tau hubungan ini akan berlangsung lama atau singkat. Tapi aku akan mencoba menjalani hidup sebagai istri dari seorang laki-laki bernama Bintang Yuwaraja dengan sebaik-baiknya,” ujarku lalu tersenyum lebar. Senyumku berubah jadi cengiran ketika Bintang menatapku cukup lama tanpa senyum sedikitpun. “Aku mau curhat boleh nggak?”
“Curhat apa?” balasnya lalu mengembalikan lagi fokusnya ke semula. Layar laptopnya.
“Sebenarnya aku itu punya tujuh orang suami, loh, Mas.” Aku sengaja becandain dia saking pengen tahu reaksinya menanggapi obrolan recehku.
“Mau nyaingin Drupadi, dong.”
Aku melongo seketika. Awalnya nggak nyangka dia akan memberi tanggapan. Aku kira dia hanya akan mendengus lalu nunjukin gestur jengah gitu. Ternyata dia mau mencoba memahami kerecehan istrinya ini. Aku terhura. Tapi detik kemudian aku menampilkan wajah cengo karena nggak tahu siapa Drupadi yang dimaksud Bintang.
“Drupadi siapa?” tanyaku.
“Googling aja. Punya smartphone itu digunakan untuk mencari informasi yang baik-baik.”
Emang nggak bisa lihat orang seneng sebentar aja lu! “Cuma tinggal bilang Drupadi itu siapa susah banget,” dumelku.
“Drupadi itu istrinya Pandawa dalam kisah pewayangan Mahabaratha. Pandawa itu sebutan untuk lima laki-laki bersaudara dalam Mahabaratha. Nah, makanya tadi aku bilang kamu mau nyaingi Drupadi waktu bilang punya tujuh suami.”
“Oh, gitu. Tapi kamu nggak pengen tahu gitu siapa tujuh suami aku itu?”
“Nggak,” jawabnya, singkat, padat dan jelas.
“Ish…Kok gitu, sih? Tanya dong. Nanti aku kenalin kamu ke mereka bertujuh.”
“Nggak.”
“Nggak ada jawaban lain apa?”
“Nggak ada.”
“Nyebelin banget kamu, tuh. Udah nikah terpaksa, nikahnya sama kulkas empat pintu!” ujarku kemudian berdecak dan segera angkat kaki dari sofa tempat kami berada selama beberapa menit terakhir.
“Eh, kamu mau ke mana?”
“Bobok cantik! Biar nggak mati muda gara-gara suka begadang!”
Aku benar-benar pergi dari hadapan Bintang untuk kembali ke kamar. Sebenarnya aku bukan cuma sebel sama dia aja. Tapi aku juga ngantuk. Besok harus bangun pagi karena sekarang jarak rumah ke kampus agak jauh. Jadi aku harus effort berangkat lebih awal dari biasanya. Mana Bintang nggak mau ngantar aku sekalipun kondisinya kepepet. Gini amat kehidupan pernikahan? Punya suami kayak nggak punya suami.
~~~
^vee^