“Lo, kok sudah pulang? Katanya sore ini akan ada operasi?” tanya Nadia, heran.
Jingga menoleh, begitu juga dengan Ari.
“Mama … Tadinya Jingga memang akan mengikuti operasi bersama dosen, tahunya malah dapat musibah.”
“Dapat musibah, maksudnya?”
“Tadi di jalan, kaki Jingga nyangkut di trotoar. Jingga terpeleset dan terkilir. Untung ada Ari yang bantu ngantar Jingga ke tukang urut yang ada di dekat kampus.”
Pandangan mata Nadia kini tertuju pada Ari. Ari tersenyum, membukukkan tubuhnya sedikit lalu mengulurkan tangannya ke arah Nadia.
“Saya Ari, Tante,” ucapnya ramah.
“Oiya … Temannya Jingga?” tanya Nadia.
“Baru kenal tadi, Tante. Kebetulan Ari lihat Jingga jatuh. Kondisi jalanan sedang sepi, jadi Ari bantuin.”
“Oh, begitu ya … Ke sininya pakai apa?”
“Jadi kaki Jingga ini masih sakit, Mama … Ari menawarkan diri buat bantu antar Jingga. Nanti akan Jingga pesankan taksi online saja buat ngantar Ari ke kampus lagi,” jelas Jingga.
“Nggak usah … Nggak usah pesan taksi online segala, Jingga. Aku ingat kalau aku punya teman tinggalnya di daerah ini juga. Aku akan coba hubungi dan minta dia menjemput ke sini. Biasanya jam segini ia masih di rumah. Sebentar ya.”
Jingga mengangguk, begitu juga dengan Nadia. Ari tampak mengeluarkan ponselnya lalu tampak mulai menghubungi seseorang. Hanya sebentar, lalu Ari menyimpan ponselnya kembali.
“Bagaimana?” tanya Jingga.
“Iya, katanya ia akan menjemput ke sini nanti. Sudah, jangan dipikirkan. Aku ini laki-laki, gampang kok untuk balik ke kampus lagi. Tapi nggak usah pesan taksi juga.”
“Beneran nih kamu nggak mau aku pesankan taksi? Lagian nggak apa-apa kok. Kamu itu sudah capek ngantar aku ke sini.”
“Nggak apa-apa kok. Kapan lagi bisa jalan-jalan ke sini?” Ari tersenyum lebar.
“Ya sudah, kalau memang begitu, sebaiknya Ari masuk dulu. Sembari menunggu temannya menjemput, tante akan buatkan minuman. Kita bisa ngobrol di dalam saja.”
“Iya, Tante.”
Ari dan Jingga pun masuk ke dalam rumah, mengikuti langkah kaki Nadia.
“Silahkan duduk. Tante akan buatkan minuman dulu.”
“Nggak usah repot-repot, Tante.”
“Nggak apa-apa kok. Atau mau minuman dingin saja?”
“Terserah saja, Tante. Maaf, kedatangan saya ke sini malah merepotkan tante.”
“Siapa yang repot, Ari? Tante sama sekali nggak repot kok. Apa lagi kamu sudah membantu anak tante. Tante justru yang seharusnya minta maaf dan terima kasih sama kamu. Duduk saja dulu sama Jingga, ngobrol. Tante akan ambilkan minuman dingin.”
“Ma, biar Jingga saja yang ambil,” ucap Jingga seraya berjalan mendekati sang ibu. Kakinya masih tampak pincang. Artinya, kaki Jingga masih terasa nyeri.
“Sepertinya kaki kamu masih sakit, Jingga. Sudah kamu duduk saja temani Ari, biar mama yang ambilkan minuman.”
“Oiya, papa mana ma? Bukankah papa hari ini cuti ya?”
“Papa kamu sedang istirahat di kamar. Tadi sudah mama bawa ke dokter.”
“Oh ….”
“Ya sudah, kamu temani saja Ari ngobrol. Biar mama yang ambilkan minuman dinginnya.”
“Iya, Ma.”
Jingga membalikkan badan. Kembali ia dudukkan bokongnya di atas kursi tamu, menemani Ari di sana.
Tidak lama, Nadia kembali. Ia membawa sebuah baki berbahan melamin. Di atasnya sudah ada tiga kaleng minuman sarang burung wallet dingin. Nadia juga menyuguhkan potongan buah semangka dan potongan cake yang ia buat sendiri.
“Silahkan,” ucap Nadia ramah seraya meletakkan makanan dan minuman itu di atas meja tamu.
“Terima kasih, Tante. Ari jadi segan lo, tanta jadi repot begini.”
“Tidak apa-apa, Ari. Tante nggak merasa direpotkan kok. Jadi Ari ini kuliah di UNAND juga?” Nadia mulai membuka pembicaraan.
“Iya, Tante. Alhamdulillah.”
“Jurusan apa?”
“Ari sedang ambil S2 Manajemen bisnis, Tante. Kebetulan tadi lewat Fakultas kedokteran. Rencananya mau menemui teman Ari di sana, tapi nggak tahunya ketemu sama Jingga.”
“Oh, begitu … Ari asli Padang juga?”
Ari menggeleng, “Sebenarnya Ari dari Medan, Tante. Tapi sudah lama di Padang. Semenjak SMA, Ari sudah di Padang. Ada saudara yang tinggal di sini.”
“Jadi begitu ya … Hhmm … Baiklah, lanjutkan saja ngobrolnya sama Jingga sambil nunggu teman Ari datang menjemput. Tante mau lanjut kerja dulu. Nggak apa-apa’kan kalau tante tinggal?”
“Iya, nggak apa-apa, Tante.”
“Ya sudah … Tante tinggal dulu ya.”
“Iya, Tante.”
Nadia pun bangkit dari duduknya, meninggalkan Jingga dan Ari di ruang tamu. Mau ikut duduk di sana pun, Nadia tidak punya topik lagi untuk ditanyakan. Jadi ia memutuskan memberikan kesempatan untuk menemani pemuda yang baru saja membantu Jingga.
“Mama kamu ramah ya,” ucap Ari.
“Iya … Mama aku itu sangat baik. Ia tidak hanya ramah, tapi juga penyabar dan berjiwa besar,” jelas Jingga.
Bahkan ia masih bisa sabar, tersenyum dan setia di samping papa walau ia tahu kalau papa sudah punya anak dengan wanita lain. Tidak hanya itu, mama bahkan menyayangi anak itu tanpa dendam. Mama memang sangat luar biasa. Jingga melanjutkan pernyataannya di dalam hati.
“Ada apa? Apa yang kamu pikirkan, Jingga?” tanya Ari.
Lamun Jingga seketika tersentak, “Ah, tidak apa-apa. Ayo minum. Dari tadi kita ngobrol kering saja. Aky tawarkan untuk mampir ke sebuah resto, kamunya malah nolak.”
Ari tersenyum, “Tidak apa-apa, Jingga.”
“Jadi kamu itu mahasiswa S2 bisnis ya? Kok nggak bilang dari tadi? Pasti usia kamu di bawah aku deh.”
“Memangnya kamu umurnya berapa?” tanya Ari.
“Aku dua puluh empat tahun,” jawab Jingga.
“Hanya beda satu tahun saja. Itu bukan masalah yang besar. Artis saja bahkan beda sampai delapan tahun dengan pasangannya, sah-sah saja kok.”
Kening Jingga langsut mengkerut, “Maksudnya?”
“Ah, bukan apa-apa. Lupakan saja, mari minum ….” Ari mengambil minumannya. Membuka tutup kaleng itu hingga mengeluarkan bunyi desis dari gas yang keluar. Pemuda itu pun segera menenggak minumannya.
“Minuman ini enak, manis. Membuat tenggoranku basah dan segar,” ucap Ari.
Jingga mengangguk kecil. Ia pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Ari. Ia buka tutup kaleng itu, lalu segera ia tenggak air yang ada di dalamnya dengan nikmat.
Jingga dan Ari mendengar suara dering ponsel. Ternyata itu adalah bunyi dering ponsel Ari. Pemuda itu segera mengambil ponselnya, melihat siapakah gerangan yang sudah mengubunginya. Ternyata itu adalah salah rekan yang berjanji akan menjemputnya ke rumah Jingga.
Bro, gue minta maaf ya … Gue nggak jadi bisa jemput lo ke sana. Gue ada urusan. Nyokap nyuruh gue ngantar beliau di kantor BPJS karena ada masalah dengan BPJS-nya. Begitulah bunyi pesan singkat yang dikirimkan oleh sang teman.
Ari tampak menghela napas. Ia kecewa dan Jingga memerhatikan raut wajah kecewa itu.
Nggak apa-apa, Bro. Gur bakalan naik taksi online saja, balas Ari.
Oke, Bro. Sekali lagi gue minta maaf ya … Hati-hati di jalan.
Sippp …
Setelah mengetikkan balasan terakhirnya, Ari pun menyimpan kembali ponselnya dengan baik di dalam saku celana.
“Kenapa?” tanya Jingga, sebab ia melihat raut yang tidak biasa dari wajah Ari.
“Teman aku katanya nggak jadi bisa jemput. Beliau mendadak mau ke kantor BPJS karena ibunya mengajaknya ke kantor BPJS.”
“Oh begitu … Ya sudah, kalau begitu aku pesankan taksi online saja.”
“Nggak usah, Jingga. Aku akan pesan ojek saja. Please, jangan pesankan taksi. Aku mengantar kamu ke sini ikhlas kok. Kalau kamunya ngotot kayak gitu, aku yang nantinya jadi segan sama kamu.”
“Lo, kok malah kamu yang segan sama aku?”
“Nggak apa-apa kok, Jingga. Aku akan pesan taksi online sekarang. Kamu itu masih sakit, kalau aku terlalu lama di sini, kamunya jadi nggak bisa istirahat. Harusnya kamu itu istirahat biar cepat sembuh. Jadi aku saja yang pesan ojeknya.” Ari memaksan.
Pemuda itu segera menekan pemesanan setelah mendapatkan driver yang lokasinya tidak jauh dari rumah Jingga.
Tidak lama, ponsel Ari berdering. Ada panggilan suara dari nomor uang tidak ia kenal. Ari segera mengangkatnya karena ia tahu itu dari sang driver yang sudah ia pesan.
Ternyata Ari benar, itu adalah driver ojek yang sudah ia pesan lewat aplikasi kuning.
“Halo,” ucap Ari mengangkat panggilan suara itu.
“Halo, Kak. Apakah kakak yang sudah memesan ojek dengan tujuan kampus UNAND?”
“Iya, saya Ari dan saya memang memesan ojek untuk ke kampus.”
“Baiklah, Kak. Saya sudah di titik lokasi. Rumah kakaknya di mana?”
“Oiya, sebentar. Saya akan keluar dulu.”
“Baik, Kak.”
Panggilan suara itu pun akhirnya terputus.
“Ojeknya sudah datang ya?” tanya Jingga.
“Iya … Oiya, ini minumannya boleh aku bawa’kan? Sayang kalau tinggal, mubazir. Nggak mungkin ada orang di rumah ini yang mau minum atau makan bekas tamunya, iya’kan?”
Jingga terkekeh ringan, “Kamu benar, Ari. Ya sudah bawa saja. Mana tahu nanti di jalan kamu kehausan. Oiya, ongkos ojeknya berapa? Biar aku yang bayarkan.”
“Nggak usah … Lagian aku sudah bayar pakai saldo kok. Sudahlah Jingga, santai saja. Saat ini mungkin memang aku yang bantu kamu. Tapi bisa saja suatu saat nanti justru malah aku yang butuh bantuan kamu. Jadi santai saja.”
“Benar nih nggak apa-apa?”
“Kamu ini kayak bicara sama orang lain saja. Bukankah kita sudah berteman, jadi seorang teman itu wajib membantu temannya jika kesulitan. Oiya, aku harus segera keluar. Kasihan drivernya menunggu lama.”
Jingga mengangguk. Ia pun ikut berdiri ketika melihat Ari sudah berdiri lebih dahulu.
“Aku pamit dulu. Tolong sampaikan pada mama dan papa kamu.”
“Iya, nanti akan aku sampaikan. Hati-hati di jalan.”
“Makasih, Jingga. Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalam ….”
Ari melangkahkan kakinya keluar, Jingga mengikuti. Ternyata di luar pagar sudah ada seorang pria berjaket kuning yang duduk menunggu penumpang di atas motornya. Walau ia tidak yakin tempat ia menunggu saat ini adalah rumah yang dituju sebagai lokasi penjemputan penumpang, tapi ia tetap enjoy menunggu di sana.