Sarapan Lezat

1522 Kata
Kota Batam, kediaman Wenda. Sudah beberapa hari Rania berada di rumah Wenda di kota Batam. Ia sudah dipekerjakan Wenda sebagai Asisten Rumah Tangganya dan Rania merasa tidak keberatan. Justru ia sangat senang sebab saat ini ia punya tempat yang layak untuk tinggal dan mengistirahatkan dirinya. “Selamat pagi, Mbak …,” sapa Rania. Wenda yang baru saja terjaga, tersenyum menatap Rania, “Semakin hari bu Santi semakin segar saja. Tadi aku bangun karena mencium bau wangi dari dapur. Memangnya bu Santi masak apa?” tanya Wenda. Ia mengambil gelas dari tempatnya lalu meletakkan gelas itu di sebuah dispenser. Ia tekan tombol dispenser hingga air hangat pun keluar. “Maaf kalau masakan ibu sudah menganggu waktu istirahat mbak Wenda,” ucap Rania yang kini mengganti namanya menjadi Santi. Ia sengaja mengganti namanya untuk menyembunyikan identitas asli dirinya dari Wenda. Wenda mengambil gelas kaca yang sudah berisi air minum hangat itu. Ia bawa ke meja makan, lalu ia dudukkan bokongnya di salah satu kursi makan. Ia tenggak air mineral hangat itu sampai habis lalu ia letakkan gelas kaca kosong itu di atas meja makan. “Justru masakan ibu itu membuat aku jadi lapar. Sudah sebulan ini aku makan makanan instan saja, atau sesekali pesan makanan keluar lewat aplikasi. Memangnya ibu masak apa? Aku mau makan dong?” Rania tersenyum, “Tadi ibu lihat di lemari pendingin ada udang, lalu ibu masak saja. Ibu bikin nasi goreng udang untuk mbak Wenda. Nggak baik kalau sering-sering makan makanan instan. Mbak Wenda itu masih muda, jangan sampai nanti usus dan lambungnya jadi rusak karena keseringan makan mi instan.” “Iya, aku mikirnya juga gitu sih, Bu. Tapi mau gimana, selama ini bi Yuyun sangat memanjakan aku. Jadinya aku nggak bisa masak sama sekali.” “Jadi nama ART sebelum ini Yuyun?” “Iya, namanya Yuyun. Beliau orang jawa. Sudah lama beliau bekerja sama aku, bahkan semenjak mendiang mami dan papi masih ada. Cuma sebulan yang lalu beliau minta izin pulang karena anaknya mau nikah. Tapi sampai sekarang nggak balik-balik lagi. Waktu aku hubungi, katanya mau menetap di Jawa saja, jagain cucu-cucunya.” “Oh, begitu ya ….” “Hhmm ….” Rania sudah menata nasi goreng itu dengan cantik di atas meja. Ia dulu pernah bekerja di sebuah resto diwaktu muda, jadi ia sudah tahu bagaimana caranya menata makanan agar terlihat menarik, cantik dan mahal. “Silahkan, Mbak,” ucap Rania seraya meletakkan piring nasi goreng itu di ats meja di hadapan Wenda. “Hhmm … Cantik sekali. Jangan-jangan bu Santi ini dulu mantan chef ya?” Rania menggeleng, “Dulu waktu masih muda, pernah bekerja di sebuah resto, Mbak. Saya bukan koki, tapi suka bantu-bantu pekerjaan koki menata-manata makanan agar terlihat bagus dan berkelas. Jadi sedikit-sedikit bisa’lah membuat platingan.” “Tapi ini keren banget lo, Bu. Udah kayak berasa makan di resto mahal. Punya ibu mana? Kok yang dihidangkan hanya satu saja?” Rania tersenyum, “Nggak apa-apa, Mbak. Mbak Wenda makan duluan saja. Ibu bisa kapan saja kok.” “Jangan begitu, Bu … Aku sudah nganggap ibu tu ibu aku sendiri. Ambil makanan ibu dan kita makan bareng di sini.” Rania tersenyum, “Sebentar, ibu akan buatkan lemon tea hangat buat mbak Wenda.” Wenda mengangguk. Tidak lama, minuman hangat nan segar itu sudah selesai dibuat oleh Rania. Ia hidangkan minuman itu di atas meja tepat di depan Wenda. Lalu ia kembali ke dapur untuk mengambil makanannya sendiri dan duduk tepat di depan Wenda. “Bu Santi tidak buat minuman? Ada s**u di lemari. Sudah aku belikan buat ibu. s**u itu sangat bagus untuk kekuatan tulang.” “Sudah, ibu sudah meminumnya tadi. Mbak Wenda ini sangat baik. Harusnya mbak Wenda tidak perlu repot membelikan ibu s**u segala.” “Harus, Bu … Jangankan ibu yang melayani aku dengan baik di rumah ini, ibu-ibu di Yayasan saja juga aku belikan s**u kok.” “Hari ini mbak Wenda ada rencana ke Yayasan?” “Ada … Kabarnya ada seorang penghuni Yayasan mau lahiran. Aku mau melihat proses lahirannya nanti. Setelah lahiran nanti, orang tuanya akan mengambil kembali anak mereka karena dirasa sudah sembuh. Cuma belum tahu dengan bayinya, karena kemarin waktu aku tanyakan, kata mereka, mereka tidak mau bayinya. Katanya ekonomi mereka sulit dan tidak akan sanggup membesarkan bay itu.” Rania tiba-tiba menghela napas. Ke dua netra yang dulunya sangat tajam, cantik memesona itu tiba-tiba saja berkaca-kaca. “Ada apa, Bu?” “Ah, tidak apa-apa, Mbak. Ibu hanya kasihan saja pada bayi itu. Ia tidak bisa memilih dari rahim mana ia akan lahir. Lalu tiba-tiba saja ada orang jahat yang melecehkan ibunya hingga ia ada di dalam rahim itu dan menetap di sana selama sembilan bulan. Sayangnya, baik sang penanam benih, sang ibu yang saat ini dalam gangguan jiwa dan keluarganya tidak mau bertanggung jawab terhadap bayi itu.” Wenda tersenyum, “Itulah kejamnya dunia, Bu dan aku sudah terbiasa menyaksikan hal seperti itu. Ada beberapa bayi yang kami rawat di yayasan dengan latar belakang yang sama. Ada yang ibunya dilecehkan ketika sudah dalam kondisi gangguan jiwa, ada juga yang mengalami ganggung jiwa karena sebelumnya sudah dilecehkan oleh seseorang. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Itulah fungsi kita sebagai manusia normal yang diberikan kelebihan harta oleh Tuhan. Agar kita bisa bantu mereka dengan pikiran, tenaga dan harta.” “Hati mbak Wenda benar-benar sangat mulia.” “Semua manusia itu hatinya mulia, Bu. Hanya saja, ada manusia yang tidak sadar dan malah memperturutkan nafsu setan. Aku hanya ingin hidupku ini berguna. Setidaknya dengan aku berbuat baik, mami dan papi akan bahagia di sana karena kebaikan yang aku perbuat pasti akan membuat mereka bahagia di surga.” “Aamiin … Oiya, silahkan dinikmati dulu nasi gorengnya, Mbak. Nanti keburu dingin dan nggak enak lagi.” “Oiya … keasikan ngobrol jadi lupa sama makanannya. Mari makan bareng.” Rania tersenyum. Ia pun mulai menyendok makanannya, begitu juga dengan Wenda. “Hhmm … Selama ibu di sini, belum ada satu pun masakan ibu yang gagal. Ini sangat luar biasa, enak sekali. Cocok untuk ide bisnis.” “Ah, mbak Wenda memujinya berlebihan sekali.” “Nggak, aku serius … Ini beneran enak, sempurna … Kayaknya kalau bu Santi terus berada di sini, aku bisa-bisa kebablasan jadi gendut deh.” Wenda terkekeh ringan. “Nggak apa-apa kok. Gendut pun ibu yakin mbak Wenda akan tetap cantik.” “Sayangnya sampai sekarang masih jomlo, hehehe ….” “Itu karena mbak Wendanya terlalu pemilih.” “Pemilih itu hukumnya wajib, Bu. Pernikahan itu bukan hanya tentang penyatuan dua tubuh, tapi penyatuan dua jiwa dan tujuan hidup bersama sampai mau memisahkan. Apa lagi aku lihat sudah banyak yang nikah sebentar lalu cerai. Alasannya karena sudah tidak ada kecocokan. Rasanya kok aneh ya, kalau memang tidak cocok kenapa menikah? Bukankah sudah bisa diliat dari awal kalau kita dan pasangan kita sebenarnya tidak cocok?” “Kadang cinta membutakan mata hati dan jiwa, Mbak.” “Hhmm … Ibu benar juga. Makanya aku jadi trauma. Semoga saja nanti Tuhan kirimkan seorang lelaki yang baik yang bisa menjadi teman hidup aku sampai tubuh ini menua. Bukan lelaki yang cuma sayangnya pas kita kuat saja. Nanti kalau sudah mulai bergelambir, ia cari yang lain yang lebih gemoy. Iya’kan, Bu?” Rania terkekeh ringan, “Ibu doakan semoga mbak Wenda cepat dapat jodoh yang baik.” “Aamiin … Ayo lanjut makan. Setelah ini aku harus bersiap karena mau ada syuting buat channel YouTube. Aku baru dapat kabar dari tim kalau di daerah Nagoya ada seorang ODGJ perempuan yang lalu lalang. Katanya sih sedang hamil. Kita perlu menolongnya. Jangan biarkan ia tetap berkeliaran di jalanan karena pasti akan rentan terkena pelecehan dan penyiksaan.” Rania mengangguk, “Ibu boleh ikut’kan?” “Ibu mau ikutan syuting juga?” “Bukan, bukan mau syuting. Tapi ibu ingin ikut melihat. Ibu mohon jangan sampai timnya mbak Wenda mengambil gambar ibu. Ibu mau membantu di balik layar saja.” “Kenapa? Kalau ibu mau ibu juga bisa ikut syuting bareng kita kok?” “Tidak, Mbak. Ibu mohon jangan … Ibu tidak mau keluarga ibu melihatnya. Ibu hanya ingin hidup tenang di sini. Kalau timnya mbak Wenda tidak mau untuk tidak mengambil gambar ibu, sebaiknya ibu tetap di rumah saja.” “Jangan begitu, Bu … Baiklah, ibu boleh ikut sama aku dan ibu boleh membantu di belakang layar. Kalau ibu memang tidak mau masuk ke dalam lensa kamera, ibu jangan ikut membantu ketika proses syuting dimulai. Ibu membantunya nanti saja setelah proses syutingnya selesai.” “Baik, Mbak. Terima kasih sudah mengizinkan ibu untuk ikut bersama mbak Wenda.” “Sama-sama, Bu … Aku mau lanjut makan dulu ya. Setelah itu aku mau bersantai sebentar, olah raga lalu bersiap untuk pergi syuting.” “Iya, Mbak.” Wenda pun kembali fokus pada makanannya. Masakan Rania memang lezat dan sangat cocok di lidahnya. Wanita cantik keturunan tionghoa itu sesekali menatap layar ponselnya. Ia tengah berkomunikasi dengan timnya untuk persiapan syuting siang ini. Ada sebuah target yang harus mereka bantu dan mereka akan merekamnya untuk mengisi channel YouTube miliknya yang saat ini sudah diikuti oleh lebih dari empat juta orang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN