6 : He is A Good Friend

3606 Kata
“Ben! Lo datang!” Ben baru saja keluar dari dalam mobilnya, bahkan belum sempat menutup pintu, namun suara teriakan antusias itu sudah terdengar dari pintu masuk yang letaknya tidak jauh dari pelataran parkir tempatnya memarkirkan mobil barusan. Mendengar teriakan tersebut dan derap langkah yang kemudian mengiringi, Ben tak mampu menahan diri untuk mengeluarkan sebuah cengiran lebar. Ia memutar badan ke arah seorang laki-laki yang kini tengah berlari menghampirinya, lalu menutup pintu mobil, dan mengunci mobilnya bertepatan dengan sampainya orang itu tepat di depannya. Dengan sebuah cengiran lebar yang juga menghiasi wajahnya, laki-laki itu memeluk Ben. Bukan tipe pelukan manja, tentu saja. Tetapi sebuah pelukan singkat ala kaum lelaki yang biasanya diiringi dengan tepukan keras di bahu atau punggung. Ben tertawa keras setelah pelukan tersebut berakhir. Dipandangnya geli laki-laki berdarah tionghoa yang merupakan temannya itu. “Perlu gue kasih tau, kelakuan lo tadi persis kayak seorang gay yang senang karena melihat kekasihnya datang. Gue sampe merinding.” Laki-laki itu, Daniel, mencibir dan menepuk bahu Ben. Cukup keras hingga Ben dibuat sedikit berjengit olehnya. Ya, meski perawakan Daniel itu kurus dan tinggi seperti anggota boyband Korea, ditambah lagi tanpa adanya otot kokoh yang menyertai, tetapi kekuatan laki-laki itu tak bisa diremehkan juga. “Kalau perlu gue ingatkan, gue itu sama kayak lo.” “Sori, jangan menyamakan diri lo dengan gue karena jelas gue lebih ganteng daripada lo.” “Hah, taik!” Seru Daniel langsung, tapi kemudian ia cepat menambahkan. “Maksud gue tuh, kita sama dalam hal demen mainin hati cewek. Begitu.” Ben menghela napas keras, menggelengkan kepala, berlagak sok kecewa dengan perkataan Daniel. Lalu, ia merangkul temannya itu dan menggiring Daniel berjalan memasuki bangunan di depan mereka yang merupakan sebuah studio foto milik Daniel sendiri. “Lo tau, Niel, aib tuh nggak seharusnya dikatakan dengan keras,” bisik Ben sok serius kala mereka menaiki dua buah anak tangga yang ada di teras bangunan tersebut. “Aib itu harusnya disimpan rapat-rapat, biar calon korban nggak pada kabur. Hehehe.” “Sampah,” desis Daniel yang hanya menyebabkan tawa Ben kembali pecah. Daniel melepaskan diri dari rangkulan Ben karena tidak ingin orang-orang yang ada di sekitar mereka jadi salah paham dan malah mengira mereka sebagai dua kutub sejenis yang saling tertarik walau sebenarnya tidak. Laki-laki berkulit putih itu lalu mendorong pintu kaca dari studio foto miliknya hingga terbuka dan mempersilakan Ben untuk masuk terlebih dahulu. Begitu masuk ke dalam bangunan itu, mata Ben langsung menelusuri interior-nya yang apik dan mengandung nilai estetik tinggi. Ben rasa, setiap sudut dalam ruangan ini akan bagus untuk dijadikan latar belakang untuk berfoto. Maka wajar saja jika studio foto ini cukup terkenal, apalagi di kalangan remaja-remaja ibukota masa kini. Ah, Daniel memang pintar memanfaatkan peluang yang ada. “Studio lo Instragam-able banget ya,” komentar Ben sambil terus mengikuti Daniel. Mereka melewati seorang fotografer dan modelnya yang sedang melakukan sesi pemotretan di salah satu spot yang ada di sana. “Nggak heran duit lo mengalir lancar.” “Ya namanya juga bisnis, cuk,” balas Daniel santai. “Kudu kreatif sama gesit kalau mau sukses.” “Iri gue sama lo,” keluh Ben. “Duit lancar, nggak pusing mikirin kuliah lagi.” “Salah sendiri kenapa lo sok-sokan mau kuliah, udah tau bego.” “k*****t. Gue kan kuliah karena tuntutan orangtua yang mengharuskan anak-anaknya sarjana. Padahal, gelar juga nggak selamanya bikin seseorang sukses.” Daniel terbahak. “Jangan gitu, bro. Siapa tau lo nanti malah jadi jaksa yang terkenal di Indonesia. Kita kan nggak tau nasib nantinya gimana.” Ben memutar bola mata mendengarnya. “Ya kali. Gue aja belum becus mengadili kasus hidup sendiri, apa lagi mengadili kasus hidup orang lain.” “Malah curcol. Gue kan ngebayar lo bukan untuk berbagi penderitaan.” “Sialan lo, gue jadi merasa kayak cowok panggilan aja,” gerutu Ben. Ia terus mengikuti Daniel, sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah tangga yang ada di ujung ruangan. “Eh, di lantai dua nih?” “Iya,” angguk Daniel yang mulai menaiki tangga. “Model yang lain udah pada mulai daritadi kali, bahkan ada yang udah selesai.” “Oh.” Ben mengangguk paham. “Ada siapa aja emang?” “Banyak.” “Ya, siapa aja, cuk?” “Liat aja sendiri lah. Banyak tanya bener lo kayak kasir mini market.” “Hm, bangsat.” Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai di lantai dua dari bangunan itu. Dan ternyata benar apa kata Daniel barusan, kegiatan pemotretan di sana sudah dimulai. Dari semua wajah-wajah yang ada di sana, ada beberapa wajah yang Ben kenali dan tentu mereka juga mengenali Ben karena begitu melihat laki-laki itu datang, beberapa dari mereka langsung menyunggingkan senyum atau melambaikan tangan menyapa. Yap, teman Ben memang sebanyak itu. Dan perempuan yang menggandrunginya ada lebih banyak lagi. Tak heran mengapa ada banyak model serta artis sosial media terkenal di tempat ini yang akan menjadi model dari clothing line yang baru dirintis oleh Daniel dan sepupunya. Selain karena sepupu Daniel, Valerie, merupakan salah seorang artis sosial media juga, Daniel pun tentunya tidak akan mau mengambil sembarangan model. Apalagi ia sama sekali tidak main-main dengan bisnisnya baru ini. Dengan menggunakan otak dagangnya yang super itu, Daniel tentu hanya ingin memakai model yang ia anggap mampu menjual produknya sehingga mampu memberikan untung yang besar. Ya, walaupun modal yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Mengingat itu, entah kenapa Ben jadi merasa sedikit tidak nyaman karena dirinya sama sekali bukan model ataupun artis sosial media. Walaupun pengikut dari akun sosial media milik Ben sendiri juga tidak bisa dikatakan sedikit. “Woy, lo nggak bilang kalau mereka-mereka ini bakalan jadi model buat clothing line lo sama sepupu lo itu,” ujar Ben pada Daniel. “Yaelah, emang kenapa?” “Lo nggak salah orang kan milih gue?” Ben menunjuk dirinya sendiri. “Maksudnya, gue bukan model, gils. Gue hanyalah seorang cowok yang terlahir dengan wajah rupawan dan kebetulan cukup tenar. But still, gue nggak tenar-tenar amat dan gue juga bukan model, jadi?” “Halah,” Daniel mengibaskan tangannya, tak menanggapi perkataan Ben. “Daripada lo banyak cincong, mending lo sekarang ganti baju, sebentar lagi kita mulai.” Ben menatap Daniel datar. Dalam hati ia sedikit menyesal karena telah menerima tawaran dari Daniel yang telah memohon-mohon untuk menjadikannya model. Kalau saja Daniel bukan teman baik Ben yang telah ia kenal sejak SMA—meski mereka berbeda sekolah, pasti Ben akan menolak tawaran itu. Meski rupawan dan hobi diperhatikan, Ben tidak terlalu suka jika harus berpose di depan kamera dan menjadi model. “Untung lo teman gue, Niel, untung ya,” ujar Ben sambil meregangkan jemarinya. Melihat gestur itu, Daniel hanya cengengesan dan memberika gestur damai dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Udah, sekarang lo ganti baju ya, sama Yolanda tuh,” tunjuk Daniel pada seorang perempuan tinggi berambut panjang yang tengah sibuk memilihkan baju untuk model-model yang lain. “Untung lo teman ya, Niel,” ulang Ben lagi sebelum bergegas menuju perempuan bernama Yolanda itu. “Oh ya, Ben.” Tetapi, baru dua langkah berjalan, Daniel malah menghentikan Ben. “Nanti kan ada tema foto berpasangan. Nah, lo gue pasangin sama Rena. Renatta Aurum. Lo kenal, kan?” Apa yang disampaikan oleh Daniel itu laksana sebuah petir menggelegar di siang hari yang cerah. Ben lantas berbalik dan melotot pada Daniel secara refleks. “Apa lo bilang?” “Lo nanti bakal foto berpasangan sama Rena.” Mata Ben kian melebar. Tidak, bukan karena perkataan yang diulang oleh Daniel, melainkan oleh dua orang perempuan yang baru saja sampai di ruangan tempatnya berada ini. Salah satu dari orang itu adalah Valerie, sepupu Daniel, dan satunya lagi adalah seseorang yang tentu bisa kalian tebak siapa. *** Hari ini—yang Rena pikir akan berjalan dengan menyenangkan—ternyata tidak bisa dikatakan menyenangkan. Bahkan, terkesan menyebalkan. Semuanya dimulai dari pagi ketika Rean ribut karena salah satu jaket miliknya yang merupakan pemberian Shadira hilang dan dengan seenaknya laki-laki itu malah menyalahkan Rena yang telah memakainya tanpa izin. Padahal, Rena sama sekali tidak melakukan itu. Tanpa bisa ditahan, pertengkaran pun terjadi, berujung dengan keduanya yang dimarahi oleh ayah dan bunda. Lalu, Rena juga dibuat sebal oleh Valerie—salah satu teman akrabnya di kampus, sekaligus sesama artis sosial media—yang telah mengajaknya untuk pemotretan clothing line milik Valerie dan sepupunya hari ini. Awalnya Valerie berjanji untuk menjemput Rena jam sebelas, tetapi dengan ngaretnya Valerie malah datang pukul setengah dua. Meski tidak menunjukkannya, tetapi Rena sebal bukan main pada Valerie. Ia paling tidak suka dengan orang yang ngaret alias orang yang tidak disiplin waktu. Terlebih, Rena juga tidak suka dibuat menunggu dalam waktu yang cukup lama. Apalagi, mereka harus menghadapi macet di jalan sehingga memakan waktu satu jam untuk tiba di tempat tujuan. Sampai disana, rasa sebal Rena juga bertambah kala dia sampai ke studio foto tempat pemotretan berlangsung. Rena sama sekali tidak menyangka bahwa di studio itu juga ada Ben yang ikut diminta sebagai model dalam proyek ini. Kemudian Valerie bilang kalau Ben adalah teman akrab sepupunya sehingga laki-laki itu mendapat tawaran langsung dari sepupu Valerie itu. Padahal, Ben adalah orang terakhir yang mau Rena temui setelah keributan mereka kemarin. Dan sialnya lagi, dalam pemotretan ini dia malah dipasangkan dengan Ben. “Kalian kan temenan akrab, jadi biar fotonya nggak kaku gitu,” adalah jawaban sederhana dari Valerie setelah Rena protes mengapa dirinya malah dipasangkan dengan Ben. Rena hanya bisa menggerutu dalam hati mendengarnya. Akrab darimana coba. Ia tidak bisa menolak, Ben pun juga begitu. Yang bisa dilakukan keduanya hanyalah bersandiwara. Berlagak akrab dan berinteraksi selayaknya dua orang teman yang memang telah mengenal lama. Itu semua dilakukan demi menutupi masalah yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Tetapi, meskipun Rena bisa berakting dengan baik, tetap saja rasanya melelahkan karena harus sembunyi di balik kepura-puraan. “Ren, lo langsung pulang?” Rena baru keluar dari ruang ganti ketika Valerie yang ternyata sudah berdiri di depan pintu menanyakan itu. Rena melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya dan memberikan Valerie pakaian yang sebelumnya Rena gunakan untuk pemotretan yang baru saja usai. Tanpa terasa, sekarang sudah pukul enam sore lewat. “Gue nunggu dijemput nih.” “Dijemput Gio, ya?” Rena mengangguk. “Nah, ikut makan dulu aja. Kita semua mau ditraktir Daniel nih, sayang loh kalau nggak ikut.” “Eh?” Rena menimbang-nimbang, melihat ke sekeliling ruangan yang mulai sepi karena kegiatan pemotretan hari itu telah selesai. Rena ingin cepat-cepat pulang sebenarnya, ia pun agak berat hati untuk ikut karena ada Ben. Ia tidak betah berada di ruangan yang sama dengan laki-laki itu lebih lama lagi. “Kalian aja deh, Val, gue nggak ikut.” Valerie langsung menunjukkan raut wajah kecewa. “Yahhhh, ikut aja, Ren. Entar lo minta jemput Gio di tempat makannya aja.” “Duh nggak apa-apa, kalian aja.” “Ikut ajaaaa, lagian kan Gio juga belum jemput,” rengek Valerie. Perempuan itu memang suka mengeluarkan jurus merengek andalannya dalam hal merayu. Selama berteman di dunia perkuliahan ini, Rena kerap kali luluh dengan rengekan manja Valerie itu. “Tapi—“ “Ikut ya ya ya ya?” Rena menghela napas. Diliriknya ponsel yang ia genggam, dan benda itu tidak menunjukkan tanda adanya pesan masuk atau apa. Rena sebenarnya tidak yakin apakah benar Gio akan datang menjemputnya meski kemarin sudah berjanji. Laki-laki itu tidak bisa dihubungi sejak pagi dan tidak pula menghubungi hingga saat ini. Rena cukup khawatir akan hal itu tapi ia mencoba untuk berpikir positif karena menghilangnya Gio seperti ini bukanlah kali pertamanya terjadi. Meski begitu, tetap saja pikiran Rena dibuat terbebani olehnya. “Ren, ikut ya?” Valerie kembali bertanya, setengah memohon setengah merengek. Tidak punya pilihan lain, pada akhirnya Rena hanya mengangguk pasrah. “Yaudah kalau gitu.” *** Pukul sembilan malam, di luar hujan, dan Rena duduk pada kursi di dekat jendela kaca besar pada sebuah restoran tempatnya berada saat ini. Pandangan Rena tertuju luar jendela, fokus memerhatikan tetesan hujan yang membasahi tanah dan meninggalkan embun pada kaca jendela di sampingnya. Sementara satu jari telunjuk Rena mengetuk-ngetuk pelan layar ponselnya yang sejak tadi gelap, diam tak bergerak. Gio tak kunjung menghubungi, bahkan pesan Rena yang memberitahukan tentang lokasinya pun tak dibalas atau dibaca oleh Gio. Selama kegiatan makan malamnya bersama Valerie dan rekan-rekan mereka yang lain—termasuk Ben—Rena nyaris tak menyentuh makanannya karena gelisah dan terus menerus kepikiran tentang Gio yang tak kunjung berkabar. Di saat semua orang makan diiringi dengan obrolan-obrolan menyenangkan serta tawa bahagia karena saling melempar lelucon satu sama lain, Rena lebih memilih diam dan hanya merespon mereka sesekali. Tetapi, Rena masih mengusahakan diri untuk tersenyum saat yang lain tersenyum dan tertawa saat mereka juga tertawa. Rena tidak ingin menunjukkan kekalutannya karena ia tidak ingin ada yang bertanya. Sekarang kegiatan makan malam itu telah usai. Hampir semua rombongan mereka sudah pulang, termasuk Valerie yang baru saja pulang beberapa menit yang lalu tepat sebelum hujan turun. Valerie sempat menawari Rena untuk pulang bersamanya, tetapi Rena menolak dan beralasan pada Valerie bahwa Gio sebentar lagi akan datang. Meski Rena sendiri tidak yakin saat mengatakannya. Dari semua rombongan mereka yang berkumpul di restoran ini, yang masih bertahan hanyalah Rena, Ben, Daniel, beserta dua orang lagi yang Rena kenali sebagai fotografer temannya Daniel. Mereka duduk di meja yang berbeda dengan Rena dan Rena pun tak berniat untuk bergabung dengan mereka. Dan sepertinya, mereka juga tidak terlalu peduli dengan kehadiran Rena karena terlalu hanyut dalam percakapan mereka. Tapi sebenarnya tidak begitu. Rena tidak tahu saja kalau Ben terus memerhatikannya sejak mereka ada di restoran itu. Dan Ben pun menyadari kegelisahan Rena di balik senyum dan tawanya yang terlihat dipaksakan. Semua orang tidak bisa melihat itu, tetapi Ben bisa. Kala ponselnya tiba-tiba berdering menandakan sebuah panggilan masuk, Rena tersentak, lantas cepat-cepat melihat ke layar ponselnya yang kini menyala. Sayang, Rena harus menelan kekecewaan setelahnya. Yang menghubungi bukan Gio, melainkan ayahnya. “Halo, Yah?” Rena berujar lesu setelah ponsel tertempel di telinganya. Ia hanya diam mendengarkan ayahnya yang mengikat Rena untuk pulang. Sekarang sudah pukul sembilan dan jam malam Rena akan berakhir pada pukul sepuluh. Diam-diam Rena menghela napas. “Iya, Yah, ini aku udah mau pulang kok. Jangan khawatir, oke? Makasih, Ayah.” Setelah panggilan berakhir, cukup lama Rena terpekur sambil memegangi dahi. Dalam hati, Rena kecewa. Kecewa pada Gio. “Ren,” Rena terlebih dahulu mengusap wajahnya dengan kedua tangan sebelum mengangkat kepala dan melihat Ben telah berdiri di depannya, tanpa sempat Rena sadari kehadirannya yang mendekat. Rena berdecak pelan. “Kenapa?” Ben memasang wajah sedatar mungkin dan mengabaikan sikap tidak ramah Rena. “Ayo, pulang.” “Pulang?” Tanya Rena dengan dahi yang berkerut. Ia ingin menambahkan jawaban pedas, tetapi Ben sudah terlebih dahulu menyambar, “Ini udah malam dan hujan. Emangnya lo nggak mau pulang?” “Gue bisa pulang sendiri.” Rena membuang muka. “Dan beresiko membahayakan diri lo sendiri?” “Emangnya pulang sama lo bisa menjamin gue aman?” Ben sukses dibuat terdiam oleh pertanyaan yang disampaikan oleh Rena dengan nada dingin. Tanpa sadar, kedua tangan Ben terkepal erat mendengarnya. Ia pun mengatur napas, mengendalikan diri agar tidak terbawa emosi akibat pertanyaan Rena itu. “Lo bisa duduk di belakang,” jawab Ben kemudian. “Ada tongkat bisbol gue di kursi belakang. Kalau-kalau lo merasa terancam, lo bisa pukul gue pakai tongkat itu.” Setelah mengatakannya, Ben melepaskan jaket kulit yang ia kenakan, lantas melemparkan jaket tersebut hingga menutupi kepala Rena. “Apa-apaan sih?” Rena memerotes. “Nggak ada payung. Tutupin kepala lo pakai itu, biar nggak basah pas jalan ke mobil.” “Emangnya gue mau ikut pulang sama lo?” “Terserah lo. Setidaknya gue sudah berusaha untuk jadi teman yang baik dengan menawarkan lo pulang bareng.” Tanpa menunggu balasan Rena, Ben segera berbalik, lalu berjalan menuju pintu keluar dan berlari menerobos hujan menuju mobilnya yang terparkir di lapangan parkir di depan gedung restoran ini. Lewat jendela di sampingnya, Rena memandangi Ben yang berlari sambil menutupi kepala dengan satu tangan, yang mana hal itu percuma saja. Derasnya hujan yang mengguyur malam itu dengan mudah membuat Ben basah kuyup hanya dalam waktu singkat. Rena berdecak sebal. Dengan sangat terpaksa, ia mengikuti apa yang telah diinstruksikan oleh Ben. Karena untuk saat ini, hanya itulah pilihan yang ada untuknya. *** Selama di perjalanan menuju rumah mereka, baik Rena maupun Ben sama-sama membisu dan tidak berniat untuk membuka percakapan sama sekali. Yang menamani mereka di dalam mobil itu hanyalah deru suara mesin mobil dan suara hujan yang masih mengguyur di luar sana. Selebihnya, tidak ada suara lain. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ben, Rena pada akhirnya memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Dan dari rear view mirror, Ben bisa melihat bahwa satu tangan Rena menggenggam erat tongkat bisbol yang ada di sana selama mobil melaju. Melihatnya, Ben tersenyum miris pada diri sendiri. Ben tahu, dirinya bukanlah seseorang yang berhati baik. Ben pernah berbuat jahat dan sering berbuat salah. Tetapi, bukan berarti Ben merupakan seseorang yang selalu berperilaku jahat kepada semua orang. Ben memang b******k, tetapi dia juga punya sisi baiknya tersendiri, dan orang-orang yang mengenal tahu itu. Tetapi, sepertinya bagi Rena, yang ada di dalam diri Ben hanyalah kejahatan semata. Ben tahu bahwa Rena selalu berprasangka buruk padanya dan tidak pernah memandang kebaikan apapun itu yang pernah Ben lakukan. Di mata Rena, Ben jahat dan akan selalu jahat. Tidak peduli jika Ben selama ini telah mencoba untuk menjadi teman yang baik untuk Rena, walau Rena tak menganggapnya sebagai teman lagi. Sekarang Rena hanya menganggap Ben sebagai sampah yang mengganggu hidupnya. Dan semua itu disebabkan karena sebuah kesalahan yang pernah Ben lakukan di masa lalu. Memang benar apa kata orang, apabila sebuah kepercayaan telah tercoreng, akan sangat sulit untuk memperbaiki kepercayaan tersebut. Dan kalaupun bisa, kepercayaan itu tidak akan bisa terbentuk sekuat sebelumnya. Kurang lebih itulah yang terjadi di antara Ben dan Rena. Hujan telah sepenuhnya reda begitu mobil Ben sampai tepat di depan rumah Rena. Itu artinya, Ben tidak perlu repot-repot meminjamkan jaketnya lagi atau bahkan mengambilkan payung dibagasi untuk perempuan itu. “See? Lo selamat sampai ke rumah tanpa lecet dan luka sedikit pun.” Ben berujar tanpa bisa ditahan. “Gue nggak ngapa-ngapain lo karena gue nggak sejahat yang lo pikirin,” lanjutnya, kali ini lebih terkesan seperti gumaman. Rena tidak menggubris perkataan Ben tersebut. “Bukain kunci mobil, gue mau keluar,” ia justru memerintahkan itu dengan nada datar. Ben pun menghela napas—sengaja cukup keras agar Rena bisa mendengarnya—sebelum ia menekan tombol untuk membuka kunci pintu mobil. Rena membuka pintu mobil di sampingnya. “Makasih,” ujar Rena. “Hm.” Rena tak lantas turun, ada sesuatu yang hendak ia tanyakan, sebenarnya. Dan ia sedang menimbang-nimbang apakah pertanyaan itu sebaiknya ia tanyakan atau tidak. “Kenapa?” Tanya Ben yang bisa membaca situasi dengan cepat. Ia memutar kepala menghadap Rena yang terlihat ragu di tempat. Rena terlebih dahulu berdeham sebelum mengutarakan pertanyaannya, “Hari ini Gio ngehubungin lo, nggak?” “Hah?” Sebelah alis Ben terangkat. “Enggak tuh. Kenapa emang?” Pertanyaannya dijawab Rena dengan gelengan kepala. “Nggak apa-apa,” ujarnya cepat, kemudian melompat keluar dari mobil Ben tanpa berkata apa-apa lagi dan segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Selepas Rena pergi, justru Ben yang termenung. Ternyata dugaannya saat di restoran tadi benar, Rena terlihat gelisah karena Gio. “Kenapa mereka? Berantem?” Tanya Ben pada udara kosong yang tentunya tidak akan memberikan jawaban. “Ah, bukan urusan gue juga,” gumamnya lagi sebelum kembali melajukan mobil, kali ini menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah Rena. Ben tidak terpikir apa-apa saat mobilnya berhenti tepat di depan pagar dan ia menyalakan klakson dua kali, menunggu pintu pagar dibukakan oleh petugas keamanan di rumahnya. Hanya saja, begitu ia melajukan mobil masuk ke dalam rumah dan memarkirkannya di dalam garasi, Ben langsung dibuat terkejut dan pikirannya langsung dipenuhi banyak hal karena melihat sebuah motor yang sudah sangat ia kenali juga ikut terparkir di garasi rumahnya. Motor Gio. “Anjir,” umpat Ben yang terkejut. Ia segera bergegas keluar dari dalam mobilnya dan nyaris berlari masuk ke dalam rumah. “Loh, Ben, tumben jam segini kamu udah pulang?” Saat melintasi dapur, maminya menghentikan Ben dengan pertanyaan yang sebenarnya menyindir. Ben spontan mengerem langkah menuju tangga. “Ada Gio, Mi?” “Udah daritadi, dia nyariin kamu tapi kamunya nggak ada,” jawab wanita paruh baya yang sedang memegang gelas air minum itu. “Mami suruh dia tunggu di kamar kamu.” Tanpa menjawab, Ben kembali berlari menuju kamarnya yang ada di lantai atas, membuat maminya menggelengkan kepala melihat kelakuan anak bungsunya itu. Begitu sampai di kamarnya, benar saja ada Gio di sana. Sahabat karibnya itu sedang berbaring tengkurap di atas tempat tidur king size yang ada di kamar Ben. Saat Ben menghampirinya, kedua mata Gio terpejam. Tapi jelas laki-laki itu tidak sedang tidur karena tidak ada dengkuran yang terdengar, sementara biasanya Gio selalu tidur dengan mendengkur keras. “Woy, Setan, ngapain lo di kamar gue?!” Ben melemparkan bantal pada punggung Gio, menyebabkan laki-laki itu mengerang dan membalikkan wajah menghadap ke arah yang berlawanan dengan tempat Ben berdiri. “Gue nanya, woy!” Ben kembali melemparkan bantal itu pada Gio. “Tadi Rena nanyain lo tau.” “Berisik lo,” jawab Gio kesal. “Anjing. Nggak sopan amat lo sama tuan rumah.” Gio hanya mengibaskan tangannya, tanpa melihat Ben sama sekali. “Gue lagi frustasi dan gue sangat butuh tidur. Tolong. Jangan. Ganggu.” Mendengar nada bicara Gio yang penuh penekanan itu membuat tanda tanya seketika memenuhi kepala Ben. Ia penasaran dan ingin bertanya langsung kepada Gio tentang kemunculannya yang tiba-tiba dan tingkah lakunya sekarang. Tetapi, melihat Gio yang sepertinya tak ingin diganggu, sebagai teman yang baik, yang bisa dilakukan Ben hanyalah bungkam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN