“Maaf, Bu. Apa anda baik-baik saja?” Seorang wanita turun dari mobilnya. Ia nyaris menabrak seorang wanita. Wanita itu tampak lemah tidak berdaya.
Wanita yang terduduk di tepi jalan itu mengangkat wajahnya. Ia menggeleng pelan.
“Sa—saya … Saya tidak apa-apa,” jawabnya terbata-bata.
“Ibu sepertinya tidak sehat. Ibu kelihatan sangat lemah, apa ibu sudah makan?”
Wanita itu hanya menangis. Ia memegang d**a dengan tangan kanannya.
“Ibu menangis? Ada apa? Apa ibu sudah makan?”
Wanita itu menggeleng, “Saya tidak punya uang untuk membeli makanan,” ucapnya.
“Hhmm … begini saja, di sana ada warung makan. Kita ke sana ya … Saya akan traktir ibu makan. Ibu boleh makan sepuasnya di sana.”
Wanita itu kembali mengangkat wajahnya. Wajah yang dulunya sangat cantik memesona, kini penuh dengan kerutan dan terkesan kotor. Mungkin beberapa hari ia tidak mandi. Terlihat seperti orang dalam gangguan jiwa, tapi sang wanita yang hampir menabraknya itu yakin jika wanita yang ada di depannya kini psikisnya baik-baik saja.
“Sa—saya … Saya sangat kotor. Orang yang ada di sana pasti tidak nyaman dengan saya.”
“Hhmm … Atau begini saja. Ibu mau ikut saya ke rumah nggak?”
“Ke—kerumah mbaknya?”
“Iya … Mandi dulu, ganti baju habis itu baru makan. Jujur sih, ibu agak kotor. Tapi saya sudah terbiasa berurusan dengan orang-orang seperti ibu ini. Saya lihat sih ibunya nggak sakit jiwa ya … Kalau ibunya sakit jiwa, bisa saya bawa ke Yayasan.”
Wanita itu menggeleng, “Tidak, saya ini tidak sakit jiwa. Saya hanya terusir dari rumah.”
Sang wanita tersenyum, “Tuh’kan? Dugaan saya tidak akan pernah salah. Ayo masuk ke mobil. Kita ke rumah saya dulu, mandi, ganti pakaian habis itu makan.” Wanita itu membantu sang wanita kotor naik ke dalam mobilnya.
“Nama ibu siapa?” tanya sang wanita sesaat setelah melajukan mobilnya.
Wanita yang bernama asli Rania itu terdiam. Ia tidak ingin mengatakan siapa dia sebenarnya. Rania seoalah ingin mengubur dalam-dalam identitas dan masa lalunya.
“Kok ibu diam saja?”
“Anu … Nama saya Santi.”
“Oh, ibu Santi … Ibu Santi asal dari mana? Saya pikir ibu bukan asli Batam deh.”
“Saya dari Sumatera Barat.”
“Padang?”
“Bukan.”
“Lalu dari mana?”
“Sa—saya … Saya dari Payakumbuh,” bohong Rania.
“Payakumbuh ya … Saya pengen banget ke sana, tapi belum kesampaian. Saya pernah ke Padang dan ke Bukittinggi saja. Ke Padang sih ada beberapa kali. Kalau ke Bukittinggi, hhmm … dua kali kalau nggak salah. Saya suka masyarakatnya ramah-ramah.”
“Iya,” jawab Rania singkat.
“Ibu Santi sudah lama tinggal di Batam?”
“Sejak saya umur tujuh belas tahun.”
“Owh, udah lama juga ya? Keluarga ibu mana?”
“Saya sudah tidak punya keluarga. Mereka mengusir saya akibat kesalahan masa lalu saya.”
“Maksudnya?”
Rania terdiam.
“Kalau ibu memang tidak mau menceritakannya, nggak masalah kok.”
“Maaf ya, Mbak.”
“Iya, nggak apa-apa … Nah, kita sudah sampai di rumah saya. Ini rumah saya, di sini saya tinggal sendiri. Kemarin ada sih ART yang kerja di sini, terus ia berhenti karena anaknya mau nikahan. tapi nggak balik lagi. udah satu bulan saya tinggal sendirian di sini.”
Rania menatap rumah berlantai dua itu dengan saksama dari balik kaca mobil.
“Mbaknya tinggal sendirian? Orang tuanya mana?”
“Orang tua saya sudah lama meninggal. Sekitar tiga tahun yang lalu karena kecelakaan pesawat. Semenjak saat itu, saya tinggal sendirian. Dulu ada sih sepupu yang nemenin, tapi beliau udah nikah lima bulan yang lalu. Ayo turun.” Sang wanita mengajak Rania turun dari mobilnya.
Rania mengangguk, tapi ia ragu untuk turun.
“Lo, kenapa ibunya diam saja? Oiya, maaf ya, Bu. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Wenda. Saya lahir dan tinggal di sini. Tapi mami dan papi saya dulu lebih sering menetap di Singapur. Saya ini nonis, jadi harap maklum kalau ada perbedaan di antara kita. Tapi walau saya ini nonis, kita tetap hambanya Tuhan kok. Iya’kan?” Wenda tersenyum. Senyuman yang sangat manis dan terkesan tulus.
“Iya ….”
“Hhmm … Di rumah banyak sih pakaian yang bisa ibu pakai. Tapi maaf, saya nggak punya stok jilbab. Tapi ibu tenang saja, besok saya akan pesankan jilbab untuk ibu. Yang penting sekarang ibu mandi dulu, lalu makan.”
Rania mengangguk.
“Ayo kita turun.” Wenda kembali mengajak Rania turun dari mobil.
Rania pun turun.
“Mari masuk,” ajak Wenda.
Rania mengangguk. Ia pun mengikuti langkah kaki wanita cantik keturunan Cina itu.
“Silahkan masuk,” ajak Wenda.
Rania mengangguk. Ia pun ikut masuk ke dalam rumah berlantai dua itu.
Rumah itu tidak terlalu besar, tapi cukup luas. Di lantai satu hanya ada satu kamar tidur. Biasanya dipakai oleh Wenda sebagai tempat menginap tamunya. Di bagian belakang ada dua kamar yang ukurannya cukup kecil. Itu digunakan untuk tempat menginap ART yang sebelumnya tinggal bersama dirinya dan ke dua orang tuanya.
“Ibu mandi dulu ya … Saya akan ambilkan pakaian ganti. Ini handuknya. Semua peralatan mandi sudah ada di dalam. Oiya, ini sikat gigi baru sebab di dalam saya tidak menyiapkan sikat gigi.” Wenda memberikan sebuah sikat gigi pada Rania.
“Terima kasih ….”
“Sama-sama, Bu. Ibu mandi dulu yang bersih, saya akan siapkan makanan.”
Rania mengangguk. Ia menerima handuk yang baru saja diberikan oleh Wenda. Ia pun melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Perlahan, Rania mulai membuka pakaian kotornya. Sudah tiga harian ia tidak mandi, jadi wajar saja pakaiannya jadi kotor dan baunya pasti tidak mengenakkan. Sungguh baik sekali hati Wenda yang tanpa rasa jijik mau mengajak Rania ke rumahnya, membiarkan Rania membersihkan diri dan memberikan pakaian ganti untuk ibu kandung Yumna itu.
“Bu … Ini pakaian gantinya. Sudah ada pakaian dalamnya sekalian,” ucap Wenda dari balik pintu kamar mandi.
Rania mengulurkan tangannya keluar, “Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama, Bu … Saya sudah pesankan makanan untuk kita. Driver ojek onlinenya sudah jalan ke sini.”
“Iya, Mbak. Terima kasih.” Rania kembali menutup pintu kamar mandi.
Setelah memastikan dirinya bersih dan wangi, Rania pun berniat keluar dari kamar mandi. Tapi sebelum itu, ia tatap wajahnya dari balik pantulan cermin yang ada di dalam kamar mandi. Wajah yang dulunya sangat cantik, kini penuh dengan keriput. Tapi walau demikian, kecantikan alami Rania masih terpancar di balik wajah keriputnya.
“Sudah selesai, Bu?” ucap Wenda dari balik pintu kamar mandi.
“I—iya … Sudah, Mbak.”
Rania pun keluar. Rambutnya basah dan kini tubuhnya sudah segar.
“Wow, ternya bu Santi ini cantik sekali ya. Saya yakin mudanya pasti sangat cantik. Duduk di sini, kita makan bareng. Ini masih hangat lo, barusan driver ojek onlinenya datang nganterin.”
“Maaf kalau sudah merepotkan mbaknya.”
“Merepotkan? Sama sekali nggak kok. Ayo duduk di sini, kita makan bareng.”
Rania tersenyum. Ia menatap Wenda cukup lekat. Wanita itu sangat cantik, persis seperti putrinya. Tiba-tiba saja Rania teringat dengan Yumna. Seketika air matanya tumpah sebab ia tidak tahu lagi bagaimana nasib Yumna saat ini.