13

1143 Kata
POV Tari Sampai di rumah, anak-anak langsung menuju kamar mereka masing-masing, tampak tak sabar ingin membuka belanjaan. Sementara aku dan Kak Dewa menuju ruang tamu karena Mama tiba-tiba memanggil. Perempuan itu tengah duduk menghadap piring berisi aneka buah yang telah dikupas dan dipotong kecil. "Wa, apa yang kamu lakukan pada Rasya?" tanyanya sambil menusukkan garpu ke potongan buah. Ditatapnya dengan mata sedikit menyipit lelaki yang duduk persis di sampingku, tampak sedang menggaruk rambut dan nyengir kecil. "Kalau ayahmu sampai tahu ...." "Maka jangan sampai tahu." Potong Kak Dewa cepat. "Lagian, itu bukan semata-mata salahku, Ma. Karyawannya yang jorok bisa-bisanya memasukkan kecoak ke makananku. Jijik, Ma. Aku makan kecoak." Kak Dewa menjulurkan lidah lalu membuat gerakan muntah-muntah yang membuatku seketika menahan senyum. Kok ada, ya, manusia unik seperti dia. Aku menggelengkan kepala saat menyadari sesuatu. Jadi, Kak Dewa melakukan itu karena outlet itu punya Kak Rasya? Suaminya Puspita. Aku menghela napas mencoba mengusir rasa menyesakkan di d**a. Benar-benar tak menyangka ia begitu terobsesi dengan istri temannya. Mama menatap Kak Dewa cukup lama. Satu tangannya mengetuk meja. "Mau sampai kapan kamu terus usil pada temanmu itu? Move on, Wa. Sudah ada Tari di sisimu." Tangan Mama meraih HP di meja. Menatap layar itu dan berganti menatap Kak Dewa. "Sudah 7000 komentar dan 1000 share lebih. Hapus sekarang vidionya, Wa. Jangan melakukan tindakan keji." "Biar saja, Ma," sahut Kak Dewa tenang. Perempuan itu mendelik. "Dewa!" Pekiknya dengan wajah tampak kesal. Kak Dewa tersenyum kecil. "Baiklah, Ma. Baik. Kuhapus sekarang," suamiku itu menatapku sambil nyengir lantas merogoh saku, kemudian meletakkan HP ke telapak tangan Mama yang terulur ke arahnya. "Jangan usik hidup Rasya lagi. Kamu mau mereka melaporkanmu ke polisi? Kasihan ayahmu, Wa." Ia menghela napas, tampak mencoba sabar. "Seperti biasa, aku akan keluar dengan mudah." Kak Dewa tertawa pelan. Mama melotot. Terus kuperhatikan ibu dan anak itu beradu mulut. Sesekali Mama menggeleng kesal dan Kak Dewa menanggapinya dengan cengiran di bibir. Lelaki berambut panjang diurai itu mendekat ke arahku. "Besok, kami akan ke Bali, Mama." Mama berlama-lama memandangku. Ia mengangguk kecil. "Iya. Awas kamu kalau sampai menyakiti Tari." Ucapan Mama membuatku malu. Kak Dewa merangkulku. "Akan kuperlakukan dia dengan baik, Ma. Tenang saja." Kini ia mencium keningku dan mengerling menggoda. Aku menatap Mama dengan perasaan tak nyaman. "Dan setelah pulang dari Bali, aku akan kembali menempati rumahku." Wanita itu tersentak. Tapi ekspresi terkejut itu tak melekat lama di wajahnya. "Tapi mama ingin kalian tetap di sini." Ditusukkannya garpu ke potongan buah. "Bisa-bisa, rumahku di tempati genderuwo kalau dibiarkan kosong terus menerus, Ma. Aku kan sudah punya istri sekarang, jadi mau tempati rumah itu lagi sama anak-anak." Mama menghela napas dengan wajah begitu keberatan. "Mama tak ingin berpisah sama anak anak." "Tinggal main, Ma." Kak Dewa meraih potongan buah, memasukkan ke mulutnya. "Kamu mau, Sayang?" tanyanya yang langsung kusambut dengan gelengan kepala. Kak Dewa kembali meraih potongan buah, mengunyahnya sambil tersenyum aneh. Tatapan mama menyelidik. "Kamu ingin tinggal di sana bukan karena Puspita, kan?" Langsung saja ia menggeleng. "Dari dulu kan memang rumahku di sana. Kalau tak sengaja bertemu, ya anggap saja keajaiban." "Dewa!" Mama mendelik. "Bercanda, Ma." "Tari, ayo ikut Mama." "Sana, Baby. Si Ratu mau bicara." Mama menatap Kak Dewa sambil menggelengkan kepala. Aku segera mengikuti mama menaiki tangga. Tertegun saat mama membuka ruangan dan tampak gaun-gaun berbelah d**a rendah. "Semua yang ada di ruangan ini adalah milikmu, Tari. Ingat kata mama, kamu harus taklukkan hati suamimu. Mama heran, kenapa anak itu bisa kesetanan kalau sudah menyangkut tentang Puspita." Mama memijit keningnya. Aku memandang gaun-gaun dengan d**a berdebar. Aku mengenakan itu? Bahkan membayangkannya pun aku sudah ngeri. Gaun itu sangat seksi juga menggoda. *** "Baby, haruskah kita memulainya sekarang?" kata Kak Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut sebahunya basah. Lelaki itu hanya memakai handuk yang membelit pinggang. Aku duduk di bibir ranjang, menyisir rambut dengan d**a berdebar. Begitu gugup karena tatapannya terus berpijak ke wajahku. Kami baru tiba di penginapan dua jam lalu. Akhirnya tak jadi ke Bali melainkan ke Jogja. Kak Dewa tiba-tiba mendapat panggilan ketika kami hendak menuju bandara. Maka di sini kami sekarang, penginapan temannya yang sedang mengadakan pesta. Sejak tadi terdengar suara orang tertawa dan berbincang. "Atau haruskah kita keluar dan membaur dengan mereka lagi, Baby?" Kak Dewa menyibak tirai. Tampak orang-orang tengah duduk, ada juga yang berdiri bercakap-cakap sambil sesekali meneguk minuman dalam gelas berkaki tinggi. "Aku nggak enak badan, Kak." Sebenarnya, hanya alasan. Aku hanya tak nyaman saja membaur dengan mereka yang semuanya asing selain Kak Rendi dan Kak Asep. Kak Dewa menutup tirai, mendekat ke arahku. "Aku menemanimu, Baby. Dan bukankah ini malam pertama kita? Iya, kan?" Aku menahan napas saat ia duduk di sampingku. Aku berpaling karena merasa begitu gugup. Jantungku mengentak-entak saat Kak Dewa meraih daguku, memaksa menatapnya. "Kenapa kamu tampak begitu takut, Baby? Bukankah kamu sudah pernah melakukannya sebelum ini? Atau ... kamu merasa salah tingkah padaku karena aku begitu menggoda?" Senyum lebar terukir di bibirnya, menampakkan dua cekungan mungil yang membuatnya terlihat menawan. Sorot matanya menandakan seolah ia begitu menginginkanku. "Sebenarnya, Tuan ...." Dadaku bergemuruh. Berdebar. Juga takut karena ini memang pengalaman pertama. "Ya, katakan, Sayang." Kak Dewa memajukan tubuh mendekat. Hangat napasnya menerpa wajahku. Aku berpaling. Sebenarnya ragu, tapi akhirnya berkata, "Sebenarnya aku tak pernah melakukannya dengan siapa pun. Ini akan menjadi yang pertama." Matanya menyipit. Terlihat sangsi. Tapi kemudian senyum lebar terukir di bibirnya. "Kamu masih tersegel, Baby?" Tangannya bergerak menyusuri wajahku dengan wajah terlihat ceria. Sungguh mengerikan. Membuatku semakin takut dan tambah gugup saja. "Apa Kak Dewa mau pakai pengaman?" Matanya membulat. "Apa? Kenapa aku harus memakai pengaman melakukannya dengan istriku sendiri? Kamu lucu sekali, Baby." Dikecupnya keningku. Tatapannya yang terus terpatri ke mataku, membuatku semakin gugup. Bagaimana cara bersikap sewajarnya walau sebenarnya begitu salah tingkah? Atau melakukan ini nanti saja setelah gemuruh di d**a ini sirna? Pelan, kudorong tubuhnya menjauh. Ia langsung menatapku protes. "Kenapa, Baby?" "Aku ... tiba-tiba lapar, Kak. Bagaimana kalau kita cari makan dulu di luar? Aku ingin makan khas Jogja." Dan berlama-lama di luar, nanti pulang-pulang sudah larut malam juga kelelahan. Besok, jalan-jalan seharian. Mungkin malamnya kaan kelelahan. Semakin lama ditunda mungkin semakin bagus agar aku tak begini gugup. Tangan Kak Dewa menyusuri rambutku. "Tentu kita harus makan dulu, Sayang. Biar punya tenaga." Aku tersenyum kecil dan mengangguk antusias. Tangan Kak Dewa terjulur lurus ke depan. "Lihat itu di sana, Baby, ada banyak sekali makanan khas Jogja. Baru setelah kenyang kita memulainya. Kamu tahu, Baby, aku penasaran apakah benar kamu masih tersegel." Kak Dewa mengerling menggoda. Aku ingin menangis rasanya, dengan d**a bergemuruh hebat membayangkan yang tidak-tidak. *Btw ada yang nyadar gak kalau cerbung Tuan ini lanjutan cerbung Nikah Dengan Kakak Ipar yang udah tamat di aplikasi ini? Kisah Puspita yang dicintai Dewa ada dalam cerbung Nikah Dengan Kakak Ipar. Lanjut gak niih? Ada yang baca gak siiih cerita ini? Satu menit lagi UP cerbung Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN