"Hukuman apa?" Suaraku terdengar bergetar. Bayangan yang bukan-bukan melintas dalam benak. Apa ia akan memaksaku melayaninya? Atau lebih parah dari itu? Aku kembali menatapnya yang tersenyum sendiri. Kenapa ia terlihat sangat mengerikan, kini?
Kak Dewa menoleh sekilas. Lagi-lagi tersenyum kecil. "Kamu ingin dihukum apa, Sayang? Memandikanku? Atau ...." Ia mengerlingkan matanya. Dalam perjalanan menuju mall, ia sesekali menoleh dan tersenyum sendiri. Aku menggelengkan kepala. Sungguh mengerikan sekali kelakuannya.
Sampai di mall, Damar dan Wulan langsung berlari menuju toko langganan. Wulan segera meraih boneka panda ukuran jumbo, sementara Damar meraih mobil-mobil beremot.
"Ayah, dua yaa bonekanya?" kata anak itu setengah merengek.
Kak Dewa mengangguk dengan wajah ceria. Ia mendekati Wulan dan meraih satu boneka beruang. "Ambil saja yang kamu mau, Sayang. Ayah kan kerja buat kalian. Kamu mau, Baby?" Kak Dewa meraih boneka beruang warna pink berbahan lembut. Aku langsung menggelengkan, menepis rasa sakit dalam hati saat teringat Evan. Lelaki itu, selalu saja setiap datang berkunjung menemui mantan kekasihnya ini, pasti membawakan boneka juga perhiasan mahal. Sudahlah, Tari. Lupakan. Lelaki itu toh, sudah bahagia dengan istrinya sekarang. Baik Evan maupun Rendi kini hanya masa lalu.
Kak Dewa tiba-tiba merangkulku, membuatku tersentak kaget. "Kamu mau ini? Di latar belakang fotomu yang diberikan Mama sebelum kita menikah, ada banyak boneka di kamarmu. Ini mau?"
"Nggak, Tuan. Nggak perlu."
Mata Kak Dewa menyipit. "Kamu memanggilku apa barusan, Baby?" Tatapnya begitu lekat. Aku balas menatap dengan heran. Ia sendiri yang menyuruh memanggil Baby. Pikun, kali.
"Saat hanya kita berdua, kamu memanggilku tuan. Saat ada ayah dan di keramaian, kamu boleh memanggilku, Kak. Dengar tidak Baby?" Tatapnya sungguh-sungguh.
Lelaki aneh. Aku tak menghiraukannya. Kuraih boneka barbie dan mengulurkannya pada Wulan. "Ini bagus, mau sekalian?"
Wulan mengangguk antusias. Usai belanja ini itu, kami pun memesan ayam bakar di lantai atas. Sepanjang menunggu pesanan di antar, Kak Dewa terus tersenyum sendiri pada HP-nya. Wulan dan Damar terus mengobrol, sementara aku menatap ke bawah melalui pembatas kaca bening sebatas d**a. Tampak orang-orang menaiki eskalator. Aku terpana saat melihat lelaki tak asing melambaikan tangan dari arah eskalator. Ia tersenyum dan melangkah mantap ke arahku.
"Tari, bagaimana kabarmu?"
Kak Dewa yang tengah sibuk dengan benda di tangannya langsung menatap Rendi dengan mata terpicing. Lalu ditatapnya aku dan Rendi berganti-ganti.
"Aku hanya menyapa istrimu. Apa kamu merasa tergganggu? Kamu sendiri yang bilang, kalau aku mau tanda tangan kontrak, maka aku boleh bersama istrimu selama satu bulan. Jangan lupakan fakta itu."
Kak Dewa mengangguk-angguk. Tangannya bergerak mempersilakan yang membuat cinta pertamaku itu langsung duduk di sebelahku. Senyum Rendi terulas lebar saat tatapan kami bersitatap. Kak Dewa kembali sibuk dengan HP-nya sementara aku bertanya basa-basi dengan Rendi.
HP di saku jasnya yang berdering, membuat Rendi segera berdiri dan pergi menjauh.
"Kenapa kamu bisa keganjenan padanya, Baby?" Kak Dewa mengerutkan kening. Menatap istrinya ini dengan pandangan mencemooh. Aneh sekali, hanya basa-basi dikata keganjenan. Lalu dia sendiri sering berganti-ganti perempuan di tempat tidur, itu namanya apa?
"Sayang, aku bertanya padamu." Kak Dewa mendongakkan daguku. "Pertanyaan, selalu membutuhkan jawaban."
Kuhela napas dalam. Sepertinya harus punya stok kesabaran ekstra untuk meladeni sikapnya. "Siapa yang keganjenan, Tuan? Aku hanya mengobrol sekadarnya. Wulan, ayo dimakan." Kugeser nampan berisi ayam bakar serta nasi ke arah bocah yang tengah memeluk boneka Barbie itu.
"Kok Damar nggak disuruh juga, Mama?" Damar mengerucutkan bibir, membuatnya tampak menggemaskan.
"Ayo makan, Damar." Kuusap kepalanya. Bocah itu langsung mengangguk-angguk. Kucubit daging ayam yang tampak menggoda berlumur kecap lalu menyuapkan potongan kecil ke bocah yang membuka mulut lebar-lebar itu. Damar dan Wulan begitu manja, selalu membuatku terhibur. Beda sekali dengan ayahnya yang membuat tertekan juga tegang.
Aku tersentak kaget saat menyadari Kak Dewa sudah duduk begitu dekat denganku, memandangku aneh. "Aku tak sekalian kamu suapi, Baby?" Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Tindik di telinganya sesekali berkilat tertempa cahaya lampu. Aku menggelengkan kepala. Dasar orang aneh.
"Baby, aak?" Ia menjawil bahuku.
"Ingat satu hal, Baby. Aku adalah ayahnya anak-anak. Kalau mereka disayang, maka aku juga harus diperlakukan sama. Aak, Baby?" Tatapannya lekat ke wajahku. Digesernya nampan miliknya mendekat ke arahku.
"Lima hukuman untukmu karena telah membohongiku. Tidak sedang menstruasi, tapi berkata sedang menstruasi. Aku tak suka dibohongi, Baby. Apa kamu tahu aku menahannya karena begitu ingin?"
"Apa Tuan nggak malu disuapi di sini?"
"Kenapa harus malu. Aak?" Ia kembali membuka mulutnya. Damar dan Wulan menggelengkan kepala. Tatapan mereka terus tertuju ke arah kami.
"Ayolah, Ma, suapin Ayah. Lalu kita segera pulang. Aku nggak sabar ingin bongkar belanjaan kita."
Cengiran Kak Dewa membuatku mau tak mau menyuapinya dengan ogah-ogahan. Tampak beberapa orang memperhatikan kami. Kuhentikan tanganku yang hendak kembali menyuap saat Rendi berjalan menghampiri.
"Tari, aku harus segera pergi. Ada janji. Nanti kutelepon."
Kak Dewa menatapku dan Rendi bergantian dengan pandangan menyelidik. Aku terlonjak saat tiba-tiba Rendi mencium keningku. Ia tak pernah bersikap kurang ajar begini sebelumnya. Nyaris aku menamparnya, tapi tatapan Kak Dewa yang tampak begitu kesal membuatku seketika mengurungkan niat. Bahkan aku tiba-tiba berniat membuat Kak Dewa panas. Yaa siapa tahu Kak Dewa bakal instrospeksi diri bahwa perbuatannya yang terus menyebut Puspita menyakitiku.
"Sampai jumpa, Tari. Nanti kutelepon."
Lalu lelaki jangkung bertubuh atletis itu pergi menjauh, sesekali menoleh dan melayangkan ciuman jarak jauh. Aku membalas senyumnya.
"Bagaimana mungkin kalian bisa saling menyimpan nomer HP, Baby?" Tatapan Kak terpaku ke wajahku. Wajahnya yang tampak begitu kesal membuatku senang.
"Katanya, dia ketagihan tidur denganku. Makanya meminta nomerku." Aku membual. Perkataanku ini pasti akan membuatnya berpikir bahwa aku memang w************n, tapi terserahlah, yang penting hatinya panas. Kucubit ayam bakar yang begitu lembut lalu mengarahkan ke mulutnya. "Ak lagi, Sayang," kataku menirukan ucapannya karena ia tak segera membuka mulut.
"Aku sudah kenyang." Ia berdiri. "Aku mau ke toilet dulu "
"Apa Kak Dewa cemburu?" Tatapku penasaran. Lihatlah tangannya yang terkepal. Aku tahu ia menganggapku mainannya, makanya terheran-heran dengan tingkahnya yang kebakaran jenggot.
"Aku cemburu?" Matanya menyipit. "Baby, Baby. Buat apa aku cemburu? Di luar sana, banyak gadis yang mau tidur denganku. Anak-anak, ayah ke toilet dulu. Jangan nakal sama mama." Lalu ia melangkah pergi. Melihatnya tampak begitu kesal, aku tersenyum sendiri. Dan menggelengkan kepala karena ia bukan menuju ke toilet di lantai atas, tapi menuju eskalator. Didorong rasa penasaran, akhirnya kubayar makanan lalu mengajak anak-anak ke lantai bawah. Tampak dari kejauhan, Kak Dewa tengah menonjok wajah Rendi.
Btw ada yang baca cerbung ini gak yaa? Kalau gak lanjutnya kapan kapan ajaa