Pria itu membawa Jingga ke sebuah rumah yang memang tidak jauh dari lokasi kampus. Rumah sederhana. Halamannya cukup luas dan di sana ada seorang wanita tua tengah menyapu halaman menggunakan sapu lidi. Wajah dan kulitnya memang terlihat tua, tapi sepertinya ia masih kuat, bugar dan sehat.
“Assalamu’alaikum, Nduang …,” sapa pemuda itu. Ia memanggil wanita itu dengan sebutan “anduang atau nduang”. Mungkin itu adalah nama panggilan popular untuk sang nenek di sana.
“Wa’alaikumussalam … Kamu, Ari. Tidak kuliah?” tanya sang nenek menggunakan bahasa daerah khas Sumatera Barat—minang.
“Kuliah, Nduang. Tadi di jalan tidak sengaja melihat kakak ini jatuh. Kakinya sepertinya terkilir, jadi Ari bawa saja ke sini.”
Sang nenek mengalihkan pandangannya ke arah Jingga, “Sakit?” tanya sang nenek.
“Iya, Nduang,” balas Jingga. Gadis itu memanggil sang wanita tua dengan panggilan yang sama dengan yang pemuda itu katakan.
“Masuk!” perintah sang nenek. Wanita tua itu menyandarkan sapu lidinya ke dinding rumah. Lalu ia langkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sederhana berlantaikan beton yang dilapisi tikar plastik. Tidak ada kursi di sana, namun ada sebuah karpet tebal berukuran dua kali dua setengah meter yang memang disiapkan oleh sang nenek untuk menjamu tamunya. Ada sebuah meja bundar juga di sana.
“Duduk dulu, anduang mau cuci tangan dulu.”
“Iya, Nduang. Terima kasih,” balas Jingga.
Sang wanita tua masuk ke bagian dalam rumahnya. Mungkin ia ke kamar mandi untuk membersihkan tangannya karena ia baru saja membersihkan halaman rumahnya.
Jingga menoleh ke arah pemuda yang baru saja menolongnya, “Kamu nggak balik kampus?” tanya Jingga.
Pemuda yang bernama Ari itu menggeleng, “Tidak mungkin aku tinggalkan kamu sendirian di sini.”
“Aku nggak apa-apa kok. Nanti aku bisa ke kampus pakai ojek online. Kamu kalau mau balik kampus, balik saja.”
“Jadi kamu mengusirku?”
“He—eh … Bukan begitu. Aku tidak mengusirmu. Aku sudah sangat merepotkan kamu, jadi aku tidak mau gara-gara aku kamu jadi ketinggalan mata kuliah. Bagaimana kalau nanti dosen kamu marah dan kamu dapat surat peringatan.”
Ari terkekeh ringan, “Kebetulan aku ini adalah salah satu mahasiswa teladan. Selama ini aku nggak pernah absen masuk kelas. Jadi sesekali absen, nggak apa-apa dong … Aku nggak tega membiarkan kamu sendirian di sini. Bagaimana kalau nanti kamu kenapa-kenapa.”
“Kenapa kamu khawatir? Kita’kan bukan siapa-siapa. Bahkan kita belum saling kenal.”
“Kalau begitu kita kenalan saja.” Ari mengulurkan tangannya. Ia tersenyum, senyuman yang sangat manis.
Jingga salah tingkah, namun ia masih berusaha bersikap biasa saja. Jingga pun membalas uluran tangan Ari.
“Namaku Ari. Ari Budiman. Aku sebenarnya asli Medan, tapi aku sudah lama di Padang. Aku SMA di sini, jadi aku lancar menggunakan bahasa minang,” jelas Ari.
“Jingga. Aku lahir dan besar di kota ini.”
“Oh, Jingga … Nama yang indah.”
“Terima kasih,” balas Jingga.
Tidak lama sang wanita tua pun kembali di tangannya sudah ada sebuah wadah berisi minyak urut.
“Bagian mana yang sakit?” tanya sang nenek.
Jingga menunjuk pergelangan kaki kanannya, “Yang ini, Nduang.”
“Kalau yang ini, pijatnya di luar saja, nggak apa-apa? Atau cucu maunya di mana? Di kamar?”
“Nggak usah, Nduang. Di sini saja.”
“Baiklah ….”
Sang wanita tua pun duduk bersila. Ia suruh Jingga menjulurkan ke dua kakinya lalu menyandarkan punggungnya ke dinding agar Jingga bisa rileks.
Baru saja tangan kecil sang nenek menyentuh bagian yang sakit, Jingga langsung bereaksi. Ia kesakitan, nyaris berteriak.
“Sakit?” tanya sang nenek.
“Banget, Nduang,” lirih Jingga. Ke dua netranya berkaca-kaca.
“Belum juga anduang apa-apakan sudah kesakitan saja. Bagaimana caranya anduang bisa mengobati?”
“Jingga, kamu harus sabar. Tahan sedikit sakitnya. Kalau tidak dipijat, bisa-bisa saraf yang terkilir itu semakin parah.
Jingga mengangguk, “Bismillah … Insyaa Allah aku kuat kok.” Jingga berusaha meyakinkan dirinya.
“Yakin akan dilanjutkan?” tanya sang nenek.
Jingga mengangguk.
“Baiklah,” balas sang nenek.
Tampak sang nenek mulai komat-kamit. Sepertinya ia sedang membaca sebuah doa. Setelah selesai berdoa, tangannya pun mulai memijat kaki Jingga yang terkilir.
Kali ini, Jingga tidak mampu menahan dirinya. Ia terpekik, bahkan tangannya secara spontan meraih lengan Ari dan meremasnya dengan sangat kuat. Ari juga kesakitan karena perlakuan Jingga, namun pemuda itu berusaha menahannya.
“Ampun, Nek … Ampun, ini sakit sekali,” ucap Jingga. Ia bahkan lupa dengan sapaan anduang tersebut.
“Kalau mau sembuh harus tahan sebentar.”
“I—iya, Nek,” ucap Jingga.
Tangan kanannya masih menggenggam kuat lengan Ari sementara tangan kirinya meremas ujung karpet tempatnya duduk kini.
Sang nenek terus memijat kaki Jingga hingga lama-kelamaan Jingga merasakan rasa sakitnya berkurang.
“Bagaimana?” tanya sang nenek seraya memutar pergelangan kaki kanan Jingga itu.
“Alhamdulillah, mendingan, Nek eh maksudnya nduang. Sudah tidak sakit lagi,” ucap Jingga seraya tersenyum.
“Alhamdulillah … Andung sudah perbaiki sarafnya. Kini aliran darah menuju ke sana sudah kembali normal. Mungkin masih nyeri, tapi nanti malam anduang jamin kalau kamu tidak akan merasakan sakit lagi di area sana.”
“Iya, nduang. Terima kasih banyak,” ucap Jingga.
“Sama-sama,” balas sang nenek.
Jingga pun mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu dari dalam tasnya lalu ia salami sang wanita tua seraya menyelipkan uang itu di balik telapak tangan sang wanita tua.
“Terima kasih sudah membantu, Nduang,” ucap Jingga.
“Sama-sama, Cu,” balas sang nenek itu lagi.
“Nduang, kami permisi dulu. Jadi apakah Jingga ini harus diulangi lagi pijat kakinya atau udahan saja?” tanya Ari.
“Kalau sudah tidak sakit lagi, boleh sudah saja. Tapi kalau masih saja nyeri dalam tiga hari, tiga hari lagi bawa lagi saja ke sini.”
“Baik, Nduang. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Ari dan Jingga pun pamit. Mereka tinggalkan kediaman sang wanita tua dan kembali ke kampus menggunakan motor Ari.
Sesampai di kampus, “Ari, terima kasih sudah membantuku hari ini. Kalau nggak ada kamu, mungkin saat ini kakiku masih sakit,” ucap Jingga.
“Sama-sama, Jingga. Oiya, boleh nggak sih minta nomor ponsel kamu? Nggak mau dong kalau pertemanan kita hanya terputus sampai di sini saja?” Ari melakukan modus.
Jingga tersenyum. Ia sebutkan dua belas digit angka.
Ari dengan cepat menyalin angka itu di ponselnya. Ia simpan nomor ponsel Jingga di ponselnya dengan nama “Jingga” lalu ia miscall nomor itu untuk memastikan kalau nomor itu memang terhubung langsung ke ponsel Jingga.
Ponsel Jingga berdering.
“Itu nomor ponselku,” ucap Ari.
“Oh, oke … Aku akan menyimpannya.”
“Setelah ini kamu mau ke mana?”
“Astaghfirullah … Aku sampai lupa. Sore ini aku ada jadwal operasi di rumah sakit bersama dosen. Aku tidak tahu apakah aku masih sempat untuk membuat laporan dan ikut ambil bagian dalam operasi itu.”
“Jingga, sebaiknya kamu undur saja rencana kamu itu. Kalau tidak terlalu darurat, jangan ikut dulu. Kamu itu masih sakit. Jangan sampai nanti di tengah operasi, kamu malah merintih kesakitan. Bisa-bisa kamu nanti disalahkan karea tidak siap dan tidak fokus pada pekerjaan.”
Jingga mengangguk mengiyakan pernyataan Ari, “Aku akan coba hubungi dosenku dulu. Akan aku jelaskan apa yang terjadi. Semoga saja beliau bisa mengerti.”
“Aku yakin beliau pasti akan mengerti.”
“Sebentar,” ucap Jingga.
Gadis itu tampak mulai mengambil ponselnya dari dalam tas dan ia mulai menghubungi seseorang. Ari hanya memerhatikan
Tidak lama, Jingga pun menyelesaikan kegiatannya. Ia simpan kembali ponselnya lalu ia berjalan mendekati Ari.
“Bagaimana?” tanya Ari.
Jingga tersenyum, “Kata dosenku nggak apa-apa. Aku bahkan disuruh istirahat saja hari ini. Kayaknya aku mau pulang aja deh. Tapi aku ragu, apakah aku bisa bawa mobil atau tidak. Masalahnya yang kena pergelangan kaki kanan. Mana rumah jauh lagi.”
“Kamu tinggal di mana?” tanya Ari.
Jingga pun menyebutkan sebuah alamat yang tidak jauh dari perbatasan antara kota Padang dan kabupaten Padang Pariaman.
“Jauh sekali dari sini … Aku bisa bawa mobil. Kalau kamu tidak keberatan, biar aku antar saja. Nanti aku ke sininya pakai ojek online saja.”
“Beneran kamu nggak keberan?”
“Iya … Aku tidak tega membiarkan kamu pulang mengendarai mobil sendiri. Atau kamu tinggal saja mobilmu di sini, biar aku antar pulang pakai motor.”
“Jangan … Sebab aku pakai mobil punya mama. Mana tahu nanti mama butuh kendaraan untuk kemana-mana.”
“Jadi bagaimana?”
“Kamu punya SIM A’kan?”
“Punya.”
“Kalau begitu kamu saja yang bawa mobilnya. Nanti aku akan pesankan taksi online untuk kamu kembali lagi ke sini.”
“Nggak usah pesan taksi online. Biar aku pulang pakai ojek saja.”
“Jangan begitu, Ari … Aku sudah sangat merepotkan kamu hari ini. Aku tidak ingin kamu makin susah kalau harus pulang pakai ojek. Jauh lo itu.”
“Hahaha … Kamu ini berlebihan sekali, Jingga. Aku ini laki-laki, jadi biasa saja’lah … Sebaiknya aku antar kamu sekarang, biar kamu bisa istirahat dengan baik di rumah.”
Jingga mengangguk. Ia berikan kunci mobilnya pada Ari dan ke duanya pun berjalan menuju parkiran, di mana Jingga memarkirkan mobilnya di sana.
Ke duanya masuk ke dalam mobil.
“Aku izin pakai mobil kamu,” ucap Ari.
“Pakai saja’lah. Ngapain minta izin segala? Justru aku yang segan sudah merepotkan kamu.”
Ari tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mulai menghidupkan mesin mobil Jingga, melajukan mobil itu meninggalkan area kampus. Ia melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang, sengaja tidak mau melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi karena tahu mobil itu bukan miliknya dan ada orang sakit di dalamnya.
Hampir satu jam, akhirnya mobil itu pun berhenti di depan sebuah rumah.
“Aku turun dulu, mau buka pagar,” ucap Jingga.
“Yang mana rumahnya? Biar aku saja yang buka pagar. Kaki kamu masih sakit.” Ari segera keluar dari mobil, lalu berjalan mendekati pintu penumpang bagian depan di mana Jingga pun berniat turun namun dicegah oleh Ari.
“Kenapa harus kamu yang turun?”
“Kamu itu masih sakit, jadi biar aku saja yang membuka pagarnya. Rumah kamu yang ini?” tanya Ari seraya menunjuk sebuah pagar berwarna putih bersih.
Jingga mengangguk.
Ari berjalan mendekati pagar. Ia buka pintu pagar lalu ia masukkan mobil Jingga ke dalam garasi dan ia pun turun bersamaan dengan Jingga.
“Mampir dulu,” tawar Jingga.
“Lain kali saja, Jingga. Aku segan mampir ke rumah kamu tanpa bawa apa-apa.”
“Lo, kenapa mesti pakai bawa apa-apa?”
“Ya, segan saja.”
Namun tiba-tiba Nadya keluar. Ia heran melihat putrinya sudah kembali dan sedang berdiri bersama seorang pemuda di depan garasi rumahnya. Nadya pun berjalan mendekati Jingga dan Ari.