Malam ini semua anggota keluarga sudah duduk di kursi makan masing-masing kecuali anak sulungnya, Biru. Biru memang tidak tinggal bersama Harun lagi setelah menikah. Ia sudah punya rumahnya sendiri dan saat ini tinggal bersama istri dan anaknya yang baru berusia delapan bulan.
Tidak seperti biasanya, kali ini ada satu tambahan anggota baru di Tengah keluarga Harun. Ia adalah Yumna. Ini adalah malam pertama gadis itu tinggal di rumah Harun dan ikut menikmati makan bersama keluarga Harun.
“Kak Yumna, kalau diperhatikan lagi, Kak Yumna kok mirip banget ya sama papa. Kayak ngelihat bang Biru bersi cewek lo,” seloroh Bintang.
Harun dan Nadya cukup kaget mendengar pernyataan sang anak bungsu. Mereka saling pandang sejenak, lalu kembali fokus pada makanan mereka.
“Ih, kamu ini, Ntang. Dari tadi bahasnya itu melulu. Lagi pula kalau benar mirip kenapa? Memangnya masalah? Lagi pula di dunia ini’kan memang ada orang lain yang mirip dengan kita.” Bulan tidak mau kalah. Ia paling tidak suka kalau saudara kembarnya masih membahas masalah kemiripan Yumna dengan sang ayah. Pasalnya, ia sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Harun. Bulan malah mirip dengan mendiang ayah Nadya.
“Lo, aku’kan ngomong yang sebenarnya.”
“Sudah … Papa paling tidak suka kalau lagi makan begini terus pada ribu. Bintang, ayo makan. Bulan juga, makan. Kalian ini saudara kembar tapi kerjaannya selalu saja bertengkar.”
“Habisnya Bintang ini aneh banget, Pa. Dari tadi lo ia bahas masalah wajah kak Yumna yang mirip sama papa dan bang Biru. Sementara aku kok nggak ada mirip-miripnya sama papa.” Bulan mencebik.
Jingga hanya terdiam. Sebagai gadis dewasa, ia terpikir dengan pernyataan sang adik. Ia perhatikan wajah Yumna lalu ia perhatikan foto Bintang yang terpampang besar di ruang makan itu. Kemudian Jingga mengalihkan pandangannya ke arah Harun.
Ya Allah … Bintang benar, kenapa Yumna mirip sekali sama papa dan bang Biru. Apa jangan-jangan … Ah, tidak mungkin. Ya Allah, aku nggak boleh berpikiran buruk begini. Kalau benar seperti itu, nggak mungkin mama mau bersikap baik pada Yumna. Pasti ini sebuah ketidak sengajaan semata. Bulan benar, begitu banyak orang yang mirip dengan kita di luar sana, tapi tidak ada hubungan darah sama sekali. Jingga membatin.
“Ada apa, Kak?” Bulan malah salah fokus. Ia memerhatikan sang kakak yang juga memerhatikan Yumna.
“Ah, tidak apa-apa. Segera habiskan makanan kamu, lalu bantu kakak mencuci piring. Jangan biarkan mama mengerjakannya,” ucap Jingga.
“Iya, Kak,” balas Bulan.
Mereka pun kembali menikmati makan malam lezat itu dengan perasaan suka cita.
Semuanya? Ya, semuanya memang menikmati kecuali Yumna. Yumna bahkan enggan menelan makanan itu. Ia seakan berada di Tengah gurun pasir yang tandus. Hanya ada rasa iri di dalam hatinya melihat keharmonisan rumah tangga Harun.
Keluarga yang lengkap dan bahagia. Aku juga berhak mendapatkannya, tapi sayang nasib tidak berpihak padaku, batin Yumna.
“Yumna, ada apa, Nak? Kenapa kamu tidak makan makanan kamu? Apa yang kamu pikirkan?” tanya Nadya. Ia melihat ada banyak sekali sisa makanan di piring Yumna, sementara gadis itu seolah menghentikan suapannya.
“Tidak apa-apa, Tante. Yumna tidak lapar. Maaf kalau Yumna nggak bisa menghabiskan makanan ini.” Yumna tersenyum. Ia tinggalkan makanannya begitu saja di atas meja lalu ia beranjak ke dalam kamar.
“Eh, kok malah ditinggal begitu saja sih? Kak Yumna itu nggak sopan banget ya. Sudah disiapkan makanan, nggak di makan lalu pergi begitu saja. Terus kita yang bereskan semua ini? Masa dia nggak ada inisiatif buat bantuin?” celoteh Bulan.
“Bulan, kamu nggak boleh ngomong gitu, Nak. Kak Yumna itu tamu kita. Lagi pula ia masih baru di sini, belum terbiasa. Nanti kalau sudah terbiasa, ia pasti akan jadi pribadi yang menyenangkan. Mungkin ia masih kangen sama ibunya,” jelas Nadya.
“Berarti ibunya yang salah dong, Ma. Ibunya nggak pernah ngajarin kak Yumna itu sopan dan santun. Wajahnya saja yang cantik, tapi kelakuannya minus.”
“Bulan, hentikan ucapan kamu!!” Dengan setengah membentak, Harun membuat suasana ruang makan yang tadinya aman dan damai, seketika berubah menjadi tegang.
Bulan memang berbeda dengan Jingga. Ia adalah pribadi yang tegas dan paling tidak suka dengan orang baru. Apa lagi kalau ada yang membadingkan dirinya dengan orang lain, ia tidak akan segan melampiaskan kekesalannya. Bulan memang sedikit maskulin dan paling kurang ramah dari ke empat anak-anak Harun.
“Papa kok malah bentak Bulan sih? Yang salah’kan kakak itu. Harusnya kakak itu bersikap sedikit lebih sopan di rumah orang lain.”
“Sstt … Sudah, Sayang … makan dulu ya. Nggak baik ribut di meja makan. lagi pula tadi’kan sudah mama jelaskan. Kak Yumna itu masih baru di sini. Bisa jadi ia belum terbiasa atau kangen sama ibu dan keluarganya. Jadi harap dimaklumi saja ya, Sayang … Bulan itu sudah besar, Bulan pasti mengerti.” Nadya berusaha membujuk sang anak.
Bulan mengangguk, “Maafkan Bulan.”
Harun menghela napas. Ia belai puncak kepala putri yang kini duduk di sampingnya itu.
“Maafkan papa juga ya, Nak … Papa itu sayang pada Bulan, makanya papa nggak suka kalau anak papa jadi anak yang tidak sopan begitu. Untuk sementara, sebaiknya kita biarkan dulu kak Yumna. Kalau bulan memang anak baik, harusnya Bulan menghampirinya dan berteman dengannya.”
“Gimana mau berteman, orang tertutup begitu.”
“Kalau kak Yumnanya tertutup, Bulannya lagi yang terbuka. Kalau ke duanya sama-sama tertutup, gimana cara bertemannya.”
“Iya, Pa. Nanti akan Bulan usahakan. Bulan mau habiskan makanan bulan dulu ya, Pa.”
Harun mengangguk seraya tersenyum.
Sementara di tempat berbeda, Yumna lagi-lagi terduduk di lantai. Ia sandarkan punggungnya di tepi ranjang dan ia pun kembali memuntahkan lahar dingin nan asin dari ke dua matanya. Yumna menangis. Ia menangisi nasibnya, menangisi ibu dan ayahnya dan juga menangisi keluarga bahagia yang saat ini ada di depan matanya.
Namun tiba-tiba, Yumna mendengar suara ketukan pintu. Ada seseorang yang kini berada di balik daun pintu kamar yang saat ini ditempati oleh Yumna.
Yumna segera menyeka air matanya. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu kamar.
“Yumna …,” sapa Nadya, ramah.
“Eh, tante … Aku kira siapa. Silahkan masuk, Tante,” jawab Yumna.
Nadya pun masuk ke dalam kamar. Ia tutup kembali pintu itu secara perlahan.
“Ada apa? Kamu masih sedih?”
Yumna menggeleng seraya tersenyum, “Aku hanya kangen sama mama, Tante. Aku kangen sama keluargaku yang dulu juga pernah utuh dan bahagia seperti itu. Ya, walaupun nggak sebahagia keluarga tante, setidaknya aku dulunya masih punya keuarga yang lengkap. Kini mereka semua malah membenci dan menjauhiku. Padahal kalau dipikir-dipikir lagi, mereka dekat lo dari sini. Maksudnya nenek, kakek dan keluargaku yang lain.”
Nadya tersenyum. Ia pegang tangan Yumna lalu ia tuntun duduk di atas ranjang.
“Yumna, kamu tidak bersedih terus seperti ini. Bukankah kami juga keluarga kamu?”
“Beda, Tante. Apa lagi anak-anak tante nggak tahu siapa aku sebenarnya. Oiya, Tante. Nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan, aku mau kos saja, boleh ya?”
“Kenapa harus kos?”
“Aku nggak mau ngerepotin keluarga tante di sini. Aku nggak mau buat masalah. Apa lagi nanti kalau anak-anak tante sampai tahu siapa aku sebenarnya. Bulan juga kayaknya nggak suka sama aku.”
“Bulan itu masih kecil, jadi wajar saja ia punya sifat seperti itu. Yumna, tante tidak mau memaksakan kehendak pada kamu. Mau kos atau mau tinggal di sini, itu terserah pada pilihan kamu. Tapi kalau boleh tante minta, sebaiknya kamu di sini saja biar papa kamu biar lebih mengawasi.”
“Om Harun, Tante … Bukan papa,” ucap Yumna.
Nadya terdiam mendengar pernyataan Yumna.