Sebulan sudah Yumna hidup sendiri. Ia sangat senang, pasalnya hari ini ia akan menerima gaji pertamanya sebagai staf di sebuah kantor ekspedisi. Yumna juga tidak lagi ambil pusing masalah Harun dan Nadia. Ia selalu menghindar setiap Harun dan nadia ingin menemuinya. Yumna hanya ingin mandiri dan tidak mau bergantung kepada siapa pun.
“Cieee yang akan terima gaji pertama … Senyumnya merona sekali tampaknya,” ucap Meta sedikit meledek.
“Iya dong, Kak … Setelah menunggu dengan sabar satu bulan lamanya, akhirnya aku akan terima gaji pertama aku di sini.”
“Pantas saja dari tadi aku lihat kamu buka marketplace terus. Ternyata mau belanja ya? Mau borong ya?”
“Borong apaan, Kak. Nggak’lah … Aku hanya ingin beli baju buat kerja sebab baju aku itu-itu aja. Maklum, perantauan jadi nggak bisa bawa barang banyak,” jelas Yumna.
Tiba-tiba saja seorang pria keluar dari Gudang lalu menghampiri Yumna seraya membawa sebuah bungkusan berwarna hitam. Sebuah paket atas nama Yumna.
“Yumna, ini ada paket buat kamu,” ucap sang rekan.
“Ha? Paket buat aku? Perasaan aku belum pesan apa-apa kok sudah datang saja? Jangan-jangan itu salah, Bang.”
“Nggak mungkin salah, Yumna. Ini jelas-jelas tertera di sini nama kamu, nomor ponsel kamu dan alamatnya ditujukan ke sini. Artinya ini memang paket milik kamu.”
Yumna menerima bungkusan itu. Terasa lembut tapi lumayan berat. Yumna mengira isinya adalah pakaian.
“Coba aku lihat,” ucap Meta seraya merampas benda itu tangan Yumna.
“Hhmm iya, ini memang paket kamu. Sepertinya isinya baju deh. COD nggak?” tanya Yumna.
Yumna mengangkat bahunya karena tidak tahu apakah barang itu COD atau tidak.
Meta memeriksa nomor resi yang tertempel di paket dan ternyata paket itu non COD, artinya sudah dibayar sebelumnya.
“Yumna, kamu yakin nggak pesan apa-apa?”
Yumna menggeleng, “Aku belum checkout apa pun, Kak. Lagi pula aku baru lihat-lihat saja kok. Baru ada niat membeli, bukan langsung dibeli karena bagaimanapun juga ada banyak kebutuhan lain yang harus aku penuhi. Aku harus bayar sera kosan, pikirin buat makan dan yang lainnya. Maklumlah, aku tinggal sendirian.”
“Kalau kamu memang belum CO apa-apa, kok barangnya sudah datang? Boleh dibuka nggak?”
“Buka aja,” ucap Yumna.
Meta pun mengambil pisau karter ukuran kecil. Dengan sangat hati-hati, ia buka paket itu dan ia keluarkan isinya.
“Na, ini satu stel pakaian. Bukankah kamu baru berencana membeli pakaian untuk kerja? Kok tiba-tiba sudah datang saja? Ajaib sekali, jangan-jangan kamu itu tukang sihir, Na.” Meta terheran-heran.
“Tukang sihir apaan. Eh, tapi ada keterangan nggak di dalamnya?”
Meta kembali memeriksa paket dan ternyata tidak ada apa pun di dalamnya.
“Jangan-jangan kamu punya pengagum rahasia, Na.”
“Pengagum rahasia apa-apaan. Ini namanya rezeki nomplok. Dapat durian runtuh ya gini. Baru niat mau beli, eh udah datang aja. Artinya Ajaib,” canda Yumna.
“Mau don … Rahasianya apa, Na.”
“Kayaknya mesti yatim piatu dulu deh, hehehe ….”
“Eh, jangan dong … Kalau memang itu syaratnya, aku nggak mau ah. Aku nggak mau kehilangan mama dan papa aku. Aku masih mau manja-manjaan sama mereka sebab belum ada suami juga buat tempat aku manja-manja, hahaha ….”
Yumna terdiam. Ia kembali teringat ke beberapa waktu silam, disaat kejadian buruk itu belum menimpanya. Hidup Yumna sangat bahagia. Adam sangat amat menyayanginya dan begitu memanjakan Yumna. Rania pun sama, ia sangat sayang pada Yumna.
Tidak hanya ke dua orang tuanya saja, tapi keluarganya di kampung pun sangat menyayangi Yumna sebab Yumna adalah anak dan cucu paling cantik di antara mereka semua.
Sayangnya, semua sirna begitu saja. Yumna tak ubahnya seperti yatim piatu tanpa saudara. Ia Bagai anak terbuang. Walau Harun dan Nadia memberikan perhatian dan kasih sayang lebih kepadanya, tetap saja rasanya berbeda. Ia baru mengenali Harun dan Nadia dan Yumna tidak mau terlalu percaya apa lagi bergantung pada Harun dan Nadia.
“Kenapa, Na?” Meta memerhatikan raut wajah Yumna yang tadinya penuh dengan senyuman, tiba-tiba saja jadi terdiam.
“Tidak apa-apa, Kak. Aku ingin kembali bekerja.”
“Oh oke … Ini paket kamu. Siapa pun yang mengirimnya, kamu harus pakai, Na. Orang itu pasti senang kalau hadiah yang ia berikan berguna untuk yang menerima.”
“Iya, Kak … Makasih.” Yumna menerima paket itu kembali. Ia lipat dengan baik lalu ia simpan ke dalam tasnya. Yumna sangat bersyukur mendapat satu stel pakaian kerja. Walau ia tidak tahu siapa yang mengirimnya, yang pasti ia berterima kasih.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Tiba-tiba saja ada seseorang yang masuk ke dalam gedung itu. Seseorang yang sangat dikenali oleh Yumna. Ia adalah Daniel, anak ke dua Rania yang merupakan kakak lelaki Yumna. Pria itu datang dengan seorang wanita yang sama sekali tidak dikenali Yumna. Sepertinya itu adalah kekasih baru Daniel.
“Yumna … Kamu di sini?” sapa Daniel.
Yumna yang tadinya berusaha untuk menghindar, tidak mampu lagi mengelak sebab Daniel sudah melihat keberadaannya.
“Bang Daniel ya? Mau apa? Mau ngantar paket ya?” tanya Yumna. Ia agak grogi.
Daniel menggeleng, “Pacarku mau nanyain paketnya. Katanya sudah dua hari di sini, tapi kok nggak diantar juga.”
“Oh begitu ya … Silahkan duduk, Bang. Biar Yumna bantu periksa.”
Daniel dan kekasihnya pun duduk di depan Yumna.
“Kamu sudah lama kerja di sini?” tanya Daniel.
“Hhmm … Maaf, Bang. Bisa minta nomor resinya biar Yumna bantu periksa.” Yumna berusaha mengalihkan pembicaraan.
Daniel mengangguk. Ia colek kekasihnya lalu sang kekasih pun membuka ponsel dan memberikan ponsel itu pada Yumna. Yumna tersenyum ramah, ia mulai mengetikkan nomor resi yang dimaksud lalu mulai memeriksa status pesanan di layar komputernya.
“Oiya, maaf, Kak … Ini kemarin sudah dibawa sama kurir kami. Tapi karena kemarin cuaca buruk, jadi banyak kurir yang terkendala dalam mengantar paket. Insyaa Allah hari ini akan diantar ke rumah kakaknya,” jelas Yumna, ramah.
“Bisa diambil saja nggak?” tanya kekasih Dhaniel.
“Sebentar ya, Kak. Yumna coba tanyakan dulu ke bagian Gudang.” Yumna pun berdiri lalu berjalan menuju gudang. Ia tinggalkan Daniel dan kekasihnya di sana.
Daniel menoleh ke arah Meta, “Kak, Yumna tadi sudah lama ya kerja di sini?” tanya Daniel pada Meta.
“Baru satu bulan, memangnya kenapa, Bang? Abang kenal dengan Yumna? Katanya ia perantauan dan sendirian di sini,” ucap Meta.
“Dia itu—.”
Belum selesai Daniel berucap, Yumna sudah kembali dengan sebuah paket di tangannya.
“Maaf, Kak atas kendalanya. Karena ada even jadi paket membludak di gudang. Di tambah lagi kemarin cuaca buruk seharian, jadi banyak kurir yang tidak mampu menyelesaikan pengantaran paketan. Ini paket kakak masih ada.” Yumna mulai memindai paket itu, lalu memberikan paket itu pada kekasih Daniel.
“Terima kasih,” ucap kekasih Daniel.
“Sama-sama, Kak. Sekali lagi kami minta maaf atas kendala pengantaran paketnya.”
“Iya, nggak apa-apa. Yank, yuk balik,” ucap sang wanita pada Daniel.
Daniel mengangguk. Sebenarnya Daniel ingin mengatakan atau lebih tepatnya menanyakan sesuatu pada Yumna, tapi karena kekasihnya mendesak untuk pergi, Daniel pun mengiyakan.
“Yumna, abang pergi dulu.”
“Iya, Bang. Hati-hati di jalan.”
Daniel mengangguk. Ia pun pergi meninggalkan kantor ekspedisi itu bersama kekasihnya menggunakan sepeda motor matic.
Setelah Daniel dan kekasihnya pergi, Yumna menghela napas. Terlihat jelas ia tampak lega.
“Na, kamu kenal sama lelaki tadi? Aku lihat kayaknya kalian cukup dekat. Katanya kamu sendirian di sini?”
Yumna tersenyum, “Aku memang sendirian di sini, Kak. Tapi bukan berarti aku nggak punya kenalan di sini. Kebetulan abang tadi itu masih saudara jauh. Ada hubungan sama mendiang mama aku,” bohong Yumna.
“Oh, pantas saja kalian tampak dekat. Kenapa kamu nggak tinggal sama saudara kamu saja? Kenapa harus ngekos, Na?”
“Nggak ah, Kak. Mending sendirian deh, Kak. Aku nggak mau merepotkan siapa-siapa. Lagi pula susah kalau tinggal sama saudara. Serba salah jadinya. Enak tinggal sendiri, mau tepar sepulang kerja juga oke. Nggak akan ada yang ngomelin.”
“Kamu benar juga sih … Belum nanti banyak sindirannya. Mending ngontrak ya.”
“Banget, Kak ….” Yumna kembali tersenyum ramah.
Tidak terasa, waktu pun beranjak sore. Yumna lega karena kini di dalam tasnya sudah ada amplop berisi gajinya untuk bulan ini. Walau nilainya masih delapan puluh persen dari nilai gaji yang tertera dalam kontrak, baginya sudah lebih dar cukup. Apa lagi biaya hidup di kota Padang tidak sebesar di Batam.
“Na, pulang bareng ya,” ucap Dhani.
“Janji nggak akan ada yang marah?” canda Yumna. Yumna memang sering meledek Dhani dengan kalimat itu.
“Siapa yang akan marah, Na? Cicak?”
“Ya kali abang pacaran sama cicak.”
“Sama cicak rowo mungkin iya, hahaha,” sambung Meta.
Suara gelak tawa pun menggema di sana.
“Ayo, udah mau hujan nih,” ajak Dhani.
Yumna mengangguk, “Kak, aku duluan ya ….”
“Iya, kamu hati-hati di jalan. Aku sedang menunggu jemputan.”
“Iya, Kak … sampai jumpa besok ya ….”
“Siipp ….”
Yumna pun keluar dari gedung. Ia naikkan bokongnya di atas jok motor milik Dhani.
“Aman?” tanya Dhani.
“Aman, Bang,” balas Yumna.
“Berangkat ya.”
“Siap!!”
Dhani mulai menekan starter dan motor itu pun menyala. Dhani mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan sedang mendekati tinggi sebab langit mulai gelap. Ia khawatir akan kehujanan di jalan.
Namun baru lima menit perjalanan, hujan turun dengan lebat. Dhani pun segera menepikan motornya. Ia berhenti di emperan sebuah toko yang sudah tutup.