7 : She Caught Him Lying

3024 Kata
Bertahun-tahun berteman dengan Gio, Ben tentu sudah sangat mengenal temannya itu. Ia tahu seperti apa keadaan temannya jika sedang dalam kondisi baik-baik saja dan tidak baik-baik saja. Dan untuk saat ini, Ben menyadari bahwa Gio sedang tidak baik-baik saja. Semua terlihat jelas dari kemuraman laki-laki itu sejak kesensitifan laki-laki itu semalam, muram di wajahnya ketika bangun tidur pagi tadi, serta senyuman atau cengiran yang tidak biasanya absen dari wajah Gio. Juga, Gio yang biasanya mempunyai nafsu makan yang besar, kali ini terlihat tidak tertarik untuk makan sama sekali. Padahal ada banyak menu sarapan yang terhidang di rumah Ben, di meja makan yang terletak tepat di hadapan mereka sekarang. Ini aneh, pikir Ben sembari sekilas melirik Gio yang hanya melamun sambil bertopang dagu. “Lo kenapa sih sebenernya?” Pada akhirnya, Ben tidak tahan untuk bertanya. Sudah cukup dia menahan rasa penasaran sejak Gio yang tiba-tiba muncul di kamarnya semalam. Gio hanya menggaruk kepala dan mengedikkan bahu. “Nggak apa-apa,” jawabnya datar. Ben memutar bola mata, lalu menggigit roti bakar yang ada di piringnya sebelum membalas, “Kayak cewek aja lo bilang nggak apa-apa padahal jelas ada apa-apanya.” “Bacot.” “Kurang ajar,” desis Ben. Gio tidak meresponnya, laki-laki itu hanya menatap kosong pada mangkuk besar berisi nasi goreng di hadapannya. Melihat tingkah Gio itu, Ben mau tidak mau dibuatnya resah. “Seriusan Yo, lo sebenarnya kenapa sih?” Gio berdecak, jengah dengan pertanyaan tersebut. “Udah dibilangin gue nggak apa-apa.” “Lo pikir gue bakal percaya gitu? Muka lo tuh udah lecek banget, udah kayak nggak ada semangat hidup dan lo bilang lo nggak apa-apa? Konyol.” Gio menghembuskan nafas dengan keras, disandarnya punggung pada kursi yang ia duduki di ruang makan rumah Ben. Meski semalam ia sudah mendapat tidur yang cukup, tetap saja ia masih merasa lelah. Baik secara fisik maupun psikis. Dan untuk sesaat, Gio memiliki keinginan untuk menghilang sesaat dari dunia. “Gue cuma capek,” ujar Gio kemudian, tanpa ekspresi dan masih menggunakan nada datarnya yang sungguh tidak biasa. Kecurigaan Ben semakin bertambah. “Berantem sama Rena ya?” Tanyanya sekasual mungkin. “Enggak.” “Terus?” “Dibilangin gue cuma capek,” Gio mengulangi jawaban sebelumnya, kali ini lebih ketus. Menyerah, Ben pun pada akhirnya memilih untuk bungkam. Walaupun dirinya benar-benar ingin tahu tentang apa yang sedang mengganggu pikiran temannya itu, tetapi Ben tidak benar-benar bisa memaksa Gio untuk bercerita jika memang laki-laki itu tidak mau. Ben tahu, Gio memang merupakan tipe yang sulit untuk berbagi cerita kepada orang-orang terdekatnya jika sedang menghadapi sesuatu yang dia anggap serius. Gio selalu butuh waktu untuk berpikir sebelum membuka diri dan menceritakan semuanya. Dan sebagai teman yang baik, yang bisa dilakukan Ben hanyalah menunggu dan hanya akan menjadi pendengar ketika diminta saja. Ben melanjutkan sarapannya, sementara Gio masih diam tanpa berniat untuk menyentuh makanan sama sekali. Untung saja kedua orangtua Ben sudah berangkat bekerja ketika mereka berdua turun ke ruang makan, sehingga Gio tidak perlu menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari orangtua Ben yang memang telah mengenal Gio dengan baik dan menganggap laki-laki itu sebagai anak mereka juga. Begitu Ben melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Sementara Ben ada kelas pada pukul sembilan nanti dan itu pun kelas yang dosennya cukup ditakuti karena peraturan ketatnya yang selalu berdampak pada nilai, sehingga Ben tidak bisa membolos hari ini. “Gue udah mau berangkat nih, lo kuliah nggak hari ini?” Gio hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan singkat. “Jangan lupa mandi lo pas mau kuliah nanti. Lo juga bisa pakai baju gue aja, soalnya kan pasti baju lo udah bau,” pesan Ben pada Gio. Lantas, ia meraih kunci mobilnya yang tergeletak di samping piring sarapannya. “Gue ke kampus duluan kalau gitu.” Lagi-lagi Gio hanya menjawab dengan sebuah anggukan tanpa bersuara. Melihatnya, lagi-lagi Ben merasa ada yang salah. Tetapi ia tidak berkomentar apapun dan bergegas pergi meninggalkan rumah, membiarkan Gio berdiam diri sedikit lebih lama lagi di rumahnya. Selepas Ben pergi, cukup lama Gio berdiam diri di ruang makan Ben, menatapi makanan yang terhidang di atas meja sementara pikirannya sama sekali tidak tertuju pada makanan-makanan itu. Pikiran Gio melantur jauh, sangat jauh hingga rasanya ia tidak menapak bumi lagi. Setelah kesadarannya kembali terkumpul dan Gio sudah kembali ke realita, ia segera bergegas untuk bersiap-siap pergi menuju kampus. Semua pun dilakukannya dengan gerakan cepat, mulai dari makan dua potong roti, pergi mandi, dan berpakaian. Tidak sampai dua puluh menit kemudian, Gio sudah duduk di atas motornya yang terparkir rapi di dalam garasi rumah Ben. Ia sudah berpakaian rapi, wajahnya pun tidak semuram sebelumnya--meski tidak terlihat sebaik biasanya—dan ransel pun telah tersandang dengan benar pada kedua bahunya. Sebelum menghidupkan mesin, Gio terlebih dahulu mengaktifkan ponsel yang sudah sejak kemarin ia matikan. Begitu layar ponsel itu menyala, notifikasi pun langsung masuk secara bertubi-tubi. Dan dari semua notifikasi tersebut, pesan-pesan dan panggilan tidak terjawab dari Rena yang mendominasi. Melihat nama perempuan itu, perut Gio rasanya seperti dipelintir dari dalam, membuatnya seketika tidak nyaman oleh rasa bersalah. Baru saja Gio hendak menghubungi Rena, tetapi siapa sangka, perempuan itu malah melakukannya terlebih dahulu. Menunjukkan dengan jelas bahwa Rena memang terus-menerus menghubunginya. Rena pasti khawatir padanya yang telah menghilang tanpa kabar selama lebih dari dua puluh empat jam. “Natta,” adalah kata pertama yang diucapkan Gio setelah dirinya menerima panggilan tersebut. Rena tidak langsung menjawab, menimbulkan sebuah jeda dimana Gio hanya bisa mendengar deru nafas pelannya. Kesempatan itu digunakan Gio untuk berpikir, merangkai cerita yang akan ia jelaskan pada Rena nantinya. Sementara matanya kini menatap lurus pada rumah mereka yang terlihat dari tempatnya berada sekarang. Sayang, untuk sekarang Gio tidak sanggup jika harus menemui Rena secara langsung. “Kamu darimana aja, Gi?” Suara Rena terdengar sangat halus saat menanyakan itu. Gio tercekat mendengarnya, tapi kemudian ia berdeham untuk mengembalikan suaranya. “Maaf ya, aku kemarin nggak datang. Aku sakit, tepar di rumah seharian, dan lupa nge-charge ponsel jadinya baru aktif sekarang.” “Ya ampun, kamu sakit apa?” Tanya Rena dengan nada khawatir yang sangat kentara. “Terus sekarang kamu gimana? Udah enakan? Udah minum obat kan?” “Aku sakit karena kecapekan. Udah enakan kok sekarang, kemarin udah dikasih obat sama Mama.” “Yaudah, kamu istirahat aja sekarang, kalau perlu nggak usah kuliah dulu biar bisa istirahat total.” “Iya, aku emang nggak kuliah kok hari ini,” gumam Gio. “Hari ini kelas aku cuma sampai jam dua belas, nanti pulang kelas aku samperin kamu ke rumah ya?” “Nggak, nggak usah!” Balas Gio cepat. Sadar bahwa jawabannya itu terkesan terlalu cepat dan nadanya lebih tinggi, Gio buru-buru menambahkam, “Aku nggak mau ngerepotin kamu, Natta. Aku nggak apa-apa kok, serius. Kamu nggak perlu datang jengukin aku.” “Tapi-“ “Aku nggak apa-apa,” ulang Gio lagi. “Percaya sama aku ya?” Di ujung sana, Rena terdiam. Membuat Gio membayangkan seperti apa ekspresi Rena saat ini. Dan yang mampu ia bayangkan adalah ekspresi kecewa Rena yang tahu bahwa Gio menyimpan sesuatu yang tidak jujur. Gio semakin digerogoti oleh rasa bersalahnya. “Yaudah kalau gitu,” ujar Rena tak berapa lama kemudian. “Kamu istirahat yang cukup ya biar cepat sembuh. Aku sayang kamu, Gi.” “Aku juga sayang kamu.” Dan setelahnya, Rena memutuskan sambungan telepon, menyisakan Gio yang masih menempelkan ponsel tanpa suara pada telinganya. “Maaf,” gumam Gio pada dirinya sendiri, pada Rena yang tidak bisa mendengarnya sebelum menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian, Gio menghidupkan mesin motornya, memanaskan sebentar motor tersebut sebelum keluar dari halaman rumah Ben yang pagarnya kebetulan masih terbuka lebar. Gio tidak tahu saja bahwa saat motornya keluar dari halaman rumah Ben untuk melesat membelah jalanan, ada Rena yang melihatnya. Saat itu Rena tahu kalau Gio baru saja berbohong padanya.   ***   Gio bohong. Gio bohong. Gio bohong. Semenjak melihat Gio yang keluar dari dalam rumah Ben tadi pagi setelah berbicara padanya lewat telepon, pikiran itu tidak bisa berhenti mengganggu benak Rena. Dan karena itu, sepanjang hari Rena merasa gelisah serta ada sejumput nyeri di hati yang juga ia rasakan dikarenakan fakta kalau Gio berbohong. Selama lima tahun pacaran, ini adalah kali pertamanya Gio berbohong kepada Rena. Entah apa alasan Gio mengutarakan kebohongan tersebut, Rena tidak tahu. Dia pun tidak ingin mencoba menebak apa alasannya meski penasaran. Karena Rena tahu, jika dia mulai menebak, pikiran negatif pasti akan semakin menghantuinya. Tapi, apa bener ini pertama kalinya dia bohong sama gue? Tanpa bisa dicegah, hal itu justru terpikirkan olehnya. Rena menghela napas dan menepuk-nepuk pelan keningnya. Nggak, itu nggak mungkin. Pasti ada alasan kenapa Gio bohong sama gue pagi ini. “Ren, lo kenapa sih?” Tepukan di bahu yang diberikan oleh Valerie berhasil membangunkan Rena dari lamunannya. Ia menoleh pada Valerie dan dua orang temannya lagi yang sedang menatapnya dengan pandangan bertanya. Astaga, pikiran Rena benar-benar sangat terdistraksi sampai-sampai dirinya melupakan kehadiran mereka semua. Rena memaksakan sebuah senyuman. “Gue nggak apa-apa kok.” Valerie menggeleng. “Lo nggak mungkin nggak apa-apa. Karena asal lo tau, tadi lo tuh hampir nabrak pilar. Lo nggak sadar?” “Hah? Serius?” Rena justru balas bertanya. Dia benar-benar tidak tahu tentang apa yang dikatakan oleh Valerie. “Untung aja tadi gue narik lo, kalau nggak mungkin muka lo udah hancur,” kata Valerie dengan nada serius. Gue semelamun itu ya? Renung Rena. “Lupain dulu deh, Ren, apa yang lo pikirin sekarang,” ujar Nara, temannya yang lain. “Kita ke sini kan mau seneng-seneng.” “Gue nggak lagi mikirin apa-apa kok,” Rena berkilah. “Hm, sepik,” gumam Valerie yang memang sudah paham dengan Rena meski mereka belum lama saling mengenal. “Yaudah lah, lanjut jalan lagi aja,” ujar Rena untuk mengalihkan topik pembicaraan. Kemudian, ia berjalan lebih dulu dibanding teman-temannya. Rena dan teman-temannya sekarang sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan setelah semua kelas perkuliahan mereka hari ini selesai. Sebenarnya Rena tidak ingin ikut pergi bersama teman-temannya itu karena suasana hatinya yang tidak terlalu bagus. Namun, Valerie memaksanya, sehingga Rena tidak punya pilihan lain selain ikut dengan mereka. Lagipula, Rena berpikir bahwa mungkin dirinya tidak akan terlalu memikirkan Gio jika bersenang-senang dengan mereka. Tapi nyatanya, Rena tidak bisa melupakan kejadian pagi ini semudah itu. Walaupun awalnya Rena berjalan lebih dulu dibanding teman-temannya, tetapi pada akhirnya mereka lah yang mengajak Rena kesana kemari. Mulai dari mengunjungi beberapa toko baju, ke tempat penjualan make up, hingga ke toko sepatu. Jika pada hari-hari biasa dimana suasana hati Rena sedang baik-baik saja, dirinya pasti akan merasa bersemangat diajak berbelanja oleh teman-temannya. Tapi untuk hari ini, Rena sama sekali tidak merasakan adanya semangat yang mengalir dalam dirinya. Yang ada, dia malah merasa lelah dan jengah menemani teman-temannya berbelanja “Kalian masih lama ya?” Tanya Rena saat teman-temannya hendak masuk ke dalam sebuah toko tas. “Namanya juga belanja sambil cuci mata, ya pasti lama lah, Ren,” jawab Valerie. “Kalian lanjutin aja ya belanjanya, gue mau ke toilet. Nanti kita ketemuan aja,” ujar Rena cepat. Dan belum sempat teman-temannya menjawab, Rena sudah terlebih dahulu melarikan diri dari mereka. Rena melangkah dengan cepat, tetapi tujuan langkahnya sekarang bukanlah toilet. Ia justru masuk ke dalam sebuah coffee shop yang ada di pusat perbelanjaan itu. Rena pun memesan segelas Frappucino berukuran besar. Dia membeli minuman itu bukan karena ingin, melainkan hanya dijadikan sebagai alasan supaya dirinya bisa duduk menyendiri di sudut coffee shop tersebut yang letaknya langsung menghadap ke luar jendela. Tempat yang benar-benar pas untuk merenung dan menyendiri. Gelas Frappucino itu Rena letakkan di atas meja kaca yang ada di depannya, sementara tangannya kini tengah memegang ponsel erat. Rena sedang bimbang, haruskah dirinya menghubungi Gio sekarang dan bertanya langsung kepada laki-laki itu tentang kebohongannya? Setelah meneleponnya tadi pagi, mereka belum saling menghubungi lagi. Gio pasti masih beranggapan kalau Rena sekarang sedang membiarkannya istirahat total. Laki-laki itu belum tahu kalau sebenarnya Rena tahu tentang kebohongannya. “Tapi gue takut,” gumam Rena kala dirinya hampir saja menghubungi nomor Gio. Dan ya, Rena memang takut. Ia takut dengan apapun kenyataan yang akan ia hadapi nantinya tentang alasan di balik kebohongan Gio. Tetapi, jika tidak dihadapi secepatnya, Rena akan terus bergumul dengan pikiran negatifnya yang kemungkinan bisa mengundang masalah yang lebih besar lagi. Pilihannya, ia memang harus menghubungi Gio sekarang dan meminta penjelasan. Tetapi, baru saja Rena hendak kembali menghubungi Gio, tindakannya itu kembali terhenti saat ada seorang perempuan datang menghampiri. “Renatta Aurum?” Rena buru-buru meletakkan ponselnya dan mengangkat kepala, tersenyum pada perempuan berambut hitam legam yang sebenarnya tidak ia kenali. “Iya?” “Wah, ternyata bener Rena ya,” ujar perempuan itu antusias. Senyumnya kini terkembang, membuatnya terlihat manis. “Sorry, do I know you?” Tanya Rena sopan, namun canggung. Sebenarnya, dihampiri oleh orang asing seperti ini bukanlah sesuatu yang aneh lagi bagi Rena. Ia sudah biasa dihampiri oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Hanya saja, sekarang Rena merasa harus menanyakan pertanyaan tersebut karena perempuan di depannya ini terlihat seusia dengannya, tidak seperti kebanyakan penggemar Rena yang biasanya masih duduk di bangku sekolah. “Oh, enggak, enggak. Kamu nggak kenal aku kok,” jawab perempuan itu sambil tertawa kecil. “But I do know you, since you’re pretty famous nowadays.” Rena ikut tertawa mendengarnya. “Ah, nggak kayak gitu kok,” gumamnya. Perempuan itu kembali tersenyum, kemudian ia menyelipkan sejumput rambut hitamnya yang tergerai ke balik telinga. “Maaf kalau lancang, tapi aku boleh duduk di sini nggak?” “Oh, iya, boleh kok,” angguk Rena. Setelah menggumamkan terima kasih dengan wajah sumringah yang sangat kentara, perempuan itu pun pada akhirnya duduk pada kursi di depan Rena. Dengan sangat terpaksa, Rena harus beramah-tamah kepada perempuan ini meski suasana hatinya sedang buruk. Dan semua itu demi menjaga citranya. “Kamu sendirian aja ya?” Tanya perempuan itu setelah menaruh gelas kopi miliknya sendiri di atas meja. “Aku sama temen-temen aku, cuma mereka lagi belanja dan karena aku lagi males ngikutin mereka, jadinya aku nunggu di sini deh.” Perempuan itu mengangguk mengerti. Lalu, seakan teringat sesuatu, ia pun tersentak dan segera mengulurkan tangan. “Kenalin, namaku Kalea.” Rena menjabat tangan perempuan bernama Kalea itu. “Renatta.” “Udah tau kok,” katanya sambil nyengir. “Oh iya, aku tau kamu soalnya kamu Selebgram dan kamu pacarnya Gio.” Ada sesuatu yang mencelos di dalam d**a Rena mendengar nama Gio disebutkan. “Kamu…kenal Gio?” “Iya, Gio teman kuliah aku,” angguk Kalea. “Makanya aku berani samperin dan negur kamu karena aku kenal sama Gio.” “Oh…gitu.” Rena hanya mengangguk singkat dan memaksakan senyum. Kemudian, ia melirik Kalea, menyadari betapa ayu dan manisnya perempuan itu. Dan memikirkan itu menimbulkan rasa tidak nyaman di hati Rena, tetapi ia cepat-cepat menepisnya dan memilih untuk menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan kejadian tadi pagi kepada Kalea. Rena berdeham terlebih dahulu sebelum bertanya, “Tadi Gio kuliah?” “Kuliah kok.” “Dia nggak sakit?” Kalea tertawa mendengarnya. “Enggak lah,” ia mengibaskan tangan. “Yang ada dia kelihatan sehat dan berlaku seperti orang nggak waras, kayak biasanya.” Rena kembali memaksakan senyum. “Beneran?” “Iya.” Kalea mengangguk yakin. “Aku bahkan ke sini sama Gio kok. Cuma dia tadi mau sholat dulu katanya, jadi aku ke sini duluan deh. Karena ketemu kamu, yaudah aku samperin aja sekalian soalnya kan nanti Gio bakal nyusul ke sini.” Tahu tidak? Rasanya ada sesuatu yang meledak di dalam d**a Rena mendengar penuturan dari perempuan yang bahkan baru pertama kali ini ia temui. Tanpa sadar, Rena mengepalkan tangan. Pikiran-pikiran yang ada di otaknya langsung tumpang tindih. Kacau. Hingga Rena tidak tahu harus menjawab apa. “Eh, kamu jangan salah paham, Rena,” ujar Kalea panik karena melihat Rena yang terdiam. “Aku ke sini sama Gio buat ngerjain tugas kok. Terus, nanti kita juga ketemuan sama anak-anak yang lain. Nggak ada apa-apa, aku bisa jamin.” Rena menarik napas, terlebih dahulu menenangkan diri sebelum mengangguk singkat. “Gue tau kok, Gio udah bilang, cuma gue tadi agak nggak ngeh aja.” Entah mengapa Rena malah mengutarakan kebohongan. “Oh, berarti lo nunggu Gio dong di sini?” “Enggak kok. Gue beneran cuma lagi nunggu temen-temen gue. Gue juga nggak mau ganggu acara kalian.” “Ah, iya.” Kalea hanya mengangguk dan tersenyum canggung. Rena meraih ponselnya di atas meja dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya. Lalu, tas tersebut ia sampirkan di bahu. Tiba-tiba saja dirinya merasa harus cepat-cepat pergi dari tempat ini dan menjauhkan diri dari perempuan bernama Kalea yang sukses membuatnya merasa tidak nyaman. Mata Kalea membulat kala melihat Rena sudah bangkit dari duduknya dan ikut mengambil gelas Frappucino miliknya yang masih penuh. “Eh, kamu mau kemana, Ren?” “Ke teman-teman gue. Kayaknya mereka udah nunggu,” jawab Rena kaku. “Gue duluan ya? Senang ketemu sama lo, Kalea.” Hanya itu yang dikatakan Rena. Kemudian, ia berjalan cepat untuk keluar dari coffee shop tersebut tanpa menoleh ke belakang lagi. Kalea pun tidak menahan kepergiannya. Hah, lagipulam untuk apa juga perempuan itu menahannya. Sekarang, Rena tidak lagi menahan amarahnya. Rasa sabarnya yang telah ia pertahankan selama ini pun runtuh begitu saja, telah tergantikan oleh rasa marah yang memenuhi d**a. Kalau Rena adalah seorang perempuan cengeng, dia pasti sekarang sudah menangis karena pikiran-pikiran buruknya. Tapi, ini Rena. Sejak berpacaran dengan Gio, ia memutuskan untuk tidak akan pernah menangis karena laki-laki itu tidak peduli jika nantinya ia akan disakiti. Bagi Rena, airmatanya terlalu berharga. Dan Rena juga tidak ingin terlihat lemah. Dia adalah perempuan yang kuat. Maka saat dirinya secara mengejutkan berpapasan dengan Gio di depan pintu coffee shop, Rena masih bisa bersikap tenang di hadapan Gio yang justru nampak terkejut. Sudut bibir Rena sedikit terangkat, membentuk sebuah seringai untuk Gio saat ia menepuk pelan bahu laki-laki itu dan berkata, “Udah ditunggu sama Kalea, Gi.” Hanya itu yang dikatakan oleh Rena. Kemudian, ia berjalan melewati Gio begitu saja. Dan meskipun dirinya berlagak kuat serta bersikap tenang, tetap tak bisa dipungkiri bahwa hati Rena rasanya sakit dan dadanya sesak. Dikarenakan Gio yang tidak datang mengejar ataupun memanggilnya, sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN