Arsen diam memperhatikan seluruh orang yang ada di aula dan dia bisa merasakan jika dengungan suara Argus yang menghipnotis mereka, seakan ada ancaman di dalamnya.
“Jadi apa yang memicu kalian untuk bergabung di sini?” tanya Arsen tiba-tiba ketika Argus berhenti sejenak dengan ucapannya.
“Yang Mulia, maaf –“ Argus menimpali tapi ucapan itu kembali dipotong oleh Arsen.
“Apa yang membuat kalian datang kemari dan bergabung bersama Acasha?” tanya Arsen kembali dengan suara lebih lantang.
Gaston dan Recco melihat jika orang-orang menunjukkan reaki beragam termasuk tak menghormati Arsen dengan tetap menikmati makanannya tanpa sungkan.
“Aku memang Raja di Kerajaan Parsy, tapi aku tak pernah tahu ada pelatihan sebesar ini, jadi untuk siapa kalian berlatih dan siapa tuan kalian sebenarnya?” desak Arsen semakin tak sabar.
“Yang Mulia tolong kendalikan emosi Yang Mulia, kami semua ada di sini untuk membantu Anda mewujudkan apa yang ingin Anda capai,” Argus berusaha meluruskan semuanya.
Prrraaaannng..
Suara dentuman alat makan yang diletakkan keras oleh seseorang memecah perhatian Arsen dan lelaki itu mengedarkan pandnaan untuk mencari tahu siapa yang melakukan hal itu.
“Kami hanya ingin kedamaian dan di kamp ini kami mendapatkan semuanya etelah kami kehilangan keluarga kmai dalam bencana dan peperangan yang tak tahu untuk apa,” ucap seorang pria menatap Arsen tanpa kenal takut.
Arsen tersenyum mendengarnya tapi Argfus tak suka mendengarnya dan dia memperhatikan lelaki itu dengan seksama.
“Ada yang lain?” tanya Arsen kepada publik yang ada di sana.
“Jika tak ada jawaban lain, maka aku menganggap alasan kalian sama seperti dia,” timmpal Arsen.
“Hei, siapa namau Tuan?” tanya Arsen membuat orang itu terhenyak, bukan karena pertanyaan Arsen tapi karena lelaki itu memanggilnya Tuan yang artinya dia menghorati dirinya.
“Suarez,” jawab pria itu yakin.
“Good Suarez, terima kasih atas jawabanmu,” sahut Arsen santai membuat riuh kembali terdengar.
Bagi semua orang yang ada di sana mereka selama berlatih dan mengisi waktu di sini dengan strategi perang tak pernah ada rasa terima kasih atau penghargaan seperti yang Arsen lakukan.
Peserta pelatihan yang ada di sini memang paling banyak dari kalangan rendah atau b***k yang dibebaskan oleh kerajaan. Kondisi itu yang membuat mereka merasa berterima kasih dengan kerajaan dengan mengabidkan hidup mereka dalam kamp seperti ini.
Tapi bagaimana pun mereka adalah manusia biasa yang membutuhkan penghargaan atas kerja keras mereka meskipun kecil, seperti pujian atau rasa terima kasih yang mereka lihat hari ini dalam diri Arsen.
“Kami tidak tahu apa yang kami lakukan di sini, seakan semua ini hanya untuk mengisi waktu kosong dan rasa terima kasih karena kalian telah memberi kami makan sehari-hari,” ucap pria yang lain membuat Arsen menaruh perhatian kepadanya.
“Apa mereka tak mengatakan kepada kalian apa tujuan mereka membawa kalian kemari?” pancing Arsen dan sontak saja semua orang menggeleng yakin.
Argus menegang.
Arsen menatap Argus sengit. “Jadi apa tujuanmu membentuk semua ini tapi mereka saja tak tahu jika aku Raja mereka yang memberi mereka makan,” ucap Arsen lembut tapi tatapannya mengerikan bagi Argus.
“Itu demi tujuan kita yang rapi dan tidak bocor kemanapun,” kilah Argus.
Arsen kembali memalingkan wajah kepada para penduduk di sana. “Apa kalian bersedia mati saat ini?” tanya Arsen membuat yang lain bergidik ngeri dan suasan menjadi gaduh.
“Lalu, bagaimana kalian memberikan kesetiaan kepadaku, jika kalian semua yang ada di sini takut mati. Lebih baik kalian pulang saja dan kembali pada keluargamu,” komentar Arsen meninggikan suaranya.
Argus terkejut dengan ucapan itu tapi beberapa dari orang-orang yang ada di sana malah menganggap ucapan Arsen sebagai hadiah untuk mereka.
“Kami akan mengabdikan hidup kami kepada Anda yang Mulia jika Anda mengijinkan kami kembali pada keluarga kami,” pinta beberapa orang sambil berlutut membuat Arsen bergetar.
“Berapa tahun kalian ada di sini?” tnya Arsen pelan.
Arsen mendengar jawaban beragam tapi seseorang berteriak kepadanya jika dia sudah lima tahun di sini. Rasa manusiawi Arsen muncul dan dia menatap Argus sebelum mengeluarkn keputusannya.
“Acasha ini milikku atau milikmu?” tanya Arsen tegas membuat Argus ngeri.
“Tentu saja ini milik Anda Yang Mulia,” jawab Argus cepat.
Arsen tersenyum, “Itu artinya aku berhak menentukan keputusan apa yang harus kuperbuat untuk mereka bukan?” tanya Arsen tapi mengandung nada sarkastik.
Argus mengangguk.
“Jika kalian merasa keluarga kalian menunggu di rumah, pulanglah dan tinggalkan tempat ini, dengan syarat tutup mulutkalian atau maut akan mengintai kalian jika kalian berani membocorkan masalah ini,” perintah Arsen.
Sorak sorai terdengar heboh di aula bahkan pancaran kebahagiaan muncul di wajah mereka. Arsen menghela napas lega sedangkan Argus hanya bisa diam tapi tak lama dia terkekeh dengan keputusan Arsen.
“Mereka bukan hewan yang bisa kamu kurung seenaknya, lihat saja besok kamu akan tahu berapa orang yang menaruh kesetiaan kepadamu,” ucap Arsen dan berlalu dari sana.
***
Arsen, Recco dan Gaston sudah menyiapkan peralatan untuk melakukan pengintaian, baju serba hitam, masker, radio komunikasi, topi dan sepatu boot hitam.
“Jika terjadi sesuatu kepada kita, kembali ke sini dan jalankan master plan seperti biasa, bawa bantuan seperlunya agar tidak terlihat mencurigakan,” pesan Arsen membuat keduanya menggeleng.
“Kita sendiri yang akan mencari Yang Mulia jika Yang Mulia menghilang,” sahut Gaston cepat.
Arsen terkekeh, tapi ada perasaan syukur dalam dirinya jika mereka masih peduli kepadanya.
Gaston memimpin jalan, Arsen di tengah dan Recco di belakang. Ketiganya menyusuri jalan yang sudah Gaston tandai dari kamar Arsen dan berjalan menyusuri tanah berbukit untuk sampai ke balik air terjun palsu itu.
“Seharusnya jalan ini jadi jalan licin jika memang dekat dengan air terjun,” analisa Arsen.
“Dan jalan paling bahaya jka dlalui,” tambah Gaston.
“Tapi anehnya ini jadi jalan paling mudah dilalui dibanding lorong sebelumnya, malah cukup lebar jika menaiki kendaraan,” Recco ikut menimpali.
Mereka sampai di dekat air terjun yang ternyata air terjun itu buatan dan terdapat celah di baliknya yang bisa dilewati oleh siapa saja. Gaston masuk celah itu dan menyusuri lorong sampai ada di dua cabang seakan mereka dejavu dengan kondisi ini.
“Kanan,” ucap Arsen paham jika Gaston tidak bisa memilih mana yang harus mereka lewati.
Gaston belok kanan dan yang lainnya mengikuti, ada rasa cemas melingkupi ketiganya karena tak melihat ujung lorong sama sekali. Arsen sesekali menyentuh dinding yang ada di sana untuk tahu bagaimana kondisi jalan ini. Meskipun mereka membawa senter tapi cahaya dari senter seakan tak menggambarkan kondisi lorong ini.
Sayup-sayup mereka mendengar keramaian layaknya pasar tempat orang berkumpul. Ketiganya saling pandang dan mulai mempercepat laju mereka sampai akhirnya mereka ada di ujung lorong yang ada di balik pohon besar.
Recco mengucek-ucek matanya, Gaston hanya bisa diam sedangkan Arsen tertawa pelan melihat pemandangan di depannya. Tak ada satu pun dari mereka yang menyangka jika mereka sampai di tepi pasar hanya berjalan kaki.
“Jika ingatanku tak salah ini kan,” Gaston bergumam pelan tapi Arsen menimpali dengan cepat.
“Timur pasar Palaciada tempat para pendatang tanpa status yang jelas tapi sudah menjadi penduduk Palaciada sejak lama,” Arsen menjelaskan dengan gamblang apa aygn dia ketahui.
Gaston mengangguk setuju dengan ucapan itu.
“Aku kira hanya mataku yang salah, karena aku dan Gaston sempat mencari informasi di pasar ini dan kita tak perlu berkendara enam jam hanya untuk sampai di Palaciada,” keluh Recco.
Arsen menyadari sesuatu. “Ayo kita kembali, kita cek lorong satunya,” perintahnya membuat Recco menggerutu kesal karena dia pikir dia bisa menikmati kopi atau teh terlebih dulu.
Begitu mereka masuk lorong, Arsen menyalakan stopwatch pada jam tangannya untuk mengetahu waktu tempuh dari ujung lorong itu.
“Gila, cuma 30 menit dengan jalan kaki, itu artinya jalan ini sengaja dibuat atau sudah ada sejak lama,” geram Arsen.
Recco dan Gaston mulai paham kenapa Arsen meminta kembali, dibandingkan perjalanan mereka selama enam jam untuk sampai ke sini, sedangkan jalan rahasia ini hanya perlu 30 menit, cukup aneh jika ini kebetulan dan pasti ada unsur kesengajaan.
Arsen kembali menyalakan stopwatch dan mereka menyusuri lorong satunya. Tak beda jauh, hanya butuh waktu 35 menit keluar dari lorong itu dan Arsen makin kesal begitu tahu dimana ujung lorong ini.
“Pantas saja Argus bisa datang kapan saja ke Parsy karena dia menggunakan jalan ini dan dia bisa melakukan apa saja selama aku tak ada tanpa dicurigai karena ada jalan ini. Sialan!” kesal Arsen.
“Aku tak tahu ini kebodohannya atau memang dia yang licik. Tapi aku rasa kita tak boleh sepenuhnya percaya kepada pria tua itu Sen,” ungkap Recco dan Arsen setuju.
“Dari dua jalan ini aku yakin kita bisa tahu lokasi pastinya Acasha, bukan tidak mungkin ada jalan lain yang setipe dengan ini,” perintah Arsen tapi Gaston menyela ucapan Arsen itu.
“Peta itu hanya kamuflase Bos, aku rasa Argus memiliki misi tersendiri dan kita harus waspada setelah ini,” ucap Gton membuat Arsen bingung.
“Peta yang mana?” tanya Arsen cepat.
“Dua peta yang ada di ruang pertemuan, mungkin ada hal yang tersimpan dalam peta itu yang dia cari, tapi dia tak bisa menemukannya oleh sebab itu dia memancing kita dengan harapan analisa kita membantu mencari keinginannya,” analisa Gaston.
Arsen yang masih kesal karena ujung lorong kedua ini adalah tembok belakang istana miliknya tak berkomentar soal analisa Gaston. Namun, keduanya benar jika mulai sekarang dia harus waspada kepada Argus.
“Apa Ayah percaya gitu saja dengan Arsen atau siapapun dia sebagai Raja sedangkan hari ini saja dia sudah berani merusak pasukan kita yang dibentuk selama puluhan tahun.”
Deg.
***