Seminggu lebih sudah Yumna bekerja di salah satu perusahaan ekspedisi cabang kota Padang. Ia pun mulai menikmati perannya di sana. Berbaur dengan baik bersama semua karyawan di sana. Hubungannya dengan Dhani pun semakin hari semakin dekat saja.
“Cieee, udah jadian ni ye,” ledek Meta.
“Siapa yang jadian? Nggak ada’lah, Kak. Aku dan bang Dhani itu teman biasa saja. Sama kayak kea bang-abang yang lainnya,” ucap Yumna tersipu malu. Selama seminggu lebih, Dhani memang selalu memberikan perhatian ekstra pada anak biologis Harun itu. Mentraktirnya makan siang sampai mengantar jemput Yumna kerja. Ia melakukannya dengan senang hati.
“Berarti kamunya yang PHP, Yumna. Nggak baik lo PHP-in cowok kayak gitu. Kamu nggak lihat kalau bang Dhani sudah tulus kayak gitu sama kamu. Kenapa kalian nggak jadian saja?”
“Aku nggak PHP kok. Memang aku dan bang Dhani hanya teman biasa saja. Iya’kan, Bang?” Yumna melirik ke arah Dhani.
“Sekarang mungkin iya, tapi besok-besok nggak tahu ya. Siapa tahu besok-besok Yumna malah jadi istrinya abang?”
Mendengar ucapan Dhani, senyum yang tadinya menyungging di bibir Yumna, seketika hilang. Ia masih trauma dengan kandasnya pernikahannya dengan Alex. Jadi ia masih belum mampu untuk menatap hati dan diri menuju arah yang sangat serius.
“Kenapa kamu tiba-tiba diam, Na?” tanya meta.
“Nggak kenapa-kenapa kok, Kak. A—aku … Aku mau kembali kerja.” Yumna mengabaikan Dhani, Meta dan beberapa orang yang ada di sana. Mereka yang ikut serta meledek Yumna.
“Yumna kenapa sih, Bro? Tadi kelihatannya baik-baik saja. Ia masih ceria. Tapi kok tiba-tiba diam dan ngambek gitu ya?” Seorang pria yang bertugas sebagai kurir bertanya pada Dhani.
“Aku juga nggak tahu. Lagi pula Yumna benar, aku dan dia masih teman biasa. Mungkin dia tidak nyaman dengan candaan kita.”
“Hhmm … Bisa jadi sih. Atau bisa jadi ia trauma. Yumna’kan perantauan, jadi mungkin saja ia ke sini untuk melarikan diri dari masalahnya.”
“Hush! Jangan sok jadi detektif dadakan seperti itu. Ayo kembali bekerja. Paket banyak yang menumpuk, harus segera diantar hari ini juga.”
“La, kok malah gue yang diomeli?” Sang pria mencebik seraya masuk ke dalam Gudang. Ia harus mempersiapkan pekerjaanya untuk hari ini karena ada banyak sekali paket yang harus segera ia antar ke pemiliknya.
Yumna sendiri kembali fokus pada layar komputernya.
“Na, kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba diem begitu? Ada masalah ya?” tanya Meta.
Yumna menggeleng, “Aku tidak suka membahas masalah pribadi di tempat kerja, Kak. Lagi pula bang Dhani itu baik, belum tentu juga suka sama aku. Bisa saja ia hanya bercanda.”
“Tapi aku liat bang Dhani itu serius lo sama kamu. Selam aini aku lihat bang Dhani belum ada pacarnya.”
Yumna tersenyum tipis, “Biarkan saja. Lagi pula aku datang ke kota ini bukan untuk cari pacar atau suami. Aku datang ke sini untuk cari pekerjaan karena aku sudah bosan di Batam.”
“Oh iya ….” Meta pun terdiam. Ia tidak mau membahasnya lagi karena pasti akan membuat Yumna menjadi tidak nyaman.
Di tempat berbeda, Harun dan Nadya tengah bersantai di taman belakang rumah mereka. Bulan dan Bintang sedang sekolah, Jingga kuliah sementara hari ini Harun sengaja cuti karena ia tidak enak badan tadi pagi.
“Sayang, apa ada kabar tentang Yumna?” tanya Nadya.
Harun menggeleng, “Semalam abang coba menghubunginya, tapi ia tidak mengangkat.”
“Sebaiknya kita biarkan saja dulu. Mungkin Yumna butuh privasi.”
“Tapi abang khawatir, Sayang … Ia sendirian di sini. Kalaupun ada keluarga, mereka sudah tidak mau menerimanya lagi. Bagaimanapun juga, abang bertanggung jawab terhadapnya.”
“Bang, kamu sudah menunaikan kewajiban kamu dengan baik terhadap Yumna. Selama ini kamu sudah bertanggung jawab kepadanya. Tolong jangan bebani hati dan perasaan kamu lagi. Di sini ada Bulan, Bintang, Jingga dan Biru yang jug butuh perhatian kamu. Lihat, kamu sampai sakit begini karena terus memikirkan Yumna.”
“Yumna itu berbeda dengan anak-anak kita. Ia—.” Harun tidak mampu melanjutkan ucapannya.
“Ia, aku mengerti. Bukankah kita sudah berikan perhatian, cinta dan kasih sayang kepadanya? Bahkan aku rela membelikan sebuah sepeda motor untuknya dari uang tabunganku sendiri. Namun Yumna malah menolaknya. Itu artinya ia punya harga diri dan pendirian yang kuat. Percayalah kalau Yumna pasti akan baik-baik saja.”
“Setidaknya aku tahu di mana anakku itu tinggal.”
“Nanti akan kita cari tahu.”
Tanpa disadari oleh Harun dan Nadya, ternyata ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka berdua. Nadya dan Harun tidak tahu kalau Jingga secara mendadak kembali pulang karena ada barang yang tertinggal. Namun ketika sudah mendapatkannya dan berniat berpamitan kepada ke dua orang tuanya, ia malah mendengar percakapan ke duanya. Lagi-lagi mereka membahas masalah Yumna dan ada sebuah pernyataan yang keluar dari bibir Harun yang cukup mengagetkan bagi Jingga.
Jingga menjauh. Ia masuk ke dalam kamarnya, lalu ia hempaskan bokongnya dengan kasar di atas ranjangnya.
Anakku? Kenapa papa mengatakan kalau Yumna adalah anaknya? Apa jangan-jangan selama ini papa punya istri simpanan? Atau apa jangan-jangan papa dulu berselingkuh lalu punya anak dari selingkuhannya? Kenapa papa menyebut Yumna sebagai anaknya? Kalau itu memang benar, pantas saja selama Yumna di sini sikap papa begitu tulus padanya.
Jingga tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Pernyataan Harun yang tidak sengaja ia dengar tadi, cukup mengusik hati dan jiwanya saat ini.
Tunggu, bukankah selama ini Bulan memang curiga? Ia bahkan pernah mengatakan kalau Yumna mirip dengan bang Biru dan sekilas memang mirip denga papa. Apa jangan-jangan ini’lah maksudnya? Ah, kenapa selama ini aku tidak peka? Jingga ternyata masih saja berperang dengan perasaannya sendiri.
Namun lamunan itu segera kandas, sebab bunyi dering ponsel menyentak lamunan Jingga. Salah seorang rekannya menghubungi gadis itu.
Harun dan Nadya pun mendengar suara dering ponsel Jingga. Suara itu berasal dari kamar putri mereka.
“Itu bukannya bunyi ponsel Jingga?” tanya Harun pada istrinya.
Nadya mengangguk, “Apa jangan-jangan ponsel Jingga tinggal ya? Abang tunggu di sini, biar aku yang mengecek ke dalam.”
Harun mengangguk. Ia biarkan Nadya melangkah masuk ke dalam rumah, berjalan menuju kamar Jingga.
Namun baru saja Nadya sampai di depan pintu kamar putrinya, ia berpapasan dengan Jingga yang juga baru keluar dari kamarnya.
“Jingga? Belum berangkat kuliah?” tanya Nadya.
Jingga menggeleng, “Tadi sudah berangkat, Ma. Jingga lupa kalau jurnal milik Jingga ketinggalan. Jurnal ini sangat penting, jadi Jingga balik lagi untuk menjemputnya.”
“Oh ….” Nadya memerhatikan raut wajah sang putri. Warna muka Jingga tampak berbeda. Tidak seperti Jingga yang ia temui tadi pagi.
“Ada apa, Sayang? Apa ada masalah? Kenapa kamu jadi cemberut begini?”
Jingga tersenyum tipis, “Nggak ada apa-apa kok, Ma. Oiya, Jingga mau balik ke kampus dulu. Hari ini ada pertemuan dengan dosen. Jingga akan ikut operasi sore ini. Mohon doakan agar operasinya berjalan lancar. Insyaa Allah satu tahun lagi, Jingga akan menyelesaikan pendidikan spesialis.”
“Aamiin … Mama pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untuk anak mama. Semoga semua cita-cita kamu tercapai, Nak.”
“Aamiin … Makasih, Ma. Jingga pergi dulu ya. Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalam …. Hati-hati di jalan, Sayang ….”
“Iya, Mama ….”
Jingga pun melambai tangan. Ia langkahkan kakinya menuju halaman depan karena sebuah mobil tipe mini bus berukuran kecil sudah menantinya di sana. Mobil berwarna merah maroon bekas milik Nadya yang sudah ia berikan kepada Jingga untuk operasional gadis itu.
Jingga segera mengemudikan mobilnya, meninggalkan kediamannya menuju sebuah kampus negeri tempat ia menimba ilmu saat ini. Namun tidak seperti hari-hari biasanya, kali ini Jingga tampak tidak bersemangat. Pernyataan sang ayah terus terngiang-ngiang di benaknya. Ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di dalam sel otak gadis itu.
Hingga beberapa waktu berselang, Jingga pun sampai di kampusnya. Ia benar-benar tidak fokus karena ketika berjalan, kakinya menyandung sebuah portal hingga ia pun terpental.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya seorang pria. Ia membantu Jingga untuk berdiri.
Jingga merapikan pakaiannya. Celananya tampak lecet dan berdarah.
“Sepertinya lutut kamu luka. Aku antar ke klinik ya,” ucap pria itu.
“Tidak usah, aku ini dokter. Aku bisa mengatasinya sendiri. Terima kasih sudah membantu,” ucap Jingga. Gadis itu mencoba melangkah meninggalkan lokasi tempat ia jatuh. Namun sayang, kakinya terkilir hingga Jingga pun nyaris rebah lagi.
Sang pria dengan cepat kembali membantu Jingga. Ia sambut tubuh Jingga hingga tubuh itu tidak jauh jatuh ke beton.
“Sepertinya kaki kamu terkilir. Aku tahu tukang pijat di dekat kampus ini. Kebetulan aku kos tidak jauh dari sini. Ada tukang pijat wanita tidak jauh dari kosan aku. Usianya sudah cukup tua, tapi pijatannya masih kuat. Ia juga bisa memijat kaki dan tangan yang terkilir, patah bahkan struk pun bisa.”
Jingga hanya bisa mengangguk. Kakinya benar-benar sangat sakit dan ia memang butuh berobat jika tidak mau kakinya semakin parah.
“Bisa naik motor?”
Jingga mengangguk. Bagaimanapun juga, pria tampan itu baru dikenalnya. Jingga tidak mau menawarkan naik ke mobilnya, takut kalau-kalau pria itu tidak benar-benar baik.
“Kamu tunggu di sini. Aku mau ambil motorku dulu,” ucap sang pria.
Jingga kembali mengangguk tanpa bersuara.
Tidak lama, pria itu kembali. Ia sudah bersama motor matic kesayangannya. Ia turun, lalu membantu Jingga naik ke atas motornya.
“Ayo,” ucap pria itu.
Jingga mengangguk. Ia berjalan pincang. Ia naikkan bokongnya ke atas jok motor dan setelah memastikan penumpangnya aman, pria itu pun segera mengemudikan motornya meninggalkan area kampus ke tempat yang ia maksud.