Malam ini, tidak seperti biasanya, sebelum pukul tujuh malam Ben sudah pulang ke rumahnya. Dia yang biasanya selalu keluyuran sampai larut malam bahkan bisa pulang pagi dan tak pulang sama sekali di akhir pekan.
Maka, Ben berada di rumah sebelum pukul sepuluh malam merupakan sesuatu yang sangat langka. Dan Ben tahu, kehadirannya pada jam segini pasti akan membuat orangtuanya—terlebih maminya—terkejut.
Tetapi ternyata tidak begitu.
Ketika masuk ke dalam rumahnya dan menemukan maminya sedang ada di ruang makan, Ben justru yang dibuat terkejut dengan kehadiran seseorang yang juga ada di sana. Maminya dan orang itu sedang mengobrol hangat sambil menikmati secangkir teh dan bolu pandan.
Karena terlalu terkejut, Ben bahkan mengerem langkahnya dan malah mematung di ambang pintu ruang makan.
What a surprise, pikir Ben. Kemarin malam Gio, sekarang malah ceweknya.
Ben pun jadi kikuk. Dia nyaris memutuskan untuk diam-diam melarikan diri dari sana sebelum dilihat oleh maminya atau pun Rena yang duduk membelakangi Ben. Sayang, belum sempat Ben menggerakkan kaki, sang mami sudah terlebih dahulu menangkap keberadaannya.
“Loh? Ben? Kenapa kamu pulang?”
Sontak Rena menoleh karena mendengar nama Ben disebut.
Dengan sangat piawai, Ben segera bersikap santai dan dengan tenang ia bergerak menghampiri maminya dan Rena yang duduk di depan meja makan.
“Apaan sih, Mi? Emangnya aku nggak boleh pulang?” Ben menarik kursi di sebelah Rena dan duduk di sana.
Tanpa disangka, Rena menyunggingkan senyum kecil untuk Ben sebelum kembali menghadap maminya Ben yang duduk tepat di depan Rena.
Melihat senyum Rena itu, Ben jadi miris. Tentu saja Rena harus bersikap ramah pada Ben setiap kali mereka ada di dekat orang lain, terlebih orangtua yang sudah sama-sama mengenal mereka. Sama seperti Rean dan Gio, Rena memang dekat dengan keluarga Ben, terutama maminya yang memang telah menganggap Rena—juga Shadira—sebagai anak gadis yang tidak pernah dimilikinya.
“Mami heran aja kamu pulang jam segini,” ujar maminya Ben. “Biasanya kan nggak pulang.”
Ben tersenyum kecut, lalu ia mencomot sepotong bolu yang ada di piring di dekatnya. “Buat sendiri, Mi?” Tanya Ben setelah menggigit kue bewarna hijau itu. “Tumben banget Mami mau buat kue, biasanya kan gagal terus.”
“Itu Bunda yang buat.” Rena justru menjawab, mengundang Ben untuk menaikkan sebelah alisnya.
“Iya, itu bundanya Rena yang buat, barusan Rena yang nganterin ke sini.”
Kepala Ben mengangguk. Ternyata tujuan Rena datang untuk mengantarkan bolu, yang mana hal itu pasti merupakan suruhan dari bundanya. Hal itu tentunya menenggelamkan pikiran Ben yang awalnya berasumsi bahwa Rena datang untuk menemuinya.
Ben jadi merasa bodoh karena telah berpikir hal mustahil seperti itu.
Melihat Ben yang memakan bolu itu dengan lahap, maminya menuangkan secangkir teh hangat untuk Ben. Dan Rena pun membantu menyerahkan cangkir teh itu kepada Ben berhubung dirinya memang duduk di sebelah laki-laki itu.
“Kamu udah makan?” Tanya sang Mami.
“Udah kok, Mi.” Ben menyeruput tehnya. “Papi belum pulang?”
“Papi lembur hari ini.”
Ben kembali menganggukkan kepala, bersamaan dengan potongan bolunya yang telah habis tertelan. Sekali lagi Ben menyeruput tehnya. “Aku mau mandi dulu ya, Mi.” Ia bangkit dari duduknya. “Mami lanjut ngobrol aja sama Rena.”
“Yaudah.” Maminya mengangguk.
Dan ketika Ben hendak berjalan pergi, Rena menahannya. “Nanti lo turun lagi ya? Ada yang mau gue omongin,” ujar perempuan itu pelan namun masih bisa terdengar oleh Ben.
Ben melirik pergelangan tangannya yang ditahan oleh Rena, lalu menatap perempuan itu dan melepaskan pergelangan tangannya sepelan mungkin dari cengkeraman Rena seraya berkata, “Oke.”
***
Jadilah satu jam kemudian, Ben dan Rena berada di halaman belakang rumah Ben. Hanya berdua. Dimana Ben duduk di pinggir gazebo yang ada di sana, sementara Rena berjalan mondar mandir di rerumputan hijau yang ada di depan gazebo itu.
Selama sepuluh menit pertama, mereka hanya saling diam. Ben asyik merokok di tempatnya duduk, meski ia tahu kalau Rena sangat benci asap rokok. Dan biasanya, Rena akan langsung marah-marah jika ada yang seenaknya merokok di depan wajahnya. Tetapi, ia tidak menegur Ben dan hanya membiarkannya saja. Perempuan itu malah sibuk mondar-mandir seperti sebuah setrika yang sedang melicinkan pakaian.
Walau Ben terlihat tenang dan santai, sejujurnya di dalam hati ia justru merasa canggung karena berhadapan dengan Rena seperti ini. Terlebih lagi, Rena juga berkata ingin membicarakan sesuatu dengan Ben. Tidak bisa dipungkiri bahwa Ben merasa tidak enak juga dengan topik yang akan dibahas oleh Rena, mengingat kata-kata menusuknya saat terakhir kali Rena mengajak Ben membicarakan sesuatu.
“Kalau lo terus mondar-mandir gitu, entar kepala gue bisa meledak karena pusing,” celetuk Ben setelah melepuskan asap rokoknya yang ke sekian kali.
Barulah Rena berhenti mondar-mandir dan berdiri menghadap Ben. Walau begitu, Ben melihat bahwa kaki Rena yang dilapisi sandal jepit bergerak mengetuk-ngetuk pijakannya. Dari gestur itu pun Ben tahu kalau perempuan di hadapannya ini sedang resah.
“Lo kenapa?” Ben menjatuhkan rokoknya yang masih setengah dan ia injak rokok tersebut hingga baranya padam. “Mau ngomongin apa sama gue?”
Dari sorot matanya, Rena terlihat ragu. Entah ragu untuk membicarakan apapun yang ingin ia bicarakan itu atau ragu karena hal lain.
“Tadi Mami lo cerita sama gue, katanya semalam Gio nginep di sini.”
Kening Ben lantas berkerut. Kalau topik yang ingin Rena bahas ini tentang Gio, berarti benar bahwa keduanya sedang terlibat masalah yang mungkin saja berhubungan dengan datangnya Gio semalam. “Emang iya nginep di sini. Dia nggak ngasih tau lo?”
Kedua sudut bibir Rena tertarik sedikit dan ia menghela napas. “Ternyata bener yang gue liat tadi pagi keluar dari rumah lo itu Gio.”
“Hah?”
“Gio bohong sama gue,” ujar Rena pelan.
“Bohong gimana maksud lo?”
Rena tak lantas menjawab. Ia justru berjalan menghampiri Ben dan duduk di samping laki-laki itu pada pinggiran gazebo. Sejenak Ben terkesiap karena Rena yang memutuskan untuk di sampingnya. Kini jarak mereka sangat dekat, mungkin hanya sejengkal.
Dan ini adalah kali pertamanya mereka duduk berdampingan lagi seperti ini setelah konflik di antara mereka terjadi dan hubungan mereka memburuk.
“Semalam Gio ngapain datang ke sini?” Rena bertanya dengan kepala sedikit tertunduk. “Dia cerita sesuatu nggak sama lo?”
Ben mengangkat bahu. Hal itu juga masih menjadi pertanyaan untuknya. “Gue nggak tau kenapa dia tiba-tiba datengin gue karena dia nggak cerita apa-apa. Tapi, dia keliatan kayak orang frustasi sih,” jawab Ben seadanya. “Emang kenapa? Kalian berdua lagi ribut?”
“Entahlah.” Rena bergumam. “Mungkin dia bosen sama gue.”
Kedua mata Ben sontak membulat. “Gio? Bosen sama lo?” Ia ulangi asumsi Rena tadi dengan nada bertanya yang berlebihan. “Itu mustahil.”
“Kenapa mustahil?”
“Because he loves you so much and everyone knows that.”
Jawaban cepat dari Ben itu membuat Rena tersenyum. Bukan tipe senyuman bahagia, melainkan senyuman pahit yang sarat akan kesedihan. “But love itself has an expired date,” gumam Rena dengan nada nyaris putus asa.
Ben pun tertegun mendengarnya. Apa yang dikatakan Rena sukses membuat kepalanya diisi oleh banyak tanda tanya. Astaga, tanda tanya yang diberikan Gio sejak semalam saja belum sempat terjawab dan kini Rena malah menambahkan tanda tanya baru.
Baik Gio dan Rena sama-sama menemui Ben dengan tampang putus asa. Ben jadi bingung karenanya.
“Masalah lo sama Gio apa? Perlu gue bantu biar bisa baikan?”
Rena terdengar menghela napas lelah. “Gue bahkan nggak tau masalahnya apa,” ujarnya. “Dua hari yang lalu, gue sama dia baik-baik aja. Tapi kemarin, dia seharian nggak ada kabar dan nggak bisa dihubungi.”
Ben mendengarkan cerita Rena.
“Tadi pagi gue telepon dia dan diangkat. Dia minta maaf sama gue, katanya kemarin dia sakit dan seharian ponselnya mati. Dia bilang, dia hari ini di rumah dan nggak kuliah. Nyatanya itu semua bohong karena gue ngeliat sendiri dia keluar dari rumah lo naik motor.”
Lagi, tanda tanya baru muncul di kepala Ben. “Gio bohong sama lo?”
Rena mengangguk.
“Tapi-“
“Gue tau, Gio nggak pernah bohong sebelumnya.” Rena sudah bisa menebak apa yang hendak dikatakan oleh Ben. “Terus, tadi siang gue ketemu dia di mall, dan dia sama cewek.”
“Hah?” Ben nyaris terlompat dari tempat duduk karena terlalu terkejut.
“Cewek itu temen kuliahnya sih dan katanya mereka mau ngerjain tugas,” jelas Rena. “Tapi, wajar kan kalau gue mikir yang macem-macem di saat gue tau gue lagi di bohongin cowok gue dan gue malah mergokin dia jalan sama cewek lain?”
Ben benar-benar terdiam. Sementara di sebelahnya, Rena masih menundukkan kepala. Meski begitu Ben tahu bahwa Rena tidak menangis dan tidak pula berniat untuk menangis meski di dalam hati dirinya merasa sedih.
Ben percaya dengan apa yang dikatakan oleh Rena karena rasanya tidak ada guna jika perempuan itu menyampaikan cerita bohongan. Rena terlalu tidak suka pada Ben untuk repot-repot melakukan hal itu dan mendatangi Ben untuk membahasnya.
Di sisi lain, Ben juga tidak percaya bahwa Gio melakukan itu. Ben sudah sangat paham dengan Gio. Dan ia tahu bahwa temannya itu bukan pembohong dan bukan pula seseorang yang berpotensi untuk selingkuh atau mendua. Gio adalah seseorang yang loyal dalam hal apapun.
Maka Ben meyakini bahwa ada alasan yang disimpan Gio di balik ini semua.
“Lo udah tanyain ini langsung ke Gio, Ren?”
Rena menatap Ben dan menggeleng. “Percaya nggak? Dia bahkan nggak ngehubungin gue sama sekali setelah pertemuan nggak sengaja di mall itu,” jawab Rena miris. “Dan gue nggak mau ngehubungin dia duluan.”
“Tapi lo harus ngebahas masalah ini sama dia biar jelas. Gio pasti punya alasan, Ren.”
“Kalau dia mau bahas, dia pasti bakalan langsung ngehubungin gue. Kalau dia nggak mau gue salah paham, harusnya dia tadi ngejar gue.”
“Mungkin aja dia-“
“Udah lah Ben,” Rena memotong perkataan Ben. “Maybe it’s the time he finally found someone better than me, it’s the time for his love to be expired, and it’s probably will be the end of me and him.”
“Lo terlalu overthinking.”
“Jadi, ini salah gue?”
“Gue nggak bilang gitu.”
“Terus gue harus gimana?”
“Kenapa lo malah cerita ini ke gue?” Ben balas bertanya.
Rena kembali menundukkan kepalanya. Tak bisa dipungkiri bahwa dirinya merasa malu pada diri sendiri. “Karena lo semalam disamperin Gio dan karena gue nggak tau harus cerita ke siapa lagi,” bisiknya. “Kalau gue cerita ke temen-temen gue, bisa dijamin setelahnya gue bakalan jadi bahan gosip mereka. Sementara kalau gue cerita ke Rean, lo tau sendiri apa yang bakalan dia lakuin.”
“He will definitely come to Gio and break his nose,” Ben mengangguk. “But, it’s kinda suck to know that I was your last choice.”
Kepala Rena semakin menunduk dalam. “Gue tau, gue emang b******k. Gue selalu jahat sama lo dan sekarang tanpa malu gue datengin lo untuk cerita ini semua. Gue emang nggak tau diri.”
Hilang sudah sikap dingin dan berjarak Rena terhadap Ben seperti kemarin-kemarin. Seharusnya Ben merasa senang akan kemajuan ini, tetapi ia justru merasa sedih, seolah Rena berhasil menularkan rasa sedih yang dirasakannya.
Perlahan tangan Ben tergerak untuk menepuk-nepuk bahu Rena pelan. Rena pun tidak menepis tangannya maupun melayangkan protes. Lalu Ben menyadari bahwa ini juga merupakan kali pertamanya Rena tidak merasa terancam lagi berada di dekatnya. Pertama kalinya setelah sekian lama, Rena merasa cukup aman berada di dekat Ben.
Perlahan, Ben bisa merasakan degup jantungnya yang kini beritme sedikit lebih cepat. Setelah sekian lama, ternyata perasaan itu masih ada, walau Ben tidak tahu apakah rasanya masih seutuh dulu atau sudah berkurang. Yang pasti, rasa itu ada dan setidaknya masih cukup besar untuk membuat Ben merasa berdosa karena sesaat dirinya berharap, hubungan Rena dan Gio akan benar-benar kandas.
Atas harapan sesaat itu, Ben merasa prihatin pada diri sendiri. “Kita sama-sama b******k, Ren,” ujarnya. “Tapi gue harap lo masih mau mendengarkan saran dari orang b******k kayak gue.”
“Saran apa?”
“Don’t lose hope on him. Don’t let him go.”
Rena tersenyum singkat mendengarnya. “Then what if he’s the one who wants to let me go?”
Untuk pertanyaan yang satu itu, Ben tidak bisa menjawabnya.