Yumna dan Dhani berteduh di sebuah emperan ruko. Tidak hanya mereka berdua saja di sana, tapi ada beberapa orang lainnya yang ikut berlindung dari derasnya hujan di tempat itu. Rata-rata dari mereka adalah para pengendara sepeda motor yang tidak punya mantel hujan atau mantel hujan yang mereka punya tidak maksimal melindungi tubuh mereka dari hujan.
“Maaf, kita terpaksa menunggu di sini sebentar. Tapi kalau kamu enggan, biar abang pesankan taksi online,” ucap Dhani.
Yumna menggeleng, “Nggak usah, Bang. Kalau aku pulang dengan taksi online sementara abang tetap menunggu di sini, artinya aku bukan orang yang setia kawan. Kawan itu harus sama-sama dalam susah ataupun senang,” ucap Yumna seraya tersenyum.
Setiap melihat senyuman manis yang keluar dari bibir Yumna, Dhani selalu saja berdebar. Seolah ia ingin mengecup bibir manis itu.
“Kenapa?” tanya Yumna salah tingkah.
“Kamu dengan wajah basah kayak gini, tambah cantik,” ucap Dhani.
Mendengar pernyataan Dhani, Yumna jadi salah tingkah. Bukan salah tingkah karena suka, tapi salah tingkah karena ia tidak nyaman dengan pujian seperti itu.
“Na, tadi kamu sudah terima paketnya?”
Yumna yang tadinya membuang muka karena tidak nyaman dengan pujian Dhani, tiba-tiba saja menoleh lagi ke arah pria itu.
“Paket? Paket misterius itu? Yang isinya satu stel baju?”
“Iya … Kamu sudah terima’kan? Bagaimana, kamu suka nggak?”
“Oh, jadi paket itu dari bang Dhani?”
Dhani tersenyum, “Iya … Aku sering lihat kamu buka aplikasi orange dan ngobrol sama Meta tentang setelan kerja. Katanya kamu tunggu gajian dulu baru beli pakaian. Jadi aku inisiatif belikan saja. Kamu suka nggak?”
Yumna terdiam. Ia tidak menyangka kalau paket itu ternyata dari Dhani. Ia pikir Nadia atau Harun yang mengirimnya.
“Kenapa, Na? Kamu nggak suka ya?”
“Bukan gitu, Bang. Jujur saja aku suka kok. Hanya saja aku nggak nyaman. Abang terlalu baik sama aku. Aku malah sering merepotkan.”
“Nggak apa-apa kok, Na. Sesekali juga. Lagi pula aku ada rezeki berlebih, dan kebetulan di toko orange juga ada diskon gede, jadinya aku order saja buat kamu. Mudah-mudahan kamu suka dan mau memakainya.”
Yumna mengangguk, “Terima kasih, Bang. Tapi aku harap abang tidak terlalu baik sama aku. Takutnya aku nanti salah paham.”
“Salah paham tentang apa?”
“Ah, bukan apa-apa. Lupakan saja. Oiya, hujannya sudah agak reda, pulang yuk.”
“Buru-buru amat pulangnya.”
“Aku capek, Bang. Banyak paket yang di data ulang jadi nggak banyak waktu istirahat.”
“Baiklah … Aku akan antar kamu ke kosan kamu sekarang.”
“Makasih, Bang.”
Dhani mengangguk. Pria itu kemudian naik ke atas motornya. Ia kenakan helm, lalu ia berikan helm yang satunya pada Yumna. Dhani pun segera mengemudikan motornya sesaat setelah Yumna naik dan duduk dengan baik di atas motor itu.
Tidak lama, Yumna pun sampai di kosan. Ia buka helm milik Dhani yang menempel di atas kepala, lalu ia berikan pada rekannya itu.
“Terima kasih sudah memberikanku tumpangan, Bang. Terima kasih juga atas baju barunya. Semoga Allah membalas semua kebaikan abang.”
“Sama-sama, Na. Aku balik dulu.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
Dhani mengangguk. Pria itu segera melajukan motornya meninggalkan kosan Yumna menuju kediamannya. Dhani takut hujan lebat akan turun lagi dan bisa saja menghambat perjalanannya menuju rumahnya.
Sesampai di rumahnya, Dhani tampak kaget karena mendapati rumah itu ramai. Ada dua mobil asing parkir di halaman rumahnya dan ada banyak orang yang tampak bertamu ke rumah itu.
“Assalamu’alaikum …,” ucap Dhani.
“Wa’alaikumussalam … Nah itu Dhaninya sudah pulang. Dhani, salam dulu sama bibi kamu. Beliau baru saja datang dari Lampung dan langsung mampir ke sini.”
Dhani mengangguk. Ia ulurkan tangannya lalu ia salami semua yang datang bertamu ke rumah orang tuanya itu.
“Duduk dulu di sini,” ucap sang ibu. Ia menepuk kursi kosong yang ada di sampingnya.
Dhani menurut. Ia duduk di atas kursi berbahan kayu jati asli dengan alas busa tebal itu.
“Dhani, bibi kamu dan keluarganya sengaja datang ke sini untuk bertemu dengan kamu. Mereka berniat ingin menjemput kamu jadi menantu mereka,” ucap sang ibu.
“Apa?!” Dhani tentu saja kaget mendengar pernyataan sang ibu. Pasalnya, selama ini ia tidak pernah diberi tahu perihal masalah ini. Tidak pernah ada pembicaraan sama sekali dan tiba-tiba saja sudah ada orang ramai-ramai datang ke rumahnya dan berniat memintanya jadi menantu. Padahal Dhani sama sekali tidak atau belum kenal dengan gadis yang akan dicalonkan dengan dirinya itu.
“Jangan kaget begitu Dhani, segan sama bibi kamu ini.”
“Jelas Dhani kaget, Ma. Selama ini mama tidak pernah membicarakan hal ini sama Dhani. Tiba-tiba saja mereka datang dan meminta Dhani menjadi menantunya. Siapa yang nggak kaget.”
Sang ibu tersenyum tipis. Diam-diam ia mencubit paha sang anak.
“Maaf, Ira … Uni memang lupa memberitahukan pada Dhani. Uni memang sengaja ingin memberi kejutan. Jadi tolong maklumi saja.”
“Iya, Uni … Ira mengerti kok. Melati juga kaget waktu pertama kali kami katakan akan menjodohkan dirinya dengan saudara jauh. Tapi setelah diperlihatkan foto Dhani, Melati pun hanya bisa tersenyum malu. Ia suka katanya.”
“Haduh … Baguslah … Sekali lagi maaf, nanti pasti akan umi bicarakan dengan Dhani. Lagi pula Dhani pasti tidak akan menolak niat baik ini. Usianya sudah cukup matang untuk berumah tangga. Pekerjaannya juga lumayan bagus, jadi untuk apa lagi diundur-undur.”
“Iya, Uni … Yang paling penting anak-anak kita sama-sama masih sendiri.”
“Nah iya ….”
Obrolan itu pun semakin hangat. Dhani hanya bisa mencebik, berpura-pura ikut senang dengan rencana yang sudah diatur oleh orang tuanya secara sepihak. Hingga tidak lama, keluarga Ira pun pamit dari rumah itu.
“Ira berterima kasih karena uni sudah menyambut kami dengan baik di sini. Sudah disuguhkan makanan pula. Nanti bagaimana-bagaimananya, terserah uni saja. Ira dan keluarga menurut. Yang jelas, Ira sudah siapkan uang jemput untuk Dhani demi memenuhi ketentuan adat,” ucap Ira.
“Iya, Ira … Uni berharap secepatnya niat baik kita ini segera terealisasikan.”
“Aamiin … Kalau begitu Ira pamit ya, Uni. Kasihan Melati tinggal sendirian di penginapan. Kami sengaja tidak mengajaknya ikut serta karena ini masih rencana perjodohan. Kami takut kalau Melati sudah bertemu langsung dengan Dhani dan ia malah bucin sementara Dhaninya tidak mau, Melati akan terluka.”
“Iya, Ira … Hati-hati di jalan ya. Maaf kalau suguhannya sederhana.”
“Ah uni ini selalu saja merendah. Sederhananya saja begitu, bagaimana kalau mewahnya? Hehehe ….”
Ibunda Dhani tersenyum lebar.
Tidak lama, Ira dan keluarganya pun benar-benar meninggalkan kediaman orang tua Dhani. Kini, di ruang tamu itu hanya ada Dhani, ayah dan ibunya saja. Sementara sisa-sisa piring dan gelas kotor bekas tamu, langsung dibereskan oleh sang ART.
“Ma, kenapa mendadak begini, Ma? Mama sebelumnya tidak bilang sama Dhani. Lagi pula saat ini Dhani sedang dekat dengan seorang gadis. Orangnya pintar, cantik dan baik. Kalau Dhani bawa ke sini, mama dan papa pasti akan langsung suka,” ucap Dhani tiba-tiba.
“Kamu jangan mengada-ngada, Dhani. Toh selama ini mama nggak pernah lihat kamu jalan sama cewek, jadi tidak usah bohongi mama. Mama dan papa sudah sepakat akan menjodohkan kamu dengan Melati. Melati juga cantik, baik dan berpendidikan tinggi. Beliau lulusan S2 pendidikan matematika. Kurang cerdas apa lagi, ha?”
“Tapi, Ma—.”
“Kamu lihat dulu fotonya Melati. Mama yakin, kamu pasti langsung suka.” Ibunda Dhani langsung membuka ponselnya dan mencari foto Melati di galeri ponselnya. Setelah menemukan foto itu, sang ibu pun memperlihatkannya pada Dhani.
“Manis sih, Ma. Tapi tidak lebih manis dari Yumna. Yumna itu sangat sempurna, cantik dan berkharisma. Ma, Dhani mohon, batalkan rencana perjodohan ini. Dhani hanya mau sama Yumna.”
“Oh, jadi namanya Yumna? Sejak kapan kalian pacaran?”
“Iya, Ma. Namanya Yumna. Kami tidak pernah berpacaran. Ia baru bekerja selama satu bulan di kantor tempat Dhani bekerja. Ia merupakan perantauan dari Batam.”
“Apa? Perantauan dari Batam?” Sang ibu tampak kaget.
“Iya, memangnya kenapa, Ma? Apa ada yang salah?”
“Begini saja, kalau kamu memang serius dengan Yumna dan menolak Melati, kamu bawa Yumna itu ke hadapan mama. Mama mau lihat, seberapa baik Yumna itu buat kamu.”
“Baiklah … Kebetulan besok minggu. Dhani akan membawa Yumna bertamu ke sini. Nanti akan Dhani pastikan jam berapa Dhani akan membawanya ke sini.”
“Hhmm … Lebih cepat lebih baik. Mama penasaran, seperti apa istimewanya Yumna itu sampai kamu menolak Melati yang jelas-jelas sudah menyiapkan uang jemputan yang besar untuk kamu.”
“Besok Dhani akan membawanya ke sini.”
“Iya, mama akan tunggu kedatangan Yumna kamu itu.”
Dhani mengangguk, “Ma, Dhani capek. Dhani mau istirahat dulu di kamar.”
“Iya, pergilah ….”
Dhani pun mengayunkan kakinya naik ke lantai dua di mana kamarnya berada. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa dipan. Bayang-bayang wajah cantik Yumna terus terngiang-ngiang di telinganya. Dhani sudah jatuh cinta namun ia belum mengungkapkan apa pun pada Yumna.
Dhani segera meraih ponselnya yang ia simpan di dalam tas selempang. Ia cari nomor Yumna lalu ia ketikkan sesuatu di layar ponselnya.
Na, besok kamu sibuk nggak? Aku mau ngajak kamu ke rumah, mau? Mama mau ketemu sama kamu katanya, begitulah bunyi pesan singkat yang dikirim oleh Dhani pada Yumna.
Tidak lama, pesan itu pun berbalas, Ke rumah abang? Ketemu sama mama abang? Buat apa?
Aku habis ceritakan tentang kamu ke mama dan mama katanya penasaran sama kamu. Ia mau ketemu sama kamu, bisakan?
Jangan ah, Bang. Lagi pula kita ini hanya berteman, kenapa harus bertemu dengan mama abang segala? Maaf, aku nggak bisa, balas Yumna.
Na, abang mohon … Tolong jangan menolaknya. Mama nggak akan macam-macam kok. Ia hanya ingin tahu saja, seperti apa gadis yang saat ini tengah berteman dekat dengan putranya. Abang yakin kalau mama pasti akan suka sama kamu.
Lain kali saja ya, Bang. Besok cucian aku banyak. Aku rencananya mau nyuci.
Gampang, bawa ke Laundry saja, Na. Biar akan bantu bawa ke Laundry.
Baru juga terima gaji pertama, masa sudah masu dikasih ke laundry aja?
Biar abang yang bayarin Laundry-an kamu, Na.”
Maaf, Bang. Lain kali saja.
Dhani tidak lagi membalas pesan singkat terakhir dari Yumna. Sebaliknya, ia langsung melakukan panggilan suara.