Pratama tidak mengantar Ilona sampai rumah melainkan berhenti di perempatan tak jauh dari jalan menuju rumahnya sesuai dengan permintaan gadis itu.
Ilona tak mau menjadi bahan gunjingan para tetangganya jika harus turun di sekitar rumahnya. Para tetangganya pasti akan langsung menebar gosip dan menuduh yang bukan-bukan. Kebetulan sekali ibu-ibu di sana terkenal sebagai gosiper kondang yang biasa menebar gosip-gosip terkini di warung-warung.
Pratama pun menghentikan mobilnya di tepi jalan sesuai dengan permintaan gadis cantik itu.
"Serius kamu mau turun di sini? Pratama bertanya seraya menatap gadis yang duduk di sampingnya. Sebetulnya ia tak keberatan untuk mengantarnya sampai depan rumah.
"Iya, Mas di sini saja. Lagian akses menuju rumah jalanannya becek dan banyak lubang. Posisi rumah saya juga kebetulan berada di dalam gang." Ilona beralasan.
"Baiklah." Pratama tak memaksa.
"Terima kasih banyak ya, Mas." Ilona mencoba bersikap ramah meski ia tak nyaman bersama Pratama yang sejak awal selalu memberikan tatapan aneh.
"Sama-sama. Sampai ketemu pekan depan. Nanti kamu temani saya lagi ya!" Pratama tak sabar menunggu hari sabtu nanti. Andai esok ia tak sibuk mungkin akan lebih memilih untuk kembali menghabiskan waktunya bermain golf bersama caddy cantik yang telah berhasil mencuri hatinya.Baru kali ini menemukan sosok gadis yang membuatnya terobsesi untuk memilikinya, padahal pertemuan keduanya belum sampai dua puluh empat jam.
"Iya, Mas." Ilona mengangguk. Gadis itu lantas turun dari mobil mewah pria kaya pengusaha properti tersebut.
Setelah itu mobil Pratama pun lantas melaju perlahan meninggalkan Ilona yang masih berdiri mematung menyaksikan kepergian Pratama.
Gadis berusia dua puluh itu menatap kepergian Pratama yang kini sudah menjauh darinya. Bersama dengan pria itu cukup melelahkan. Ia sosok yang tak ingin dibantah dan menguasai dirinya. Meskipun demikian ia patut bersyukur karena hari ini dirinya berhasil membawa pulang sejumlah uang yang bisa dibelanjakan untuk keperluan sehari-hari. Hari ini ia harus berbelanja keperluan dapur. Kedua adik dan kakeknya harus makan enak untuk perbaikan gizi. Entah berapa lama mereka selalu makan seadanya. Ilona dan keluarganya selalu bersyukur karena masih bisa makan walaupun kadang masih suka minta bantuan Mpok Wati meminya pinjaman sembako.
Ia dan keluarganya selalu menjadi buah bibir ibu-ibu penggosip.
***
Gadis cantik itu tak langsung pulang ke rumah melainkan ia menyebrang menuju sebuah mini market untuk membeli beberapa kebutuhan harian. Ia langsung menggunakan uang yang diberikan oleh Pratama untuk hal yang bermanfaat. Di minimarket ia membeli peralatan mandi dan sabun cuci.
Ia juga mampir ke warung sembako yang ada di gang rumah kontrakannya.
Begitu tiba di warung, sang pemilik warung seketika memasang tampang waspada. Kunjungan Ilona ke warungnya sudah dipastikan untuk menambah utang. Ia tahu persis bagaimana kondisi keluarga Ilona dan ia tak menyukainya. Bagi pedagang sepertinya memberikan hutang sama dengan menghambat kelancaran usahanya.
"Ilona, kamu mau ngutang lagi ya? Kamu bayar dulu yang kemarin-kemarin! Baru boleh ambil lagi!" Sang pemilik warung langsung berburuk sangka. Ia memasang raut wajah tak bersahabatnya. Akhir-akhir ini Ilona acapkali meminta pinjaman beras dan lainnya. Tentu saja pemilik warung merasa dirugikan.
"Mpok Wati tidak perlu khawatir, kebetulan uangnya sudah ada dan saya akan bayar sekarang juga sekalian mau belanja." Ilona sadar selama ini ia seringkali berhutang kepada pemilik warung. Tak jarang, adiknya yang bernama Gerry yang membayarkannya. Betapa miskinnya ia.
"Kamu sudah mulai kerja lagi ya?" Mpok Wati mulai mengorek informasi. Ia tahu dengan pasti jika Ilona pengangguran.
"Alhamdulillah." Ilona memperlihatkan kegembiraannya.
"Syukur deh biar gak ngutang terus."
Betapa hidupnya seperti dalam sinetron menjadi gadis malang yang terlibat utang dengan tukang warung belum lagi sebentar lagi ibu kontrakan pasti datang untuk menagih.
Ilona lantas memberikan uang dua ratus ribu kepada wanita berjilbab hitam itu. Sebetulnya utangnya lebih dari itu namun Gerry selalu menyisihkan untuk membayarnya.
"Lunas ya, Mpok." Ilona merasa lega. Uang tip dari Pratama dalam debut pertamanya sebagai caddy benar-benar bermanfaat. Ia berjanji pada dirinya untuk bekerja lebih keras lagi supaya bisa mendapatkan penghasilan lebih.
"Alhamdulillah, nah gitu dong biar saya kagak rugi." Mpok Wati tampak senang. Hari ini ia untung besar.
Ilona tersenyum kecil. Dengan cepat ia segera menyebutkan beberapa barang yang hendak dibelinya.
"Ngomong-ngomong kamu kerja dimana?" Mpok Wati mulai kepo.
Ilona bingung harus menjawab apa. Ia terdiam sesaat untuk memikirkan jawaban yang tepat.
"Saya kerja di lapangan olahraga." akhirnya Ilona memiliki jawaban.
"oh."
Mpok Wati tak lagi bertanya, meskipun ia tak tahu pekerjaan di lapangan olah raga itu apa.
"Semuanya jadi berapa Mpok?" sesi belanjanya usai sudah dan ia minta Mpok Wati menghitungnya.
"Seratus delapan puluh ribu." Wanita berusia empat puluhan itu menyebutkan jumlah yang harus dibayar Ilona.
"Ini Mpok." Ilona membayar dengan uang pas.
"Makasih ya, Lona." Pemilik warung itu tampak sumringah.
"Kalau begitu, permisi ya Mpok."
Ilona meninggalkan warung sembako yang juga menyediakan sayur mayur itu. Ada perasaan lega di hatinya.
***
Ilona berjalan pelan menuju rumah kontrakannya dengan dua kantong plastik di tangannya. Semua berisi kebutuhan pokok mereka. Baru kali ini ia bisa belanja banyak lagi. Ia harap, ia dan keluarganya akan selalu hidup berkecukupan, tak lagi berhutang ke sana sini agar bisa mengisi perut.
"Assalamualaikum." Begitu tiba di depan pintu rumah, ia langsung mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam." Kakek Banu terlihat tengah duduk di kursi sambil membaca buku.
"Kakek, apa kabar?" Ilona mencium telapak tangan keriput milik pria tua itu.
"Alhamdulillah." Kakek Banu merasa sudah bugar. Ia bahkan sudah mulai berangkat ke masjid untuk sholat berjamaah.
"Ricky mana?" Ilona mencari adiknya. Ia memiliki jajanan untuknya.
"Belum pulang, dia masih ngaji." Kakek Banu memberitahukan keberadaan adik dari Ilona. Setiap sore Ricky pergi mengaji di masjid bersama teman-temannya.
"Oh."
"Terus Gerry mana?" Ia menanyakan adiknya yang lain.
"Ada kegiatan di sekolahnya. Tadi sempat pulang sebentar," beritahu sang kakek.
"Kamu bawa apa itu?" Kakek Banu memperhatikan dua kantong plastik besar yang dibawa oleh cucunya.
"Alhamdulillah, Lona dapat rezeki Kek, jadi bisa belanja banyak." Ilona membagi kabar bahagianya. Uang pemberian Pratama sangat membantunya.
"Alhamdulillah. " Kakek Banu ikut senang.
"Lona, maafkan kakek ya, kakek selalu merepotkan kamu." Terlihat gurat kesedihan di wajah Kakek Banu. Selama ini ia selalu merepotkan Ilona dan keluarganya.
"Sudahlah Kek, kakek tidak perlu memikirkan apapun yang penting kakek sehat selalu." Ilona tersenyum. Ia ikhlas memberi nafkah untuk keluarganya. Jika bukan dirinya siapa lagi yang akan melakukannya.
Pria tua itu lantas menarik tubuh cucunya dan memeluknya dengan derai air mata. Ia hanya merepotkan anak dan cucunya saja. Dulu putrinya yang ia repotkan sekarang cucunya, padahal selama masa mudanya ia selalu abai kepada keluarganya. Ia berulang kali berkhianat kepada nenek Ilona hingga ajal menjemput sang nenek dan kakek Banu berselingkuh dengan wanita lain, meninggalkan keluarganya dan baru pulang kembali lima tahun yang lalu dalam keadaan sakit-sakitan karena keluarganya tak mau lagi mengurusinya. Beruntung ibu kandung Ilona, mau menerimanya. Oleh karenanya, di usia senjanya kakek Banu bertobat dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhannya. Ia ingin membayar segala kesalahannya di masa lalu.
***
Bersambung