11. Dave Sialan

1194 Kata
Dave melangkah mendekati mini bar yang didesain dengan cukup efisien. Dia memerhatikan barisan botol minuman dari berbagai merek yang terpajang di etalase kaca. Bentuk botol-botol itu sangat beragam. Apa yang membuatnya lebih tertarik adalah merek yang tertempel di masing-masing botol. Semuanya ternyata merek luar negeri. Bagaimana dia bisa tahu? Tentu saja itu karena Dave sendiri sangat menyukai minuman beralkohol. “Kau menyukai alkohol?” tanya Dave. “Alkohol adalah barang mewah,” balas Grize. Daripada membeli tas branded dia lebih suka membeli alkohol untuk koleksi. Sejujurnya dia tidak terlalu hidup dengan glamour. “Jadi kapan kita akan pergi?” tanya Grize yang merasa sedikit tidak sabar. “Kau memang sesuatu,” komentar Dave. Dia tersenyum samar lalu berjalan keluar apartemen. “Ayo pergi,” katanya. Grize pun melangkah mengikuti Dave. “Kali ini aku tidak akan formal denganmu,” ucapnya sambil menguncikan pintu. “Mm,” balas Dave singkat. Grize tidak peduli dengan tanggapan singkat dari Dave. Lagi pula apa yang bisa dia harapkan dari pria itu? Rasanya tidak mungkin menjadi banyak bicara. Mereka melangkah menuju lift yang tidak begitu jauh. Jika orang lain tidak tahu, mereka pasti akan berpikir kalau mereka adalah sepasang kekasih. Grize menekan tombol lift. Tentu saja dia masih harus membuat segalanya nyaman untuk Dave. Dia sudah terbiasa melakukan segalanya untuk Pak Edward. Setelah mereka masuk ke lift, Grize melihat penampilan Dave dari pantulan dinding lift. Pria itu sekarang mengenakan pakaian yang terlihat casual. Kemeja biru mudanya dipadukan dengan celana jeans hitam. Itu mungkin terlihat santai dan sederhana. Namun, kharisma dan dominasinya masih tidak bisa disembunyikan. Siapa pun akan menilai bahwa Dave adalah pria yang kaya. Mereka saling diam sampai lift berdenting pertanda bahwa mereka sudah tiba di lantai bawah. Mobil Dave terparkir di depan gedung apartemen, mereka pun segera melangkah ke sana. Tidak butuh waktu yang lama sampai akhirnya mobil mulai mengaspal dengan kecepatan tinggi. *** Sudah satu jam lebih dan mobil Dave akhinya melewati gerbang utama sebuah perumahan besar di kawasan suburban. Pemandangan hijau yang menyegarkan mata langsung menyambut kedatangan mereka. Mobil itu tidak berhenti, terus melaju hingga memasuki salah satu cluster yang cukup besar. Grize membuka kaca jendela agar diperbolehkan masuk oleh satpam yang berjaga di gerbang cluster. Dia tersenyum dan satpam pun langsung membuka portal penghalang. “Dave, aku harap kau bertindak dengan serius di depan orang tuaku,” ucap Grize untuk mengingatkan Dave. “Aku tahu,” balas Dave dengan santai. Grize tidak mengatakan apa-apa lagi. Di permukaan dia tampak tenang, tetapi Tuhan tahu bahwa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia memberi arahan sedikit pada Dave sampai akhirnya mobil itu tiba di depan rumah berlantai tiga. Itu adalah rumah dengan gaya klasik khas Italia. Seluruh bangunan didominasi oleh warna putih dan kuning gading. Di sini tidak ada gerbang rumah jadi mobil langsung terparkir di halaman. Grize keluar dari mobil dengan wajah senang. Sudah hampir satu bulan dia tidak pulang. Namun, rasanya sedikit aneh ketika dia harus pulang membawa pria asing yang akan diakuinya sebagai kekasih. Senyum Grize sedikit merenggang. Dia mendekati Dave dan tanpa malu-malu menggandeng lengannya. “Sayang, jangan sungkan ya ....” Dave hanya mengangkat kedua alisnya. Kemudian tangganya diselipkan ke pinggang sempit Grize. Mereka terlihat begitu dekat dan intim. Ya, mungkin seperti pasangan pada umumnya. Di balik jendela, Heri dan Naya sedang berdiri saling berdekatan. Mereka menyibak tirai sedikit untuk mengintip pasangan pria dan wanita yang kini berjalan mendekat ke pintu depan. “Poin pertama, mereka terlihat dekat dan normal,” ucap Naya lirih. “Minus, pria itu kurang ekspresi,” kata Heri. “Justru itu akan menjadi poin tambahan.” Naya berkata dengan cukup senang. “Pria yang pendiam dan tanpa ekspresi seperti itu biasanya sekali menyukai wanita pasti akan memperjuangkannya. Dan lagi, biasanya juga banyak diminati oleh wanita zaman sekarang,” tambah Naya. Heri menggelengkan kepala tidak setuju. “Itu berarti akan memberikan banyak saingan untuk Grize di masa depan,” protesnya. Naya malas berdebat dengan suaminya sekarang. Jadi dia melanjutkan, “Poin ke tiga, pria itu juga tampan.” “Aku lebih tampan beberapa tahun yang lalu,” timpal Heri. “Jika dulu kau tidak tampan aku tidak akan mau menikah denganmu,” ejek Naya yang mulai merasa kesal. “Jangan banyak bicara! Atau malam ini aku akan memunggungimu di tempat tidur!” Naya mengancam. Heri pun langsung terdiam. Dia merangkul istrinya sambil terkekeh malu. “Heheh. Aku tidak akan menyela lagi.” Naya mendengkus. Kemudian dia ingin kembali menilai Dave, tetapi tiba-tiba pintu rumah terdengar seperti sedang dibuka. Akhirnya dia langsung menyeret Heri untuk menjauh dari jendela. “Sssttt! Jangan sampai ketahuan kita sudah mengintip,” ucap Naya setelah akhirnya tiba di depan ruang keluarga. “Baiklah, baiklah.” Heri mengangguk mengerti. “Ayah, Ibu, Grize pulang!” seru Grize sambil berjalan masuk. Dia melihat Dave dan membawanya duduk di sofa putih ruang tamu. “Ah, Grize, kau sudah pulang?” tanya Naya yang muncul dari ruang keluarga. Dia tidak terkejut karena Grize sendiri memang memegang kunci rumah. “Ini ... apakah ini kekasih yang kau bicarakan?” Grize tidak melepaskan gandengan tangannya di lengan Dave. Dia tersenyum dan mengangguk. “Benar. Apa Ibu menyukainya?” Sebelum Naya sempat menjawab, Heri langsung keluar dari ruang keluarga juga. Ayah Grize itu terkekeh dan menyuruh Naya untuk membuatkan minuman. Kemudian dia sendiri duduk di sofa. Wajahnya terlihat berbeda. Sepertinya lebih mengintimidasi dari biasanya. Grize menjadi sedikit cemas. Takut jika Dave tidak bisa diandalkan. Namun, dia merasa lebih lega saat Dave menyapa ayahnya tanpa merasa canggung. “Salam, Paman. Senang bertemu denganmu,” ucap Dave. “Hmm.” Heri mengangguk. Sikap mengintimidasinya langsung lenyap saat dia mulai tersenyum pada Dave. “Jangan sungkan di sini. Jadi, siapa namamu?” “Saya Dave.” Heri mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya ke belakang. Matanya jatuh menatap Grize yang sejak tadi tampak menahan senyum. Meskipun begitu dia tidak bodoh. Dia tidak akan langsung percaya pada mereka. “Jadi, sejak kapan kalian saling mengenal dan mulai berpacaran?” tanya Heri yang dibuat sesantai mungkin. Namun, bagi Grize pertanyaan itu tetap terdengar menakutkan. Grize ingin menjawab dengan kebohongan, tetapi Dave sudah terlebih dahulu melontarkan jawaban. “Baru beberapa hari ini.” Grize langsung mencengkeram lengan Dave dengan keras. Bagaimana bisa Dave menjawab seperti itu? Nanti ayahnya bisa curiga tentang hubungan palsu mereka. Benar saja, Heri langsung menatap Grize dengan sedikit tajam. Ayah Grize itu kembali bertanya, “Baru beberapa hari pacaran atau baru beberapa hari mengenal?” “Keduanya,” jawab Dave singkat. Tentu saja Grize langsung memelotot pada pria yang duduk di sebelahnya. Mulutnya menggumamkan sesuatu dengan pelan, “Bodoh! Kau benar-benar bodoh!” Saat Grize merasa jantungnya berada di titik kritis, ayahnya malah tertawa cukup keras. Pria tua itu menatap Dave dan bertanya, “Apa kau tahu kenapa Grize mau menjalin hubungan denganmu?” “Ya, saya tahu,” ucap Dave dengan santai. Tawa Heri langsung terhenti. Dia menatap Dave dengan terkejut. “Kau mengetahuinya?” tanya Heri dengan heran. Jika pria ini mengetahuinya lalu kenapa mau dimanfaatkan Grize? Dave mangangguk. Tangan kirinya tersemat di pinggang Grize dan menariknya mendekat hingga tubuh mereka saling berhimpitan. Tanpa merasa ragu Dave pun berkata, “Grize hanya ingin menggunakanku untuk melarikan diri dari perjodohan. Bukankah begitu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN