Tepat jam 5 sore, Grize hampir selesai bersiap-siap. Dia melihat pantulan dirinya di depan cermin. Tubuhnya yang semampai terbungkus dress hingga di bawah lutut. Dress bermotif floral itu terbuat dari bahan chiffon yang membuat efek feminin yang kuat.
Bagian dadanya memiliki belahan V yang menunjukkan leher putih dan tulang selangkanya dengan bebas. Itu bukan dress yang ketat, tetapi siluet pinggangnya yang sempit bisa terlihat melalui bahannya yang tipis.
Kaki jenjangnya sudah dialasi dengan heels berbentuk kotak. Tingginya hanya 5 senti. Warnanya yang merah jambu sangat serasi dengan dress putihnya.
Grize mengambil kalung berbandul mutiara yang terlihat sangat sederhana. Meskipun begitu, ketika kalung itu sudah menempel di lehernya, kesederhanaan itu justru menambahkan efek elegan dan feminin yang kuat.
Senyum Grize tersungging. Dia mengamati penampilannya baik-baik. “Ah, aku lupa satu hal,” gumamnya yang kemudian segera meraih botol parfum dan menyemprotkannya di pergelangan tangan.
“Perfect!” Kata sanjungan keluar dari mulutnya untuk memuji diri sendiri. Ya, boleh dibilang dia sudah jatuh cinta pada penampilannya sendiri.
Setelah itu dia meninggalkan meja rias untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Dia berniat menanyakan pada Dave apakah pria itu sudah sampai atau belum.
Sebenarnya perasaannya sedikit khawatir kalau-kalau pria itu tidak menepati janjinya. Itu pasti bisa menjadi malapetaka untuknya.
Sebelum dia sempat menghubungi Dave, tiba-tiba interkom apartemen berbunyi. Grize mengangkat kedua alisnya dan buru-buru berlari untuk melihat siapa yang datang.
Rupanya Dave sudah sampai. Pria itu berdiri dengan wajah tenang sambil melihat ke arah kamera. Barangkali dia tahu Grize sedang mengintip dari balik pintu.
Dengan cepat Grize segera membuka pintu. “Tunggu sebentar di sini,” ucapnya pada pria itu. Dia berniat kembali masuk untuk mengambil tas, tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya ditahan oleh Dave.
“Kenapa?” tanya Grize dengan heran.
“Tidakkah kau ingin mempersilakanku masuk?”
Grize diam sejenak. Kemudian dia tersenyum tipis. “Tentu saja ... tidak. Aku hanya sebentar, tidak akan lama. Jadi, silakan tunggu dengan sabar.”
“Tidak sopan,” Dave mengkritik. “Bagaimana kau bisa membiarkan seorang atasan menunggu di luar seperti ini?”
Grize melepaskan tangan Dave. Dia mulai merasa kesal. Kenapa baru sekarang Dave mau mengakui kalau mereka adalah atasan dan bawahan? Sedangkan siang ini pria itu terus bersikeras jika mereka adalah sepasang kekasih.
Tentu saja orang tersabar seperti Grize pun tetap bisa merasa kesal. Akhirnya dia membuka pintu lebar-lebar dan meninggalkan Dave di sana. Terserah apa yang akan pria itu lakukan.
Dave menarik sudut bibirnya lalu berjalan masuk sambil memerhatikan unit apartemen Grize. Itu bukan tempat yang sangat mewah ataupun besar. Namun, penataannya sangat rapi. Itu benar-benar menyenangkan mata.
Furniture dan perabot di sana semuanya terlihat sangat minimalis dengan didominasi oleh warna putih bersih. Jadi, meskipun tempat itu tidak begitu besar, kelihatannya tetap luas dan nyaman.
Di dekat meja tamu, terdapat rak buku yang sudah penuh tanpa ruang kosong. Buku-buku di sana memiliki ketebalan yang bervariasi. Dave menjadi tergelitik untuk melihat sumber bacaan apa yang Grize sukai.
Dia mengambil buku secara acak dari rak. Dilihatnya sebuah n****+ dari penulis mancanegara yang sudah terkenal. Itu adalah n****+ berjudul Prime Time karya penulis Sandra Brown.
Sudut alis Dave langsung terangkat. Kemudian dia mengambil buku yang lain. Kali ini buku yang diambil adalah n****+ berwarna biru yang berjudul Ancient Realm Goddess karya penulis Yulia Rohana.
“Aku belum pernah mendengar namanya. Sepertinya bukan penulis terkenal,” gumam Dave yang langsung mengembalikan n****+ itu dengan asal.
Pada saat itu akhirnya Grize keluar dari kamar. Dia langsung memelotot ketika melihat Dave sedang melihat-lihat koleksi bukunya. Dengan cepat dia berlari menubruk rak buku. Tangannya terentang mencoba menghalangi pria itu.
“Jangan lihat lagi!” seru Grize spontan. Jantungnya langsung mengalami akselerasi. Bagaimana pria itu bisa mengorek koleksi bukunya? Jangan sampai pria itu tahu bahan-bahan bacaannya.
Kedua alis Dave langsung dirajut melihat Grize yang gugup. “Kenapa?” dia bertanya santai.
Grize segera berbalik menatap Dave. Punggungnya menempel pada rak buku dan masih berusaha menutupi buku-buku koleksinya. “Ini ... khusus untuk para wanita. Pria sepertimu tidak boleh melihatnya.”
“Oh ya? Tapi kenapa aku justru berpikir kalau kau takut aku menemukan koleksi buku-buku er0tismu?”
Grize mengerjapkan matanya mendengar pertanyaan itu. Mulutnya terbuka tanpa bisa berkata-kata. Wajahnya mulai bersemu merah. Sialan! Dave sudah melihatnya!
Pria itu menyeringai lalu mengangkat satu n****+ bersampul hitam dengan gambar wanita yang bersandar ke d**a seorang pria. Wanita itu tampak memegang segelas minuman yang entah itu anggur atau sesuatu.
“Sepertinya koleksimu cukup banyak bukan?” tanya Dave dengan suara yang dalam.
“Ti—dak. Itu ... itu aku meminjamnya dari teman,” balas Grize. Dia berusaha berkilah.
“Bagaimana akhir dari kisah Andrea dan Lyon?” tanya Dave. Kakinya melangkah mendekati Grize yang masih merentangkan tangan untuk menutupi rak buku.
“Apakah mereka berakhir di atas altar pernikahan?” Dave membungkuk sedikit sambil menyelipkan buku di tangannya ke barisan buku yang ada di rak. Wajahnya kini berada tepat di samping wajah Grize.
“Atau hanya berakhir di atas ranjang?” Suara Dave berubah menjadi bisikan tepat di telinga Grize.
Jantung Grize berdebar-debar tidak keruan. Dia menelan ludahnya dengan gugup. Tubuhnya menjadi kaku ketika napas hangat Dave menggelitik telinganya.
Aroma maskulin yang cukup kuat menyebar dari tubuh Dave yang hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Ini benar-benar gila, tetapi pria itu hampir saja menyesatkan pikirannya.
Lihat saja apa yang ada di depan matanya. Grize diperlihatkan dengan kancing kemeja Dave yang longgar. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat otot-otot pektoral yang mengintip dari balik kerah kemaja pria itu.
Bukankah ... bukankah itu terlalu s3ksi?
Grize segera berdehem dan membubarkan pikiran-pikiran liar yang hendak menguasai otaknya. “Jika ... kau penasaran lebih baik kau membacanya sendiri,” balasnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Dave menunduk menatap wajah kaku Grize. Tangannya tiba-tiba terangkat lalu jempolnya mengulas bibir merah itu dengan lembut. Bibir kenyal itu langsung terbuka mengikuti ulasan jempol Dave.
“Kenapa kau harus gugup? Aku hanya bertanya dengan asal,” ucap Dave dengan santai. Namun, suaranya masih terdengar menggoda.
Otak Grize seakan blank. Dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Usapan di bibirnya membuat tubuhnya terasa gatal dengan perasaan yang aneh.
“Apartemenmu sangat nyaman. Dan aku tertarik dengan mini bar itu.” Seringaian timbul di bibir Dave. Kemudian dia berbalik dan melangkah santai meninggalkan Grize yang hanya termangu.
Wanita itu menggigit bibirnya dengan pelan. Tidak, tidak. Oh, Grize kau harus tenang. Kau tidak boleh tergoda oleh pria b******k itu.
Dia menoleh dan melihat Dave yang sudah tiba di depan mini bar. Itu adalah mini bar yang memisahkan dapur dengan ruang utama. Barisan botol minuman dari berbagai merek terpajang di sana. Itu pasti sudah menarik perhatian Dave.
Oh, Tuhan, apa lagi yang akan pria itu lakukan?