6. Bersama Keluarga

1103 Kata
Usai membersihkan diri, Ilona segera ke dapur untuk memasak bahan-bahan yang telah dibelinya. Ia akan masak capcay dan omelet jamur kesukaan Gerry. Hidangan telur merupakanmenu favorit keluarganya. Tentu saja selain praktis memasaknya harga telur juga tidak terlalu mahal. Tak lupa ia pun menggoreng sosis berukuran besar yang jarang ia beli karena harganya yang cukup lumayan menguras kantong. Khusus makanan yang satu ini ia persembahkan untuk Ricky. Beberapa hari yang lalu Ricky sempat merengek mengungkapkan keinginannya. "Assalamualaikum." Terdengar suara Gerry. memgucapkan salam. Ia baru pulang dari sekolahan. Wajahnya terlihat lelah dengan oeluh membasahi sebagian rambut hitamnya. "Waalaikumsalam," jawab Ilona dari arah dapur. Remaja berusia enam belas tahun itu, lantas mendekat ke arah sang kakak untuk mencium telapak tangannya. "Kakak sudah pulang?" Ia bertanya dengan raut gembira. "Iya." Ilona mengangguk. "Gimana jualannya?" Ia lantas menanyakan aktifitas adiknya yang kini tengah meletakkan kantong plastik hitam berisi kotak makanan. Setiap hari ia selalu membawa dagangan ke sekolah. "Alhamdulillah habis semua Kak." Gerry tersenyum lebar. Hari ini Allah memberinya rezeki lebih karena barang dagangannya tak satu pun tersisa. Tentu saja karena ia pulang sore dan teman-teman nya yang ikut ekstrakurikuler memborongnya. "Alhamdulillah." Ilona turut senang. Adiknya itu berbakat dalam bisnis. "Aku mau bersih-bersih dulu ya, Kak." Pemuda tampan berkulit bersih itu meninggalkan Ilona untuk segera menuju kamarnya, menyimpan tas dan bersiap mandi. "Iya." Ilona mengangguk. Sementara itu Ilona kembali melanjutkan aktifitasnya. Biasanya kalau ada Ricky bocah itu selalu ingin ambil bagian. Ricky itu mirip dengan Gerry kecil yang suka merecoki ibunya di dapur. Menjelang maghrib adik yang satunya itu itu barulah tiba di rumah. "Assalamualaikum." Ia mengucapkan salam dengan nada sedihnya. "Waalaikumsalam." Ilona segera menyambutnya. Sejak tadi ia menunggu kepulangannya. Tak biasanya Ricky pulang terlambat. Penampilan Ricky tampak lelah dan berkeringat. "Ya Allah Ricky, kamu dari mana saja, Sayang? Tadinya kakak minta Kak Gerry untuk nyusul kamu ke madrasah." Ilona langsung memeluk sang adik. Ia sempat berpikiran buruk. "Ricky habis keliling dulu jual makanan ini. Tadi masih banyak." Ricky menunjuk ke arah kantong plastik berisi snack jajanan anak-anak. "Lain kali kamu tidak perlu memaksakan diri! Apalagi sebentar lagi mau hujan." Ilona menatap iba sang adik. Tak seharusnya adiknya itu berjualan seperti itu. "Iya Kak." Ricky mengangguk. Ricky ketularan Gerry yang selalu semangat berdagang makanan. "Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu ya, kakak siapkan dulu air panasnya." Ilona memberikan perintah. Ricky tak akan tidur nyenyak kalau badannya kotor. Bocah itu mengangguk pertanda setuju. Ilona mengambil alih kantong plastik di tangan Ricky. Sementara adiknya itu segera menyimpan tas ke kamar yang ia tempati bersama Gerry. Rasa bangga dan iba bercampur menjadi satu. Kedua adiknya selalu membantu dirinya dalam mengatasi masalah kesulitan keuangan. Ia berharap kehidupan mereka segera berubah. *** Malam ini menjadi malam istimewa bagi Ilona dan keluarganya. Tadi sore ia sengaja masak besar untuk makan malam istimewa mereka dalam rangka merayakan keberhasilannya mendapatkan pekerjaan baru. "Kakak sudah gajian ya?" Gerry berbisik kepada kakak perempuannya yang kini asyik menata makanan di atas meja makan. Kakek Banu, Ricky dan Banu duduk menanti dengan sabar. "Alhamdulillah, Kakak dapat tip pertama makanya bisa bayar utang sama Mpok Wati dan belanja banyak." Ilona lantas duduk dan mengisi piringnya. Ada perasaan lega yang ia rasakan atas apa yang bisa dilakukannya. "Alhamdulillah, semoga pekerjaan kakak lancar ya." Gerry memberikan doa terbaik. Ia bersyukur kakaknya kembali mendapatkan pekerjaan baru. Ia tak mempermasalahkan status sang kakak sebagai pramu golf yang sering diterpa isu miring di kalangan masyarakat umum. "Aamiin." Gadis cantik itu menghentikan acara kunyahannya dan menatap adiknya sekilas. Betapa terharunya saat mendengarkan kisah hidupnya. Ia pun berdoa semoga saja ke depannya mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi. Ilona ingin menjamin kesehatan ibu dan anggota keluarganya yang lain. "Gimana pengalaman pekerjaan pertama kamu?" Kakek Banu tertarik mendengar pengalaman Ilona. "Cukup menyenangkan." Ilona berusaha tersenyum. Sejujurnya ia merasa sedikit lelah. Bukan lelah karena fisik melainkan lelah hati dan pikirannya. "Syukurlah kakek senang mendengarnya." Kakek Banu memperlihatkan raut wajah bahagia. Sebenarnya ia tak tega melihat ketiga cucunya banting tulang, sementara ia hanya berdiam diri. Mereka lantas menikmati semua hidangan yang tersaja. Jarang-jarang mereka bisa makan enak seperti ini. Mereka terbiasa makan dengan sayur bening dan tahu tempe. Kalaupun ada lauk pauk lain paling hanya telur. Mereka berdoa semoga ke depannya bisa makan-makanan yang enak dan sehat terus. *** Untuk pertama kalinya Ilona dapat tersenyum ceria. Tentu saja karena ia senang melihat keluarganya yang tersenyum bahagia. Jika dibandingkan beberapa tahun ke belakang apa yang tersaji malam ini di meja tidaklah seberapa. Dulu apapun yang ia inginkan, pasti segera terlaksana. Namun setidaknya hari ini lebih baik dari kemarin-kemarin. Mereka bahkan pernah tak memiliki sesuatu apapun untuk dimakannya. Usai makan malam mereka pun berkumpul duduk bersama di depan televisi untuk menyaksikan tayangan komedi kedukaan Kakek Banu. Tiba-tiba saja TVnya mati sendiri. "Yah, mati lagi." Ricky tampak kecewa. "Hampir tiap hari sering mati sendiri." Kakek Banu memberikan kabar kepada Ilona. Gadis itu menghela nafas. Mungkin TV mereka minta diganti. "Mungkin TVnya harus diganti dengan yang baru, doakan saja semoga Kakak lekas punya uang unyuk membelinya." Ilona berusaha menenangkan Ricky supaya tak lagi bersedih. Televisi yang sekarang itu entah sudah berapa kali diservis. "Ga apa-apa kok, Kak. Gak nonton TV juga ga apa-apa. Kak Lona jangan terlalu memikirkannya." Ricky tak ingin menyusahkannya. "Iya, Kakek juga bisa cari hiburan lain dengan mendengarkan radio." Kakek Banu tersenyum. Tepat pukul setengah sembilan Ilona pamit ke dalam kamarnya. Sementara Ricky dan Gerry kembali berkutat dengan buku pelajaran mereka. Meski tugas-tugas sekolah sudah selesai namun sambil menunggu datangnya rasa kantuk mereka memilih untuk membaca materi baru yang akan diberikan oleh guru. Tak heran karena rajinnya mereka, kedua adik Ilona itu selalu mendapat peringkat yang bagus. Ilona menjatuhkan diri di atas kasurnya dan segera mengecek ponselnya. Ternyata ada nomor asing yang menghubungi secara beruntun. Bahkan ia menemukan pesan singkat darinya. "Ini Mas, Lona, Sayang? Kamu sedang apa?" Demikian bunyi pesan yang baru saja dibacanya. Alangkah kagetnya Ilona saat harus berbubungan dengan Pratama Handoyo lagi seingatnya kemarin ia tak memberitahukan nomor kontaknya. Gadis itu yakin pria itu pasti sengaja mendapatkannya dari kantor. Ilona merasa tak nyaman dengan embel-embel panggilan "Sayang" yang diberikan Pratama. Entah apa yang ada di kepala pria yang belum lama dikenal olehnya itu. Ia bingung harus menjawab seperti apa. Akhirnya, pesan pria yang tadi ia temani di lapangan golf itu ia abaikan begitu saja. Ilona ingin beristirahat. Selang sepuluh menit, ponselnya berdering, menampilkan nomor asing yang Ilona yakin itu berasal dari Pratama. Seketika rasa gugup menyelimuti dirinya. Ada apa pria itu menelponnya malam-malam. Bukannya ia orang sibuk. Ilona membiarkannya untuk beberapa saat hingga panggilan berikutnya ia baru dapat menjawabnya. Itu pun terpaksa. *** Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN