POV Author
Sadewa mengepalkan tangan saat rasa panas perlahan menjalar di dadanya. Di hadapannya tanpa sungkan, lelaki yang baru ia temui dua kali itu dengan berani mencium kening istrinya. Bagaimana bisa melakukan itu di depan si Kembar yang langsung saling pandang?
Ditatapnya Rendi yang pergi menjauh dengan kekesalan meletup-letup di d**a. Bahkan lelaki itu punya nomer HP Tari. Bagaimana bisa keduanya cepat sekali menjadi dekat? Apa karena mereka sudah tidur bersama?
Membayangkan Tari dan Rendi saling membalas mesra di tempat tidur, membuatnya kesal setengah mati. Ingin rasanya menonjok meja kuat-kuat, tapi diredamnya keinginan itu.
Sumpah, ia merasa menyesal kini, hanya karena Tari membohonginya, tidak haid tapi mengaku sedang datang bulan, ia jadi begitu ingin memberi pelajaran pada Tari. Tidak pernah ia bayangkan akan seperti ini jadinya.
Dewa mengernyit saat menyadari sesuatu.
Sebentar. Kening lelaki itu kembali berkerut, tampak sedang mengingat-ingat. Tangannya semakin mengepal saat sadar bahwa ia tak pernah bilang pada Rendi bahwa ia mengijinkan lelaki itu untuk dekat dengan Tari selama satu bulan. Tidak pernah. Licik. Kesepakatannya, hanya sekali tidur. Iya, hanya sekali. Tak ada yang kedua atau ketiga. Juga, ia tak mengijinkan mereka berkomunikasi lanjutan lewat HP.
Pasti dia belum jauh. Bisik hatinya masih dengan kekesalan yang meletup-letup karena merasa ditipu. Akhirnya, ia berdiri dari duduknya.
"Aku sudah kenyang. Aku mau ke toilet dulu "
"Apa Kak Dewa cemburu?" Perempuan mengenakan dres pink lembut semata kaki dengan jilbab senada menatap sang suami dengan wajah penasaran. Yang ditatap menyipitkan mata.
Sadewa langsung menyangkal. Setelah berpesan pada anak-anak agar tak rewel, ia melangkah cepat menuju eskalator, sesekali menoleh ke belakang. Baguslah jika istrinya itu melanjutkan makannya. Maka ia akan memberi pelajaran pada lelaki yang telah berbuat licik itu. Enak saja main cium padahal tak ada kesepakatan di antara mereka. Kesepakatan yang sebenarnya, hanya sekali tidur.
Dewa tersenyum sinis saat melihat Rendi tengah berjalan tergesa menuju pintu keluar. Sekali lagi ia menoleh ke belakang memastikan tak melihat istrinya lalu dengan kuat menarik sebelah bahu Rendi, menarik kerah baju lelaki yang tersentak kaget itu dan menonjok wajahnya sebelum lelaki itu sempat berkata-kata.
"Jangan coba-coba mengecohku! Tidak ada kesepakatan apa pun di antara kita, kan?!" katanya dengan kekesalan tak ditutup-tutupi. Beberapa orang tak jauh dari mereka menatap dengan ngeri. Dewa mendorong Rendi menjauh saat seorang satpam berjalan menghampiri.
"Kamu tak menyukainya jadi kenapa harus keberatan?" Tatapan Rendi tak kalah tajam. Senyumnya mengembang saat melihat Tari berjalan mendekat. Perempuan itu terlihat kepayahan membawa beberapa kantung belanjaan yang mengembung. Rendi mendekat lalu meraih tas belanjaan itu dari tangan Tari. "Ayo, kubantu," ucap Rendi pelan yang langsung dibalas Tari dengan anggukan.
Dewa berpaling saat tatapannya beradu dengan sang istri yang tersenyum sendiri Tanpa mengatakan apa pun, Dewa melangkah mendahului. Ditariknya kantung-kantung belanjaan dari tangan Rendi dengan tak sabar sampai akhirnya benda-benda itu terjatuh. Sebagian isinya tercecer di lantai. Tari dengan cepat memasukkannya ke dalam tas yang segera dibantu Rendi.
Mereka tak punya otak. Mesra-mesraan di depan anak kecil. Kata Dewa dalam hati sambil mengepalkan tangan.
"Tari, nanti kuhubungi."
Dewa menatap Rendi tak suka, dadanya bergemuruh kesal menahan dongkol. Segera ia masuk lalu mengemudi dengan kecepatan sedang. Sambil mengemudi, sesekali ia menoleh memperhatikan Tari. Wajah perempuan itu terlihat berseri.
"Kenapa kamu tersenyum sendiri, Baby? Apa lelaki tadi membuatmu begitu senang?"
Tari menoleh dengan senyum masih tersungging di bibirnya tipisnya. Lucu sekali ia kalau sedang cemburu. Sikap Dewa membuat hatinya girang. Apa kamu pikir hanya kamu saja yang bisa membuat hati panas, Kak? Ternyata, aku juga bisa membuat hatimu panas.
"Apanya yang menarik darinya? Kamu tahu, Baby, kekayaannya, tak ada apa-apanya dengan kekayaanku."
Tari tak menyahut. Ia terus tersenyum sendiri sepanjang jalan. Diperhatikan sekitar yang ramai saat mobil itu parkir lalu suaminya menuntun Damar menyeberang jalan. Tari segera turun dan menuntun Wulan. Mereka segera duduk di kursi depan outlet sementara Dewa tampak memesan. Tak lama, suaminya datang membawa makanan khas turki. Aromanya begitu harum menerbitkan nafsu makan. Damar dan Wulan segera makan dengan lahap. Penasaran dengan rasanya, Tari pun membukanya, rasanya begitu aneh di mulut. Ia terpana saat tiba-tiba Dewa merebut makanan itu dari tangannya dan menyuapinya.
"Enak, Baby? Biar aku saja yang suapi," kata Dewa sambil memajukan makanan berbentuk panjang mengembung itu ke arah istrinya yang menatapnya protes.
"Aku bisa sendiri, Tuan."
"Sudah kubilang kalau di tempat umum, panggil aku, Kak Dewa. Apa telingamu dengar, Sayang?" Tatap Dewa tajam. Lelaki itu masih begitu kesal pada sikap Tari beberapa saat lalu.
Mau tak mau, Tari akhirnya membuka mulut. Dewa tersenyum lebar, sebelah matanya mengerling pada Tari yang membuat perempuan itu merona malu. Saat makanan Tari habis, ia meraih makanannya sendiri yang masih terbungkus kertas warna merah terang dengan simbol makanan.
Sambil membuka tutup bungkus itu dan menarik bagian bungkus dalamnya, ia menatap sekitar, tampak orang-orang sedang mengantre. Ia merasa begitu takjub dengan kerja keras sahabatnya sehingga outlet bisa seramai ini. Dulu rata-rata, saat outlet itu baru didirikan, omset rata-rata hanya seratus ribu. Sekarang dilihat dari banyaknya pelanggan, pasti sehari dapat jutaan.
Dalam hati, Dewa menghitung berapa omset yang dikelola Rasya, tiba-tiba saja ia berpikir untuk memiliki omset itu. Ia makan sambil menatap sekitar, mengernyit saat merasakan rasa amis aneh di mulut. Saat ia menatap ke makanan di tangannya, ia langsung melotot terkejut, seketika meludah-ludah. Tampak makanan lunak bekas kunyahannys di lantai. Tangan Sadewa bergerak mengeluarkan sisa kebab yang telah ia gigit dan membuka gulungan tortila kecokelatan yang membungkus daging diiris tipis memanjang juga sayuran. Kecoak. Ini jelas potongan tubuh kecoak. Bagaimana bisa di dalam makanan ada kecoak? Dan ia secara tak sadar sudah memakan hewan menjijikkan itu.
"Bagiamana mungkin di sini ada kecoaknya?!" tanya Dewa sedikit keras.
Orang-orang yang sedang mengantre langsung mendekat. Tari memperhatikan makanan di meja. Benar, itu msmang kecoak. Tanpa kepala karena kepalanya sudah dimakan oleh suaminya tadi.
Beberapa pelanggan yang sedang mengantre bergerak mendekat, lalu tanpa disangka-sangka langsung menyerbu karyawan dengan pertanyaan-pertanyaan. Suaranya begitu berisik. Melihat itu, Dewa tersenyum sendiri. Kekesalannya karena sikap Tari sedikit lenyap saat membayangkan sesuatu yang pastinya akan memuluskan rencananya dalam mendapatkan Puspita. Direkamnya ribut-ribut itu, makannya yang tampak tubuh kecoak, lalu mengoploadnya di sss dengan tulisan
Jorok. Padahal aku b**********n di sini karena ini milik SAHABATku
Tari menggelengkan kepala melihat status di HP suaminya.
"Mungkin itu bukan kesengajaan, Tuan. Nggak baik dan dosa hukumnya mematikan rejeki orang."
Dewawnyipitkan mata. "Lalu kamu sendiri bagaimana, Baby? Kamu tidur dengan lelaki selain dengan suamimu apa menurutku tidak dosa?" Teringat sikap Tari pada Rendi tadi, membuat Dewa menatap istrinya dengan sinis. "Seharusnya kamu menolak, bukannya malah terbuai."
Tari hanya menghela napas.
"Damar, Wulan, bodohnya kalian. Jangan dimakan lagi. Nanti sakit perut." Dewa merebut kebab dari tangan anak-anaknya lalu mengajak mereka pulang. Niatnya ke sini hanya ingin melepas lelah sambil menikmati makanan kesukaannya, tapi siapa sangka bakal menyenangkan seperti ini? Rasya, Rasya. Sampai kapan pun, kamu tak akan bisa melawanku. Puspita adalah milikku, selamanya.
Sepanjang jalan pulang, Tari memperhatikan suaminya yang begitu girang. Ada apa sebenarnya? Ia tak tahu apa-apa sama sekali. Lebih baik, ia segera selidiki.
"Baby, besok kita ke Bali."
Tari menggelengkan kepala ingin menolak, tapi sadar betul bahwa ia tak bisa melakukan itu. Tatapan Dewa tajam, penuh perintah bahwa lelaki itu tak suka dibantah.
Bersambung
Jangan lupa subscribe ceritanya, teman. Lanjut besok mau gak? Komentari dong